Pemidanaan Kasus Pencemaran Nama Baik Kian Masif, Masyarakat Sipil Desak Revisi UU ITE
Meski pemerintah sudah mengirim surat presiden revisi UU ITE, DPR belum membahasnya. DPR pun didesak untuk segera merevisi UU No 19/2016 tentang Perubahan UU ITE karena pidana pencemaran nama baik kini semakin masif.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022—2023, Selasa (1/11/2022), Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Pasalnya, meski pemerintah sudah mengirimkan surat presiden terkait sejak Desember 2021, hingga saat ini pimpinan DPR belum menugaskan salah satu alat kelengkapan Dewan untuk membahas revisi UU ITE. Padahal, revisi kian mendesak di tengah semakin masifnya pemidanaan terhadap warga karena dugaan pencemaran nama baik.
Berdasarkan catatan Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE), pemidanaan terhadap warga karena dugaan pelanggaran UU ITE belum berhenti hingga Oktober 2022. Setidaknya, sepanjang 2022, ada dua kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh kepolisian meski tak sesuai dengan ketentuan yang ada di Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pedoman Implementasi UU ITE.
SKB yang dimaksud diterbitkan pada Juli 2021 dengan semangat agar tak ada lagi perbedaan pandangan dalam menafsirkan sejumlah pasal UU ITE dalam penegakan hukum. Pasalnya, tafsir yang berbeda itu dinilai kerap merugikan dan tidak bisa memberikan rasa keadilan pada masyarakat.
Ketidaksesuaian yang dimaksud terkait dengan pelaporan pencemaran nama baik ke institusi penegak hukum yang semestinya dilakukan oleh korban secara perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi atau korporasi, profesi, atau jabatan. Namun, pelaporan masih kerap dilakukan bukan oleh korban secara perseorangan. ”Terakhir, ada kasus pelaporan pencemaran nama baik anggota DPR yang diwakili oleh kuasa hukumnya,” kata Ketua Paku ITE Muhammad Arsyad saat dihubungi dari Jakarta, Senin (31/10/2022).
Terakhir, ada kasus pelaporan pencemaran nama baik anggota DPR yang diwakili oleh kuasa hukumnya.
Hal serupa tercatat dalam Analisis Pelanggaran Hak-hak Digital Triwulan III-2022 yang diterbitkan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Sepanjang Juli-September 2022, setidaknya terdapat 64 pelaporan ke kepolisian terkait ekspresi warga di ranah digital. Jumlah kasus tersebut meningkat empat kali lipat dibandingkan kuartal sebelumnya. Tak hanya itu, jumlah terlapor juga meningkat dari 33 orang pada triwulan II-2022 menjadi 44 orang pada triwulan III-2022.
Arsyad melanjutkan, belum berhentinya pemidanaan terhadap warga yang diduga melakukan pencemaran nama baik menunjukkan bahwa keberadaan SKB tidak efektif mengurangi dampak dari sejumlah pasal karet yang ada di UU tersebut. Pencemaran nama baik kerap digunakan untuk memidanakan seseorang oleh pihak yang lebih berkuasa. ”SKB itu tidak bisa menjadi dasar untuk mengurangi tingkat kriminalisasi menggunakan UU ITE,” ujarnya.
SKB itu tidak bisa menjadi dasar untuk mengurangi tingkat kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Oleh karena itu, lanjutnya, urgensi revisi UU ITE untuk mengubah sejumlah pasal karet semakin mendesak. Namun, ia menyayangkan karena hingga saat ini DPR belum memulai pembahasan revisi, sekalipun pemerintah sudah mengirimkan surat presiden (surpres) terkait sejak Desember 2021.
”Catatan kami, surpres itu bahkan belum pernah dibacakan di Rapat Paripurna DPR. Jadi, kami mendesak agar DPR setidaknya membacakan surpres itu dulu di rapat paripurna. Sebab, DPR sudah akan memasuki masa sidang mulai 1 November,” kata Arsyad.
Selain itu, menurut dia, nantinya pembahasan revisi UU ITE sebaiknya dilakukan oleh Komisi III DPR, bukan Komisi I DPR. Sebab, permasalahan dalam UU ITE lebih banyak terkait dengan penegakan hukum, bukan birokrasi dan administrasi.
Belum dapat penugasan dari pimpinan DPR
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari membenarkan bahwa sudah ada surpres terkait revisi UU ITE yang disampaikan pemerintah kepada pimpinan DPR. Akan tetapi, hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan penugasan dari pimpinan DPR untuk membahas revisi UU tersebut. Ia pun mengklaim tidak mengetahui penyebabnya.
Tetapi, kalau ditunjuk untuk membahas, kami siap.
”Tetapi, kalau ditunjuk untuk membahas, kami siap,” kata Kharis.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan. Ia mengungkapkan, belum ada penugasan dari pimpinan DPR kepada Komisi I. Namun, ia tak bisa berkomentar lebih jauh mengenai alasan di balik itu.
Merujuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang telah disahkan DPR pada September lalu, revisi UU ITE masuk sebagai salah satu dari 38 rancangan UU (RUU) yang ada di daftar Prolegnas Prioritas 2023. RUU disepakati sebagai usul inisiatif pemerintah, dengan keterangan bahwa surpres sudah disampaikan kepada DPR dalam luncuran Prolegnas Prioritas 2022.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate membenarkan bahwa revisi UU ITE telah menjadi RUU inisiatif pemerintah. Surpres terkait sudah disampaikan sejak Desember 2021. Saat itu, Presiden Joko Widodo menugaskan beberapa menteri untuk mewakili, yakni Menteri Kominfo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Dalam Negeri.
Ia menegaskan, tidak ada masalah yang menyebabkan pembahasan RUU ITE belum kunjung dilakukan. Namun, ia berharap agar pembahasan bisa segera dimulai. ”Pemerintah (Kominfo) berharap pembahasan revisi UU ITE sesuai surpres kepada pimpinan DPR RI dapat segera dimulai dalam masa sidang berikutnya. Kominfo tentu siap menyesuaikan dengan jadwal yang ditetapkan oleh DPR,” kata Johnny. (NIA/BOW)