Banyak yang salah memahami ”scientific crime investigation” dengan pemeriksaan bukti di laboratorium forensik atau kedokteran forensik. Padahal, forensik hanya salah satu tahap dari ”scientific crime investigation”.
Oleh
KHAERUDIN
·4 menit baca
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal (Pol) Listyo Sigit berkali-kali menyatakan bahwa polisi akan menggunakan metode ilmiah dalam penyidikan tindak pidana atau scientific crime investigation dalam pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya, bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Kapolri juga kembali menyatakan akan menggunakan metode scientific crime investigation dalam mengusut Tragedi Kanjuruhan yang berujung pada kematian ratusan suporter Arema.
Namun, apa itu metode ilmiah dalam penyidikan tindak pidana atau scientific crime investigation (SCI)? Publik kerap menganggap metode ini lekat dengan investigasi tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim forensik. Mungkin ini karena kita keseringan nonton serial televisi populer Amerika, CSI: Crime Scene Investigation yang menceritakan ilmuwan forensik dan analisis TKP di Departemen Kepolisian Las Vegas, Amerika Serikat, dalam membongkar kejahatan. Serial ini sukses secara global. Serial CSI pertama bahkan dibuat sampai 15 musim.
Saking sukesnya serial CSI sampai dibuat waralaba. Dari CSI Miami, CSI New York, sampai CSI Cyber. Serial CSI ini pun tentu sampai ke penonton Indonesia. Sampai saat polisi berkali-kali menyatakan akan menggunakan scientific crime investigation dalam penyidikan sebuah perkara pidana, bayangan banyak orang langsung pada bagaimana detektif-detektif di Amerika bekerja sama dengan ilmuwan forensik, seperti di serial CSI, membongkar kejahatan dan menangkap pelakunya.
Tidak semua salah sih. Hanya saja, menganggap SCI itu adalah saat bukti-bukti diperiksa di laboratorium forensik oleh tim kedokteran forensik, maka persepsi tersebut sungguh keliru.
”Penerapan metode ilmiah dalam penyidikan tindak pidana atau SCI sudah menjadi satu keharusan untuk menjamin efektivitas pengungkapan dan pembuktian perkara. Banyak yang salah memahami tentang SCI sebagai satu metode ilmiah dengan menganggap bahwa ketika ada bukti yang diperiksa pada laboratorium forensik atau kedokteran forensik mengatakan bahwa itu merupakan penyidikan ilmiah,” ujar Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto saat menjadi pembicara kunci pada The 14th Asian Forensic Sciences Network (AFSN) Annual Meeting & Symposium, di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
The 14th Asian Forensic Sciences Network (AFSN) Annual Meeting & Symposium berlangsung 2-5 November di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta. Arief menjadi pembicara kunci mewakili Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Menurut Arief, SCI bukan sekadar menganalisis bukti di laboratorium forensik. ”SCI cakupannya lebih luas daripada itu karena dalam penyidikan yang menerapkan metode ilmiah, akan melalui tahapan atau langkah, mulai dari penentuan masalah; pengumpulan informasi awal; perumusan hipotesis; pengumpulan data, fakta, informasi, dan bukti-bukti; menganalisis data, fakta, informasi, dan bukti; terakhir menyimpulkan,” kata Arief.
Arief menjelaskan, kegiatan forensik merupakan salah satu dari rangkaianSCI. Ilmu forensik ikut membantu polisi mengungkap kejahatan yang sedang mereka sidik. Sebagai sebuah rangkaian metode ilmiah, kegiatan forensik dalam SCI ada pada tahap pengumpulan data, fakta, informasi, dan bukti.
”Dari rangkaian kegiatan SCI, forensik menjadi bagian dari tahap pengumpulan data, fakta, informasi, serta bukti-bukti untuk mendukung analisis yang komprehensif guna pembuktian hipotesis atas masalah atau perkara yang ditangani,” ujar Arief.
Tak berbeda dengan metode ilmiah dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh akademisi perguruan tinggi atau peneliti lembaga penelitian, langkah-langkah penyidik menggunakan SCIjuga harus ketat menjaga metode ilmiah dalam tiap langkahnya. Seperti halnya akademisi dan peneliti ilmiah yang harus menjunjung tinggi obyektivitas, demikian juga polisi saat mengusut tindak pidana menggunakan metode SCI. Apalagi, hasil penyidikan mereka harus bisa dipertanggungjawabkan dan dapat memenuhi rasa keadilan.
”Dengan demikian, dalam SCI, polisi harus mematuhi dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip obyektivitas, kejujuran, dan akuntabilitas dalam memberikan hasil pemeriksaan forensik kepada penegak hukum karena akan dijadikan alat bukti dalam sidang pengadilan berupa keterangan ahli untuk memberikan keadilan kepada para pihak yang beperkara,” ujar Arief, penyidik yang pernah mengungkap kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib itu.
Tentu saja ilmu forensik sangat berguna bagi penyidik dalam mengungkap sebuah kejahatan dan pelakunya. Arief menuturkan, dari pengalamannya mengungkap pembunuh Munir, misalnya, dia harus bisa memperkirakan kapan dan di mana racun arsenik yang diberikan ke aktivis pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tersebut. Sementara TKP tempat racun arsenik diberikan sudah berubah. Dengan menghitung kapan waktu racun arsenik mulai bekerja, Arief dan timnya bisa memastikan bahwa Munir diberi arsenik saat berada di sebuah kafe di Bandara Changi, Singapura.
Di situlah menurut Arief pentingnya ilmu dan kedokteran forensik karena akan memperkuat penyidikan tindak pidana, yakni membantu polisi memberi alat bukti di persidangan. ”Itulah pentingnya ilmu forensik dalam mendukung pembuktian di pengadilan, untuk membuktikan kebenaran peristiwanya, tempat kejadian atau locus delicti, tempus delicti, dan pelakunya,” kata Arief.