Lihat Wajah Sambo Merah, Acay Sempat Tak Berani Mendekat
Ajun Komisaris Besar Acay ditelepon oleh Sambo untuk datang menghadap. Saat itu dia melihat Sambo sedang merokok di dekat garasi menggunakan seragam pakaian dinas lapangan dengan wajah memerah seperti orang marah.
Oleh
Stephanus Aranditio
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Delapan saksi dihadirkan jaksa penuntut umum dalam sidang dugaan perintangan penyidikan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan terdakwa Ajun Komisaris Irfan Widyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (26/10/2022). Mereka menguatkan dakwaan yang menyebut Irfan telah mengganti dekoder kamera pengawas (CCTV) di sekitar rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri saat itu, Ferdy Sambo, di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Kedelapan saksi tersebut adalah dua petugas satpam Kompleks Polri Duren Tiga, Abdul Zapar dan Marjuki; pemilik usaha CCTV, Tjong Djiu Fung alias Afung; Supriyadi, teknisi CCTV; anggota Pusat Laboratorium Forensik Polri, Aditya Cahya; Ajun Komisaris Besar Arie Cahya Nugraha alias Acay; dan anggota Polri lainnya, M Munafri Bahtiar dan Tomser Kristianata.
Sidang pemeriksaan saksi ini dipimpin hakim ketua Afrizal Hadi dengan anggota Ari Muladi dan M Ramdes. Sementara jaksa penuntut umum dipimpin oleh jaksa Syahnan Tanjung dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam kesaksiannya, pada 8 Juli, AKBP Acay ditelepon oleh Sambo untuk datang menghadap. Acay lalu datang ke rumah Sambo di Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Sesampainya di sana ia tidak menemui Sambo, lalu ia bergeser ke rumah dinas Sambo di Duren Tiga.
Di sini, sekitar pukul 18.45, dia melihat Sambo sedang merokok di dekat garasi menggunakan seragam pakaian dinas lapangan (PDL) dengan wajah memerah seperti orang marah.
Di dalam rumah Sambo, Acay melihat Nofriahsyah sudah berlumurah darah di bawah tangga dekat dapur.
Melihat Sambo dengan kondisi itu, Acay tidak berani langsung mendekat, ia menunggu di luar garasi kemudian baru mendekat setelah Sambo menghabiskan rokoknya. Saat itu Sambo menyuruh Acay masuk ke dalam rumah, di dalam rumah, Acay melihat Nofriahsyah sudah berlumurah darah di bawah tangga dekat dapur.
Acay lantas kembali lagi bertemu Sambo di garasi dan bertanya "Siapa itu jenderal?", "Yosua, kurang ajar dia," jawab Sambo. Jenderal bintang dua Polri itu kemudian menceritakan kepada Acay bahwa Yosua telah melecehkan istrinya, Putri Candrawathi.
"Saya lupa secara persis apakah tembak menembak atau ditembak tapi yang jelas beliau ceritanya seperti itu," kata Acay di persidangan.
Setelah itu, Acay bertanya kepada dua ajudan Sambo, Brigadir Kepala Ricky Rizal dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer, ikhwal jenazah Nofriansyah di dalam rumah. Dengan tenang, kata Acay, Eliezer menjawab "Siap saya, ndan, yang menembak."
Tak lama berselang, ambulans datang untuk mengevakuasi jenazah Nofriansyah. Selanjutnya, Acay meminta Irfan untuk menyediakan makanan untuk makan malam seluruh polisi di rumah tersebut.
Besoknya, Acay pergi ke Bali untuk menghadiri acara pernikahan rekannya. Saat di Bali, Acay dihubungi oleh mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri Brigjen (Pol) Hendra Kurniawan untuk mengamankan CCTV. Acay kemudian melimpahkan tugas itu ke Agus Nurpatria dan Irfan Widyanto, bawahannya.
Proses penggantian CCTV
Afung ditelepon oleh Irfan pada 9 Juli pada pukul 15.00 atau sehari setelah pembunuhan Nofriansyah untuk datang ke komplek Polri Duren Tiga dengan membawa dua unit dekoder atau DVR (digital video recorder) baru. Dua unit DVR baru ini akan dipasang di pos satpam komplek Polri Duren Tiga menggantikan dua dekoder yang lama.
Afung mengaku tidak pernah mengenal Irfan sebelumnya, dia juga tidak tahu penggantian CCTV itu untuk tujuan apa. Dua unit dekoder baru itu langsung Afung kirim dengan menggunakan aplikasi ojek daring ke Duren Tiga, kemudian ia menyusul ke Duren Tiga pada pukul 17.50 untuk memasang dekoder baru di pos satpam.
"Irfan minta ganti dua unit DVR, saya tanya minta kapasitas berapa gigabyte, lalu saya antar ke Duren Tiga dua unit dvr dan hardisk masing-masing 1 kapasitas terabyte. Harganya total Rp 3.550.000, itu sudah sama ongkos jasa. Dibayar melalui transfer m-banking atas namanya beda (bukan nama Irfan), nota pembeliannya sudah saya masukkan dalam berita acara pemeriksaan," kata Afung.
