Reforma Agraria Belum Maksimal, Pemerintah Dorong Percepatan
Reforma agraria belum mencapai target maksimal. Pemerintah mengupayakan akselerasi pencapaian target reforma agraria melalui rancangan perpres yang baru.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengupayakan rancangan kebijakan baru untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Ini dikarenakan capaian target reforma agraria belum maksimal. Padahal, pemerintah memasukkannya dalam Proyek Strategi Nasional sebagai upaya pemerataan ekonomi yang harus selesai sebelum 2024.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengupayakan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Hal ini untuk mengejar pencapaian target reforma agraria.
Baca juga: Negara Terus Didorong untuk Melaksanakan Reforma Agraria Sejati
”Rancangan perpres ini diharapkan dapat mengakselerasi upaya pemerintah dalam mencapai reforma agraria dengan target-target capaiannya,” ujarnya dalam acara Diskusi Publik Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang diadakan oleh Kemenko Bidang Perekonomian di Jakarta pada Selasa (1/11/2022).
Menurut Wahyu, beberapa tujuan yang diharapkan dari rancangan perpres ini ialah memperkuat materi pengaturan untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan mengoptimalkan peran kelembagaan reforma agraria di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, tujuan lainnya ialah mengintegrasikan pemberdayaan dan akses untuk masyarakat.
Upaya mengintegrasikan pemberdayaan dan akses untuk masyarakat ini dilakukan dengan menyempurnakan materi pengaturan pelaksanaan reforma agraria yang diatur dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria serta Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan untuk diselaraskan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, terutama di bidang pertanahan dan kehutanan.
Ada empat terobosan pokok dalam rancangan perpres ini, yaitu pengadaan program joint survey yang diadakan antarlembaga dan kementerian terkait. Lalu, penguatan kelembagaan reforma agraria dengan membentuk project management office (PMO) untuk memastikan pengaturan manajemen kelembagaan yang lebih baik. Serta pengaturan mengenai legalisasi aset khususnya lahan transmigrasi dan penataan aksesnya.
Semoga di sisa periode pemerintahan ini dan di sisa Rencana RPJMN 2020-2024, target-target capaian dari Reforma Agraria dapat terlaksana melalui rancangan perpres yang akan kami bahas.
Pembahasan rrancangan perpres ini sudah dimulai 18 Juni 2021 dan melalui proses mulai dari penyusunan analisis terkait penguatan kebijakan, pembuatan tim percepatan, penyusunan inventarisasi masalah, pembahasan batang tubuh kebijakan, penyampaian surat permohonan, dan focus group discussion dengan para ahli, hingga sekarang memasuki tahapan diskusi publik. Pemerintah mengharapkan setelah mendapat masukan dari publik, perpres ini dapat ditetapkan pada akhir 2022.
Baca juga: Reforma Agraria, Kemarahan Jokowi, dan Pergantian Menteri
”Diskusi publik ini (dilakukan) untuk memastikan, perpres yang nanti akan diterbitkan mudah-mudahan dalam akhir tahun ini, supaya digunakan oleh kita semua untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Saya harap diskusi ini akan bisa mengakomodasi semua masukan dan pertimbangan,” ujar Wahyu.
Dalam kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Reforma Agraria Kemenko Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, penyediaan tanah obyek reforma agraria dalam rancangan perpres ini akan diperluas. Tidak hanya dari kawasan hutan dan tanah hak guna usaha (HGU) yang habis, tetapi juga akan ditambahkan penyediaan tanah dari penyelesaian konflik aset perusahaan perkebunan yang dikelola negara, seperti PT Perkebunan Nusantara. Selain itu, ada juga rencana aksi yang memuat target-target yang harus diselesaikan hingga 2024.
Reforma agraria sendiri merupakan salah satu proyek strategis nasional yang tercantum pada Permenko No 9/2022 dalam kategori Program Pemerataan Ekonomi. Ada tiga target dalam reforma agraria nasional yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni legalisasi aset, redistribusi tanah, dan penataan kawasan hutan.
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada September 2022, capaian legalisasi aset 4,14 juta hektar tanah dari target 4,5 juta hektar. Sementara capaian untuk redistribusi tanah adalah 1,49 juta hektar tanah dari target 4,5 juta hektar. Ini berarti total capaian legalisasi aset mencapai 92 persen, sedangkan total capaian redistribusi tanah hanya 33,24 persen.
