Sidang Kasus Paniai Dinilai Minim Libatkan Korban dan Saksi Sipil
Pihak saksi dan korban kasus Paniai terkendala akses transportasi karena Pengadilan HAM Kasus Paniai tidak digelar di Papua. Minimnya perlindungan bagi saksi dan korban juga menjadi sorotan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai sidang kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai, Papua, tidak optimal melibatkan korban dan saksi sipil sejak dalam tahap penyidikan. Selama sidang dakwaan pada Rabu (21/9/2022), dari 55 saksi yang dihadirkan, hanya tujuh orang dari unsur masyarakat sipil yang dihadirkan.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Tioria Pretty Stephanie dalam konferensi pers, Kamis (3/11/2022), mengatakan, dari hasil pemantauan Kontras selama persidangan, pelibatan korban dan saksi sipil minim. Narasi pemeriksaan di persidangan lebih banyak dikuasai oleh TNI dan Polri. Dari delapan orang unsur masyarakat sipil yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung, hanya dua saksi yang dapat dihadirkan di persidangan. Saksi-saksi yang berada di lokasi kejadian, yaitu Pondok Natal pada 7 Desember 2014, tidak pernah berhasil dihadirkan ke persidangan oleh jaksa penuntut umum.
Mereka di antaranya Marselina Gobay, saksi yang berada di Pondok Natal sehari sebelum kejadian pada saat kejadian 7 Desember 2014; Benyamin Kudiai, Yosafat Yeimo, Noak Gobai, Oktofince Yeimo, dan Pius Gobay yang merupakan mantan Kepala Distrik Paniai Timur; Jhon Gobay selaku Kepala Dewan Adat Paniai; dan Naftali Gobay selaku aparatur sipil negara (ASN) Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Paniai yang mengalami luka tusuk di kepala akibat pisau sangkur anggota TNI Koramil Paniai.
”Dari delapan orang yang diperiksa dan masuk dalam berkas dakwaan Kejaksaan Agung, hanya dua yang berhasil dihadirkan di persidangan. Ini pasti akan berdampak pada pembuktian persidangan,” ujar Pretty. Dalam kasus ini, hanya ada terdakwa tunggal, yakni Mayor (Purn) Isak Sattu (64),
Sejak 25 Maret 2022, Kejaksaan Agung telah memeriksa total 55 saksi yang terdiri dari 24 orang unsur TNI, 17 orang unsur polisi, 6 orang unsur tim investigasi bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta delapan orang unsur masyarakat sipil.
Selain itu, ketidakhadiran saksi juga dipengaruhi oleh ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap proses hukum kasus Paniai. Sejak awal penyidikan, masyarakat Papua sudah menyatakan keraguan terhadap penuntasan kasus tersebut, terutama karena Kejagung hanya menetapkan tersangka tunggal, yaitu Mayor (Inf) Isak Sattu (64), seorang purnawirawan TNI yang pada saat kejadian menjadi perwira penghubung Kodim 1705 Paniai.
”Puncak kekecewaan keluarga dikeluarkan tepat sebelum persidangan dimulai di mana keluarga korban menolak mengikuti proses persidangan di Makassar,” kata Pretty.
Selain itu, pihak saksi dan korban kasus Paniai juga merasa terkendala akses transportasi karena Pengadilan HAM kasus tersebut tidak digelar di Papua. Padahal, di Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa pengadilan HAM berkedudukan di pengadilan negeri dengan cakupan daerah hukum masing-masing. Artinya, pengadilan HAM bisa digelar di Papua agar korban dan saksi lebih mudah mengaksesnya.
”UU Otonomi Khusus Papua bahkan mengatur bahwa pelanggaran HAM di wilayah Papua harus diadili di Pengadilan HAM yang juga berlokasi di Papua. Pemilihan lokasi menjadi penting untuk memberikan akses bagi korban, saksi, dan warga Papua secara luas dapat mengikuti persidangan langsung,” tuturnya.
Persidangan memang disiarkan secara langsung melalui akun Youtube Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, karena koneksi internet di Papua belum merata dan masih buruk, saksi dan korban tetap kesulitan mengaksesnya.
Selain karena pengadilan yang dilaksanakan di lintas pulau, minimnya perlindungan bagi saksi dan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menjadi sorotan. Menurut penelusuran Kontras, LPSK tak bisa optimal mendampingi saksi dan korban kasus Paniai karena jaksa penuntut umum dari Kejagung tidak mengajukan permintaan perlindungan. LPSK tidak bisa proaktif karena harus mengetahui daftar saksi dan korban dari aparat penegak hukum yang menangani perkara tersebut.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab menyampaikan bahwa jalannya pengadilan HAM untuk peristiwa Paniai kurang gereget. Dia memantau langsung sidang lanjutan di PN Makassar pada 13 Oktober 2022. Saat itu, agenda pemeriksaan enam saksi. Dua saksi di antaranya adalah mantan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen (Purn) TNI Franzen G. Siahaan dan Ketua Tim Terpadu Investigasi Peristiwa Paniai 2014 Komjen Pol (Purn) Ari Dono Sukmanto. Komnas HAM hadir di persidangan untuk mengawal proses Pengadilan HAM Peristiwa Paniai agar berjalan secara maksimal. Selain itu, juga untuk memastikan keadilan bagi korban melalui mekanisme yudisial.
”Tanpa mengurangi rasa hormat pada pengadilan, demi menggali kebenaran material dari Peristiwa Paniai, majelis hakim perlu bekerja lebih keras. Sebab, berdasarkan keterangan dua saksi, yaitu mantan Pangdam XVII/Cenderawasih dan Ketua Tim Investigasi Peristiwa Paniai, masih kurang untuk mendalami tanggung jawab komando atas terjadinya peristiwa tersebut,” terang Amir.
Amiruddin juga menyoroti peran jaksa penuntut dalam menghadirkan saksi. Menurut dia, jaksa seharusnya bisa lebih aktif dalam menghadirkan saksi yang sungguh-sungguh relevan dengan peristiwa. Jaksa juga harus mampu menunjukkan alat bukti yang kuat untuk membuktikan dakwaan secara transparan. Dengan harapan, bisa memberikan keadilan kepada korban.
Sidang Pengadilan HAM Kasus Paniai dipimpin oleh Ketua Majelis Sutisna Sawati dan didampingi hakim anggota Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu dan Sofi Rahma Dewi. Sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.