Tafsir Kontekstual Bisa Akhiri Ketegangan Antarumat Beragama
Salah satu problem umat Islam saat ini adalah kecenderungan menafsirkan teks agama secara eksklusif. Pemahaman agama secara tekstual itulah yang mengakibatkan munculnya ketegangan antarumat beragama.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya tafsir atas teks keagamaan yang kurang tepat mengakibatkan ketegangan hubungan sosial antarumat beragama. Oleh sebab itu, para pemimpin agama perlu menafsirkan ulang teks-teks keagamaan sesuai konteks yang relevan dengan perkembangan zaman.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdallah mengatakan, salah satu problem umat Islam saat ini adalah kecenderungan melakukan penafsiran teks agama secara eksklusif. Penafsiran tersebut tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman dan memahaminya secara tekstual. Akibatnya, muncul hubungan sosial yang tegang di antara umat beragama.
”Di mana-mana dalam tradisi agama, penafsiran teks selalu ambigu. Tetapi, kami yakin, memahami tradisi Islam secara lebih kontekstual akan bisa menyelesaikan banyak masalah,” ujarnya dalam salah satu sidang G20 Religion Forum atau R20 yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022).
Perbedaan penafsiran itu, di antaranya, berimplikasi pada cara pandang umat Islam terhadap kelompok lain, antara lain dalam memandang kaum minoritas, pemeluk agama lain, hak orang beribadah, dan kaum minoritas dalam kelompok Muslim itu sendiri. Tidak jarang, perbedaan penafsiran mengakibatkan hubungan yang kurang baik antarumat beragama ataupun umat seagama.
Oleh sebab itu, lanjut Ulil, diperlukan ulama dan pemikir untuk memberikan interpretasi sehingga bisa memunculkan tafsir atas teks-teks agama sesuai konteks perkembangan zaman. NU pun mendorong kiai, ulama, dan santri untuk melakukan pemahaman ulang atas tafsir-tafsir agama yang sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian, Muslim bisa memiliki pandangan sama atas teks-teks agama yang lebih kontekstual menggunakan tradisi yang ada.
”Kami yakin, tafsir ini yang tepat untuk Indonesia. Tafsir ini bermanfaat yang intinya bahwa orang Islam dan non-Muslim di Indonesia harus diperlakukan yang sama sebagai warga negara,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Imam Addaruqutni mengatakan, Muhammadiyah yang selalu mengampanyekan Islam berkemajuan terus menyampaikan pesan damai. Muhammadiyah pun berusaha mempromosikan nilai-nilai moral, akhlak, dan pendidikan.
Di mana-mana dalam tradisi agama, penafsiran teks selalu ambigu. Tetapi, kami yakin, memahami tradisi Islam secara lebih kontekstual akan bisa menyelesaikan banyak masalah.
Di sisi lain, Muhammadiyah juga tidak pernah membuat agenda untuk mengubah sistem demokrasi yang sudah lama dipraktikkan Indonesia. Menurut dia, demokrasi tidak perlu dipraktikkan secara berlebihan karena bisa menimbulkan aksi-aksi radikal, seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.
”Di titik-titik tertentu, ada kelompok jadi radikal yang ingin mengganti sistem negara Indonesia. Kita perlu perbaiki kesalahpahaman. Muhammadiyah sebagai pendiri negara ini tidak pernah ingin mengubah landasan negara,” ujar Imam.
Menurut dia, sistem pendidikan yang lebih maju harus terus dilakukan untuk mengembangkan perdamaian di Indonesia. Muhammadiyah yang kini memiliki lebih dari 200 universitas menjelma sebagai kampus inklusif yang mengakomodasi lebih dari 1.000 mahasiswa agama lain. ”Bahkan, di Nusa Tenggara Timur ada Universitas Muhammadiyah yang disebut Christian Muhammadiyah University karena banyak mahasiswa Kristen yang bersekolah di sana,” katanya.
Uskup Katolik Sokoto, Nigeria, Matthew Hassan Kukah mengatakan, orang-orang Katolik pribumi di Sokoto mengalami diskriminasi. Kekerasan yang dilakukan kelompok ekstremis Muslim tidak hanya terjadi kepada umat Katolik, tetapi juga sesama umat Islam. Situasi semacam ini semakin berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan ada orang Katolik yang dibunuh oleh Muslim di kampus hanya gara-gara mengeluhkan pengenalan agama secara paksa.
Oleh sebab itu, menurut dia, perlu ada pembelajaran yang komprehensif dalam dunia pendidikan. Pembelajaran yang koheren dan komprehensif harus terintegrasi agar bisa menghilangkan diskriminasi dan ekstremisme. ”Hubungan Katolik dan Islam bisa ditingkatkan jika pemerintah menanggalkan diskriminasi,” katanya.
Elder Gary E Stevenson dari Kuorum Dua Belas Rasul Gereja Yesus Kristus Orang Suci Zaman Akhir, Amerika Serikat, mengatakan, komunitasnya berusaha mencari harmonisasi agar bisa hidup harmonis dengan umat agama lain. Namun, di awal pendirian gereja pada 1830-an, ada kesulitan pendirian gereja. Bahkan, mereka mendapatkan persekusi dari kelompok lain hingga akhirnya diasingkan.
Karena itu, mereka mulai berevolusi dan berusaha beradaptasi untuk menyesuaikan diri di semua tempat. Mereka menganut doktrin bahwa semuanya adalah saudara dan anak Tuhan sehingga ketika mereka melayani saudara, maka mereka melayani Tuhan. Akhirnya, mereka mampu membangun hubungan baik dengan umat beragama lain di kawasan tersebut. Mereka pun membangun dialog dengan agama lain.
”Bagi Gereja Mormon, masalahnya bukan melepaskan tradisi yang sudah tidak relevan, tetapi tantangannya memenuhi atau menyempurnakan cita-cita atau ajaran dalam Gereja Mormon dalam situasi yang baru,” tutur Stevenson.