Indonesia Beri Agamawan Dunia Perjalanan Budaya
Ratusan pemimpin agama dan sekte dari 32 negara peserta Forum Agama G20 mengunjungi situs budaya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Perjalanan budaya berlangsung 5-6 November.
YOGYAKARTA, KOMPAS - YOGYAKARTA, KOMPAS Forum Agama G20 tidak hanya menguliahi soal gambaran kehidupan toleransi beragama, tetapi juga memberikan perjalanan budaya kepada pemimpin agama dari sejumlah negara melalui kunjungan ke beberapa situs keagamaan. Perjalanan itu untuk memberikan pengalaman bagi pemimpin agama mengenai cara kelompok agama mayoritas melindungi minoritas.
Selama Sabtu-Minggu (5-6/11/2022) ratusan delegasi pemimpin agama dan sekte dari 32 negara yang mengikuti Forum Agama G20 atau G20 Religion Forum (R20) mengunjungi sejumlah situs kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Pada Sabtu, rombongan diajak mengunjungi Candi Kimpulan yang berada di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia (UII) dan Candi Prambanan. Sementara pada Minggu, mereka dijadwalkan mengunjungi Wihara Bhante Pannavaro, Candi Borobudur, dan Pondok Pesantren Pandanaran.
Baca juga : Kepak Sayap-sayap Kecil G20
Selama berada di Candi Kimpulan dan Candi Prambanan, rombongan yang berasal dari 20 negara anggota G20 dan 12 negara lain itu tampak mengagumi bangunan candi di tengah bangunan perpustakaan UII. Sementara saat berada di Candi Prambanan, mereka melihat umat Hindu setempat melakukan upacara keagamaan.
”Kami menunjukkan situs-situs keagamaan tujuannya untuk menjadikan pembelajaran bagi semua pemimpin agama yang hadir dalam R20 mengenai bagaimana seharusnya kelompok agama mayoritas melindungi, menghargai, dan merawat kekayaan budaya dari kelompok minoritas,” ujar juru bicara R20, Najib Azca, di sela kunjungan ke kampus UII, Yogyakarta, Sabtu (5/11).
Menurut dia, kelompok agama mayoritas jangan sampai memaksakan keinginan dan kehendak kepada kelompok agama minoritas. Keberhasilan kelompok agama mayoritas justru ketika mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan rasa aman bagi minoritas. Hal itu salah satunya tecermin dari upaya UII menjaga dan merawat situs Candi Kimpulan yang merupakan tempat ibadah umat Hindu.
Najib menuturkan, Indonesia memiliki banyak contoh toleransi kehidupan umat beragama. Oleh karena itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menjadi inisiator R20 mengajak para delegasi agar bisa menyaksikan serta merasakan langsung atmosfer dan ambience atas toleransi dan harmoni tersebut.
Pengalaman itu menjadi bagian dari perjalanan budaya untuk memberikan pengalaman langsung mengenai kehidupan toleransi beragama. Sebab, R20 tidak hanya menjadi sebuah forum yang jujur bagi pemimpin agama dalam menemukan masalah dan solusi, tetapi juga memberikan gambaran langsung mengenai praktik-praktik bertoleransi.
Pengalaman itu menjadi bagian dari perjalanan budaya untuk memberikan pengalaman langsung mengenai kehidupan toleransi beragama.
Ia mencontohkan, salah satu praktik toleransi ditunjukkan oleh UII yang mengubah desain perpustakaan yang awalnya didirikan di atas area candi menjadi melingkari area Candi Kimpulan, bukan menghilangkan bangunan candi untuk kepentingan pembangunan perpustakaan kampus yang mahasiswanya mayoritas Muslim. Sementara di Borobudur, umat , Islam khususnya kaum Nahdliyin yang tinggal di sekitar candi, turut menjaga tempat ibadah umat Buddha itu.
”Melalui kunjungan ini, harapannya kepada semua delegasi R20 mengetahui bagaimana cara hidup Muslim di Indonesia yang penuh dengan toleransi dan semangat menghargai perbedaan sehingga artefak yang ditemukan di area kampus justru dimuliakan, dijadikan simbol kebinekaan Indonesia. Itu sungguh-sungguh terjadi, betul-betul ada manifestasinya dan simbolisasinya,” katanya.