Sependek ingatan Afung, saat mengecek dekoder lama di pos satpam, kondisinya masih bagus. Namun, dia tidak mau tahu terlalu dalam kenapa dekoder yang masih bagus harus diganti baru. Hubungannya dengan Irfan hanya bersifat pedagang dan pembeli. "Tidak tahu. Saya kan pekerja yang dapat order. Semua bukan urusan saya," tutur Afung.
Setelah mengganti dekoder CCTV, dekoder lama dimasukkan ke dalam tas hitam lalu diserahkan ke Irfan. Di dalam dakwaan diceritakan bahwa tas hitam tersebut dibawa Irfan kepada Komisaris Polisi Chuck Putranto (anak buah Sambo lainnya). Chuck lalu menyerahkannya pada penyidik Polres Jakarta Selatan untuk kepentingan penyidikan dugaan pelecehan seksual istri Sambo, Putri Candrawathi. Namun, esoknya diambil kembali atas perintah Sambo.
Sementara itu, Zapar yang merupakan satpam Komplek Polri Duren Tiga, bersaksi bahwa dirinya yang saat itu bertugas diminta Irfan dan sekitar tiga polisi lain untuk masuk ke pos dan mengganti dekoder CCTV. Dia sempat mencegah dengan mengingatkan Irfan bahwa penggantian dekoder harus seizin ketua RT.
Namun, Irfan tidak mengindahkan Zapar dan Zapar tak kuasa melawan. Kesaksian Zapar ini menguatkan dakwaan yang menyebut ada intimidasi yang dilakukan Irfan kepada Zapar saat penggantian dekoder CCTV.
"Saya takut, Pak, karena piket sendiri. Sebenarnya saya mau lapor ke Pak RT, tetapi didatangi oleh dua orang itu. Dia bilang 'saya juga polisi'. Saya bawa handphone waktu itu (tidak disita), mau menelpon Pak RT juga dilarang," kata Zapar.
Mendengar keterangan ini, Irfan membantah, dia mengklaim tidak pernah melarang satpam untuk melapor ke Ketua RT. Dia meminta jaksa penuntut umum untuk mendatangkan tiga orang polisi lain yang berada di pos satpam saat peristiwa penggantian dekoder CCTV tersebut.
"Saya keberatan terkait menghalang-halangi untuk hubungi Ketua RT. Karena faktanya, ketika saya datang, saya izinkan untuk hubungi Ketua RT," ucap Irfan.
Saksi lainnya, anggota Puslabfor Polri, Aditya Cahya mengaku menerima dekoder asli sebagai barang bukti saat penyidikan pembunuhan Nofriansyah. Saat diperiksa, dekoder sudah dalam posisi kosong tidak ada data.
"Kami terima informasi bahwa CCTV yang diperiksa Puslabfor Bareskrim kosong. Datanya tidak ada dan tidak bisa diakses," kata Aditya.
Marjuki, satpam lainnya bersaksi, pada saat bertugas tanggal 8 Juli sempat mendengar suara mirip petasan sebanyak tiga kali. Saat mendengar itu, ia hanya berjarak sekitar 20 meter dari rumah dinas Sambo di Komplek Polri Duren Tiga. Saat itu, sepenglihatan Marjuki, rumah Sambo juga terlihat cukup ramai, namun dia tidak melihat jika ada ambulans yang datang.
"Saya lagi piket, kurang lebih 20 meter saya mendengar suara kayak petasan. Mungkin sekitar tiga kali. Saya tidak tahu tembak menembak antara siapa dengan siapa" ungkap Marjuki.
Dakwaan Irfan
Di dalam dakwaan, Irfan disebutkan telah mengganti sebanyak tiga unit dekoder CCTV, dua di pos satpam dan satu di rumah tetangga Sambo yakni Ridwan Rhekynellson Soplangit yang saat itu masih menjabat Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jakarta Selatan. Irfan melakukan hal itu atas perintah atasannya, Chuck Putranto. Sementara Chuck ditugaskan oleh Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri Brigjen (Pol) Hendra Kurniawan, dan perintah ini berasal dari Ferdy Sambo.
Setelah Irfan menjalankan perintah. Chuck lantas meminta rekannya, Kompol Baiquni Wibowo untuk melihat dan menggandakan rekaman kamera pengawas. Data rekaman yang diambil khusus dari pukul 16.00 hingga 18.00 atau rentang waktu penembakan Brigadir J, pada 8 Juli. Rekaman ini sempat dilihat oleh Chuck bersama dengan Arif Rahman Arifin (anak buah Sambo), Baiquni, dan Ridwan Rhekynellson Soplangit yang saat itu masih menjabat Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jakarta Selatan.
Atas perbuatannya, Irfan didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Khusus Ferdy Sambo juga didakwa Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman terberat hukuman mati atau minimal penjara paling lama 20 tahun.