Sebagai informasi, rincian capaian dari legalisasi aset adalah terbagi dalam dua indikator, yakni pensertifikatan aset tanah transmigrasi dengan capaian 85.375 hektar dari target 0,6 juta, serta pendaftaran sertifikasi tanah gratis dengan capaian 4,05 juta hektar dari target 3,9 juta. Sementara rincian capaian dari redistribusi tanah juga terbagi dalam dua indikator, yakni pembagian tanah HGU yang habis kepada subyek yang memenuhi persyaratan dengan capaian 1,1 juta hektar dari target 0,4 juta, serta pelepasan kawasan hutan dengan capaian 329.436 hektar dari target 4,1 juta hektar.
Baca juga: Reforma Agraria Belum Berpihak kepada Petani
Selain itu, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), capaian penataan kawasan hutan melalui penyelesaian penguasaan tanah baru mencapai 1,36 juta hektar dari target 5,03 juta hektar. Secara terinci, capaian penyediaan lahan garapan rakyat berupa sawah, tambak, dan pertanian lahan kering mencapai 1,09 juta hektar dari target 2,83 juta hektar.
Lalu, capaian penyediaan lahan untuk transmigrasi 267.351 hektar dari target 490.659 hektar serta capaian konversi hutan produksi 6.687 hektar dari target 1.1 juta hektar. Sementara dua target lainnya, yakni alokasi 20 persen pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan program pencadangan pencetakan baru, belum memiliki hasil capaian sama sekali.
Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan menyampaikan, agenda reforma agraria mendapat perhatian yang serius dari Presiden. Mulai dari November 2020, Presiden Joko Widodo mulai mendorong penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria. Kemudian, pada Juni 2022, Presiden Joko Widodo memberikan tiga amanat kepada Menteri ATR/BPN berkaitan dengan reforma agraria, yakni menyelesaikan sengketa sertifikat tanah yang tumpang tindih, mengatur pendaftaran bidang tanah, serta menata ibu kota negara.
Perhatian Istana Negara terhadap konflik agraria didorong dari banyak pertimbangan. Salah satunya dari pengaduan konflik agraria ke Istana yang dilaporkan langsung ke menteri terkait dan presiden. Dari data per Agutus 2022, sebanyak 1.504 kasus konflik agraria telah diadukan, dengan kasus kehutanan yang paling banyak dilaporkan, yakni 500 kasus, diikuti kasus pekebunan swasta 426 kasus dan kasus perkebunan yang dikelola negara 271 kasus.
Baca juga: Konflik Agraria Tahun 2020 Masih Tinggi
Abetnego mengatakan, ada tiga hal yang menjadi atensi yang perlu dibahas untuk mempercepat reforma agraria ini, yakni penyelesaian konflik, percepatan redistribusi, dan pemberdayaan. Tiga hal ini merupakan tiga aspek baru yang diharapkan muncul dalam rancangan perpres ini. Pertimbangan ketiga aspek tersebut ialah optimalisasi kelembagaan reforma agraria agar dapat berdampak pada masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan masukan dan kritik dari masyarakat luas agar pemerintah dapat mengakomodasikan hal tersebut.
”Semoga di sisa periode pemerintahan ini dan di sisa rencana RPJMN 2020-2024 target-target capaian dari reforma agraria dapat terlaksana melalui rancangan perpres yang akan kita bahas,” ujarnya.
Akademisi dan praktisi hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Maria Sri Wulan Sumardjono, berpendapat, penyelarasan rancangan perpres ini dengan Undang-Undang Cipta Kerja khususnya bidang pertanahan dan kehutanan perlu dipertimbangkan kembali. Pasalnya, substansi Undang-Undang Cipta Kerja masih diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Selain itu, Maria mempertanyakan pentingnya mencantumkan Undang-Undang Cipta Kerja dalam rancangan perpres ini karena masih ada peraturan yang tumpang tindih dengan peraturan-peraturan sebelumnya.
”Tolok ukur pengaruh pencantuman pasal (yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja) ini memiliki tolok ukur apa? Menurut saya, pasal ini tidak perlu dicantumkan karena terdapat tumpang tindih,” ujarnya.
Selain itu, Maria menenkankan, transparansi data dalam pelaksanaan program-program rancangan perpres tersebut, terutama hasil pendataan joint survey, perlu dibuka secara publik. Menurut dia, ini adalah bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta terkait dengan pasal tentang partisipasi publik yang juga diatur dalam rancangan perpres ini.