Kepala Biro Liga Muslim Dunia untuk Jakarta Abdurrahman Mohammad Amin al-Khayyath mengaku takjub dengan pelestarian Candi Kimpulan yang merupakan peninggalan situs warisan umat Hindu pada zaman dulu. Apalagi ini terjadi di kampus Islam.
”Saya takjub dengan hubungan antarumat beragama di Indonesia. Meski agamanya berbeda-beda dan peninggalan situs dari lapisan sejarah yang berbeda, tidak menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terpecah belah,” ujarnya.
Hal ini, al-Khayyath melanjutkan, bisa menjadi pesan toleransi penghormatan umat muslim terhadap umat agama lain. Demikian pula dengan Candi Prambanan.
Sesuatu yang buat kita biasa-biasa saja, tetapi mungkin akan meninggalkan kesan yang tidak biasa-biasa saja bagi orang Arab, orang Eropa, atau orang India.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, kunjungan tersebut untuk memperlihatkan kepada delegasi R20 agar mereka bisa mengalami sendiri bagaimana masyarakat yang berbeda menjaga toleransi beragama. Sebagai kelompok mayoritas di Indonesia, kaum Muslim tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan komunitas agama lain.
”Sesuatu yang buat kita biasa-biasa saja, tetapi mungkin akan meninggalkan kesan yang tidak biasa-biasa saja bagi orang Arab, orang Eropa, atau orang India. Mereka harus tahu ini supaya mereka dapat memahami mengapa kita menggagas hubungan harmonis antaragama,” tuturnya.
Rektor UII Fathul Wahid menambahkan, pembangunan perpustakaan UII dimulai pada 2009. Namun saat penggalian tanah untuk pondasi, ditemukan batu candi sehingga pembangunan perpustakaan dihentikan sementara. Fokus saat itu adalah penggalian candi yang menghabiskan waktu selama setahun dan mengubah desain perpustakaan tanpa merusak bangunan candi.
"Perpustakaan menjadi tempat yang masih memberikan ruang kepada candi untuk dirawat. Candi Hindu dirawat dan dimuliakan di kampus Islam," tuturnya.
Baca juga : Komunike T20 Desak Penguatan Kerja Sama Global
Fathul mengatakan, upaya melestarikan candi merupakan bentuk penghormatan kepada masa lalu. Selain itu, UII ingin melantangkan praktik tentang mayoritas yang memberikan ruang kepada minorotas dengan menjamin kesetaraan. Mayoritas yang jumlahnya banyak tidak boleh merasa lebih tinggi dibandingkan minoritas.
"Pesan ini penting karena di beberapa bagian dunia, tidak hanya di Indonesia, mayoritas cenderung menghegemoni dan mematikan minoritas yang sedang bertumbuh dengan mematikan ruang kehidupan, bahkan dengan berbagai alasan politik, pintuk bagi minoritas memberikan kontribusi ditutup," tuturnya.
Sementara Uskup Matthew Hassan Kukah dari Sokoto, Nigeria, dalam salah satu sesi pleno di Yogyakarta, mengungkapkan, umat Katolik yang menjadi minoritas di Sokoto mendapat persekusi. Ia pun jujur menyebut ada ketimpangan, pilih kasih, hingga pembunuhan yang dialami kelompoknya.
”Ini perlu diperhatikan oleh para tokoh pemimpin agama dunia, para akademisi, juga pengambil kebijakan,” kata Kukah.
LSM Genocide Watch mencatat, lebih dari 11.500 orang Kristen tewas dibunuh sejak Juni 2015 di Nigeria. Sementara 4-5 juta orang Kristen mengungsi. Sedikitnya 2.000 gereja dihancurkan.
Baca juga : Menguji Inklusivisme Agamawan R20
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU KH Ulil Abshar Abdalla mempersoalkan penggunaan istilah minoritas yang lebih didasarkan pada angka. Selama ini, kelompok hanya dipandang dari sisi jumlah, tetapi jarang dilihat dalam kebijakan yang diambil oleh para tokoh-tokoh dunia, yaitu penderitaan yang dialami minoritas semua agama.
”Pendekatan HAM ini pendekatan yang penting, tetapi tidak cukup memadai karena bahasa agama juga diperlukan untuk mengatasi masalah minoritas,” katanya.