Acay Sebut Terdapat CCTV di Ruangan Tempat Brigadir J Dibunuh
Acay, salah seorang saksi, menyebutkan, ada CCTV terpasang di dalam rumah dinas Ferdy Sambo, tempat Brigadir J dibunuh. Menurut Acay, berdasarkan pengakuan Sambo, kamera tersebut rusak.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rekaman kamera pemantau atau CCTV di dalam rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, disebut rusak. Kamera CCTV itu terpasang di ruangan tempat pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat terjadi pada 8 Juli 2022.
Hal itu diungkap oleh saksi Ajun Komisaris Besar Arie Cahya Nugraha alias Acay dalam sidang pemeriksaan saksi untuk kasus perintangan penyidikan pembunuhan Nofriansyah dengan terdakwa Brigadir Jenderal (Pol) Hendra Kurniawan dan Komisaris Besar Agus Nurpatria di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022). Sidang dipimpin hakim ketua Ahmad Suhel dengan didampingi Djuyamto dan Hendra Yuristiawan sebagai hakim anggota. Adapun tim jaksa penuntut umum dipimpin Syahnan Tanjung.
Acay bersaksi, saat diajak Sambo masuk ke rumah dinasnya, dia melihat Nofriansyah sudah meninggal berlumuran darah di bawah tangga di ruang tengah rumah. Sambo menjelaskan kepada Acay bahwa Nofriansyah terlibat tembak-menembak dengan Richard Eliezer akibat perbuatannya yang disebut telah melecehkan istrinya, Putri Candrawathi. Acay juga melihat ada sebuah CCTV di ruang tengah yang mengarah ke tangga tersebut.
”Saya melihat (jenazah Nofriansyah) di bawah tangga, sekitar 5 meter dari tempat saya berdiri. Saya kurang lebih di dalam selama 15 menit. Tidak lama setelah itu saya keluar. Di seberang tangga di dalam rumah ada CCTV yang mengarah langsung ke tangga. Yang saya lihat cuma satu CCTV,” kata Acay saat menjawab pertanyaan jaksa.
Setelah itu, Acay menyebut, ada seseorang yang tidak ia kenal menanyakan CCTV tersebut kepada Sambo, dan Sambo langsung menjawab CCTV tersebut sudah rusak. Dia tidak mengetahui apakah ada perintah atau pernyataan lain dari Sambo terkait CCTV di dalam rumah tersebut. Saat itu Acay hanya mengenali Sambo, Kepala Biro Provos Propam Polri Brigadir Jenderal (Pol) Benny Ali, dan Brigadir Kepala Rizky Rizal, ajudan Sambo. Ada pula sejumlah orang dari anggota Provos, yakni Benny Ali.
”Ada orang lain yang menanyakan (kondisi CCTV di dalam rumah), tetapi dijawab oleh Pak FS (Sambo) rusak tidak berfungsi. Tidak ada perintah kepada saya (terkait CCTV), dan saya tidak tahu (ada perintah Sambo atau tidak) kepada orang di situ,” ujarnya.
Adapun sejak penyidikan kasus ini berlangsung, rekaman CCTV di dalam rumah dinas Sambo tidak termasuk dalam barang bukti yang disita. Sebab, menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Dedi Prasetyo, pada 23 Juli lalu, setelah diperiksa oleh tim khusus Polri, CCTV tersebut memang rusak.
Dalam kasus ini, hanya terdapat tiga rekaman CCTV dari tiga dekoder yang menjadi barang bukti. Dua rekaman dari dekoder CCTV di pos satpam Kompleks Polri Duren Tiga dan satu rekaman dari dekoder rumah Eks Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Ridwan Rheky Nellson Soplanit yang merupakan tetangga Sambo.
Acay mengaku, kehadirannya di rumah dinas itu atas perintah Sambo tanpa alasan yang jelas. Dia pun mengaku sampai saat ini tidak mengetahui alasan Sambo meneleponnya untuk datang ke rumah tersebut. Dia diajak Sambo untuk masuk ke dalam melalui dapur, menuju ruang tengah, lalu melihat kondisi rumah setelah kejadian pembunuhan Nofriansyah.
Awalnya, sekitar pukul 18.45, dia melihat Sambo sedang merokok di dekat garasi menggunakan seragam pakaian dinas lapangan (PDL) dengan wajah memerah seperti orang marah.
Melihat Sambo dengan kondisi itu, Acay tidak berani langsung mendekat, ia menunggu di luar garasi, kemudian baru mendekat setelah Sambo menghabiskan rokoknya. Saat itu Sambo menyuruh Acay masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, Acay melihat jenazah Nofriansyah sudah berlumuran darah di bawah tangga dekat dapur.
Saat di Bali, Acay dihubungi oleh Hendra dan Agus untuk datang ke rumah dinas Sambo. Karena berhalangan, Acay kemudian melimpahkan tugas itu ke Irfan Widyanto, bawahannya.
Acay lantas kembali lagi bertemu Sambo di garasi dan bertanya, ”Siapa itu jenderal?” Sambo menjawab, ”Yosua, kurang ajar dia.” Sambo yang telah dipecat dari Polri itu kemudian menyampaikan kepada Acay bahwa Nofriansyah telah melecehkan istrinya, Putri Candrawathi.
Setelah itu, Acay bertanya kepada dua ajudan Sambo, Brigadir Kepala Ricky Rizal dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer, ikhwal jenazah Nofriansyah di dalam rumah. Dengan tenang, kata Acay, Eliezer menjawab, ”Siap saya, Ndan, yang menembak.” Tak lama berselang, ambulans datang untuk mengevakuasi jenazah Nofriansyah.
Besoknya, Acay pergi ke Bali untuk menghadiri acara pernikahan rekannya. Saat di Bali, Acay dihubungi oleh Hendra dan Agus untuk datang ke rumah dinas Sambo. Karena berhalangan, Acay kemudian melimpahkan tugas itu ke Irfan Widyanto, bawahannya, dan berkoordinasi dengan Agus.
Acay mengaku tidak tahu kalau Irfan akan disuruh mengamankan CCTV. Kepada hakim, Acay berpandangan, perintah mengamankan CCTV itu bertujuan mengumpulkan barang bukti terkait peristiwa di rumah dinas Sambo, bukan untuk dirusak.
Keterangan Acay itu dibantah oleh Hendra. Dia menyebut dalam percakapan telepon itu, dirinya sudah menjelaskan bahwa Acay disuruh datang untuk menyisir CCTV di sekitar rumah dinas Sambo dan diamankan untuk penyidikan.
”Pada 9 Juli itu dengan menggunakan handphone terdakwa Agus, dengan kata-kata yang jelas, saya sampaikan skrining itu. Saya sampaikan bahwa karena yang bersangkutan (Acay) ada di Bali, (maka) dia (Acay diminta) menyiapkan anggota. Kalau begitu, silakan berkoordinasi dengan Kombes Agus. Kalau dikoordinasikan berarti, kan, sudah ada perintah itu,” kata Hendra keberatan.
Dalam kasus perintangan penyidikan ini, Hendra dan Agus didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 10 miliar. Khusus Ferdy Sambo juga didakwa Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman terberat hukuman mati atau minimal 20 tahun penjara.