Pengamat menilai, langkah politik apa pun yang dilakukan oleh sukarelawan pendukung Jokowi merupakan replika dari Jokowi. Karena itu, sikap sukarelawan tidak mungkin berbeda dengan Jokowi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunikasi Presiden Joko Widodo dengan sejumlah kelompok sukarelawan pendukungnya di Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, terkait mempercepat pelaksanaan Musyawarah Rakyat Indonesia, dinilai masih rasional. Sebab, tahun depan sudah memasuki tahun politik. Sikap Presiden baru dianggap berlebihan apabila sudah ikut berkampanye di hari kerja hingga menggunkan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
Sikap sukarelawan tidak mungkin berbeda dengan Jokowi dan tidak mungkin pula tanpa dikoordinasikan dengan Jokowi.
Baru akan menjadi masalah jika Presiden ikut berkampanye di hari kerja, atau menggunkan fasilitas negara.
Bagi PDI-P yang terpenting saat ini adalah membangun wacana positif tentang konsepsi kepemimpinan, bukan berkutat pada manuver politik.
Hal itu, di antaranya, diungkapkan oleh pengajar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (29/10/2022). Menurut dia, langkah politik apa pun yang dilakukan oleh sukarelawan pendukung Jokowi merupakan replika politik dari Jokowi. Karena itu, sikap sukarelawan tidak mungkin berbeda dengan Jokowi dan tidak mungkin pula tanpa dikoordinasikan dengan Jokowi.
”Jika ada keinginan dari Presiden agar musra segera dituntaskan, itu masih dalam batas rasional,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah kelompok sukarelawan pendukung Presiden Jokowi bakal mempercepat pelaksanaan Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia. Musra untuk mencari calon presiden dan calon wakil presiden penerus program Jokowi itu akan digelar pada Januari 2023 dari jadwal semula Maret 2023. Alasan pelaksanaan musra dipercepat, di antaranya dinamika politik yang semakin memanas dan permintaan dari Jokowi.
Apalagi, menurut Adi, tahun politik tinggal sebentar lagi. Dengan segera dituntaskannya musra dan dideklarasikannya nama capres-cawapres, kerja-kerja politik dapat dilakukan pula secara lebih cepat. ”Agsutus tahun depan sudah masuk pendaftaran capres. Jadi, ini adalah waktu yang pas bagi sukarelawan untuk dapat petuah dari Presiden Jokowi sebagai orang yang dianggap sebagai mentor dalam politik mereka,” ujar Adi.
Langkah politik apa pun yang dilakukan oleh sukarelawan pendukung Jokowi merupakan replika politik dari Jokowi.
Saat ini pun, kata Adi, dinamika politik juga sudah kian memanas. Banyak sukarelawan sudah mendeklarasikan dukungan terhadap nama-nama tertentu. Artinya, mesin politik surelawan sudah mulai bergerak.
Bahkan, sejumlah partai politik sudah membentuk poros koalisi, seperti Koalisi Indonesia Bersatu (Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan), serta Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa). Kemungkinan, dalam waktu dekat akan menyusul koalisi dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Adi meyakini, Presiden tidak ingin dikaitkan dengan pilpres, apalagi dia juga merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagaimana diketahui, semua kader PDI-P harus patuh terhadap hasil Kongres V PDI-P yang menyatakan keputusan bakal capres-cawapres usungan PDI-P merupakan keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Namun, di sisi lain, satu hal yang patut dipahami adalah Presiden sebagai warga negara juga mempunyai preferensi politik. Selama hal itu tidak dilakukan dalam konteks kenegaraan, menurut dia, masih dapat dimaklumi. Namun, baru menjadi masalah apabila Presiden sudah ikut berkampanye pada hari kerja, atau menggunkan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
”Yang tidak boleh, kan, kalau Presiden sampai memakai fasilitas negara atau memakai atribut-atribut yang melekat di dirinya sebagai seorang Presiden. Selama tidak dilakukan dalam konteks kenegaraan, tidak masalah. Toh, yang keinginan Presiden untuk mempercepat pelaksanaan musra, kan, itu sebatas omongan sukarelawan, meminta petunjuk dan komunikasi,” kata Adi.
Tidak bermanuver politik
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini tidak membalas pesan Kompas saat dimintai tanggapan soal komunikasi Presiden dengan panitia musra. Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro juga enggan mengomentari hal tersebut. ”Saya tidak mendapat update soal musra ini,” katanya.
Satu hal yang patut dipahami adalah Presiden sebagai warga negara juga mempunyai preferensi politik.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa bagi PDI-P yang terpenting saat ini adalah membangun wacana-wacana positif tentang konsepsi kepemimpinan, bukan justru berkutat dengan berbagai manuver politik. "Dorong wacana-wacana yang positif, bukan bermanuver, ada sukarelawan, ada orang per orang,” ucapnya.
Menurut Hasto, konsentrasi bekerja ke bawah dan menyelesaikan masalah rakyat jauh lebih penting dibandingkan dengan bermanuver politik menuju Pemilu 2024 yang masih cukup lama. ”Sepertinya pemilu dengan wacana yang terlalu dini ini mengurangi konsentrasi kita pada penyelesaian masalah ekonomi dan membangun kepemimpinan kita bagi bangsa-bangsa lain,” ujarnya.