Wapres Amin: Santri Bukan Mencari Kedudukan dan Kemuliaan
Santri di Indonesia berperan sejak masa perjuangan hingga saat membangun bangsa. Khitah santri adalah melakukan perbaikan dalam kerangka NKRI.
Oleh
NINA SUSILO, DIAN DEWI PURNAMASARI, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Santri bertugas melakukan perbaikan-perbaikan. Karena itu, kendati siap dengan segala tugas apa pun, semestinya apa yang dilakukan santri bukan untuk mencari kedudukan dan kemuliaan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan peran dan tuntutan santri di masa kontemporer. ”Setelah para pendiri (bangsa) memperjuangkan, mempertahankan, menjaga (kemerdekaan), sekarang saatnya kita menjaga persatuan, menjaga ukhuwah (persaudaraan), menjaga toleransi, memakmurkan dan membangun Indonesia,” ujarr Wapres saat peringatan Hari Santri 2022 di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Pada dasarnya, menurut Wapres Amin, khitah atau tujuan awal yang mendasari para santri adalah membuat perbaikan-perbaikan (islah) baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. ”Langkah-langkah santri itu bukan untuk mencari kedudukan, bukan untuk mencari kemuliaan, tujuannya tetap islahiyah (membuat perbaikan),” kata Wapres, menambahkan.
Kendati demikian, santri siap mendapatkan tugas apa pun termasuk menjadi presiden, wakil presiden, menteri, dan jabatan lainnya.
Dalam peringatan Hari Santri Nasional 2022, pesan bahwa para santri bisa menjadi apa pun dibunyikan. Para menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh Mahfud MD, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan para bupati/wali kota tampil bershalawat Nabi Muhammad SAW bersama Wapres Amin di panggung. Selain itu, ada pula Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf. Sebelumnya, Khofifah melantunkan Maulid (puji-pujian) yang diikuti para bupati dan wali kota yang juga mantan santri.
Santri berperan sejak masa perjuangan sampai pembangunan. Karena itu, 22 Oktober 1945 waktu munculnya resolusi jihad ditetapkan sebagai Hari Santri.
Wapres Amin menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang mendasari santri terus berperan di Indonesia. Pertama, semangat cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Hal ini membuat para santri siap melakukan apa pun untuk bangsa termasuk mengorbankan nyawa.
Kedua, santri memegang teguh kesepakatan nasional terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila selain kesepakatan dengan Tuhan dan kesepakatan kemanusiaan. Ini pula yang menyebabkan ideologi apa pun dan bentuk negara apa pun—kendati islami, seperti khilafah, keamiran, kerajaan—tidak bisa masuk di Indonesia.
”Karena menyalahi kesepakatan yang oleh santri dipegang teguh sebagai kesepakatan nasional,” ujar Wapres.
Ketiga, ada semangat untuk memakmurkan Bumi. Ini adalah tanggung jawab manusia untuk memakmurkan Bumi dan membangun. Karena itu, kata Wapres, santri dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keselarasan antara semangat para santri dan NKRI juga dikuatkan Menko Polhukam Mahfud MD dalam laporannya. Dia mengungkapkan, peringatan Hari Santri tahun ini diselenggarakan di Kantor Kemenko Polhukam karena tema yang diangkat terkait ideologi negara, ideologi santri. Tema itu untuk menegaskan bahwa negara Indonesia dibangun bersama kaum santri, para ulama, sehingga menjadi kewajiban sejarah bagi seluruh santri untuk mempertahankan ideologi negara.
”Tidak usah dipertentangkan dengan ideologi lain karena ideologi negara itu ideologi pesantren,” ujar Mahfud.
Mahfud menyebutkan bahwa sekarang ini kaum santri telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Dulu, menurut Wapres, diejek sebagai kaum udik dan kampungan. Biasanya, santri juga hanya bisa bekerja di sektor kantor Kementerian Agama dalam artian disempitkan kesempatannya.
Namun, kini, santri mengalami mobilitas yang luar biasa. Kini, santri sudah ada yang menjadi presiden, wakil presiden, termasuk di berbagai profesi pejabat, akademisi, politikus, gubernur, bupati, wali kota, sastrawan, seniman yang berpengaruh di Indonesia.
”Sekarang juga sudah banyak masuk ke berbagai jabatan di perguruan tinggi dan instansi. Tidak hanya bekerja dalam hal pengurusan agama dalam arti sempit, tetapi sudah masuk dalam sektor berbangsa dan bernegara,” kata Mahfud.
Bahkan, dalam setiap kontestasi politik di Indonesia selalu memperhatikan dukungan umat Islam dan kaum santri. Karena kaum santri sekarang juga sudah mengalami mobilitas sosial yang sangat tinggi, umat Islam pun juga sudah tidak ditakuti dalam proses politik di negeri ini. Umat Islam justru selalu diperhitungkan peran-perannya.
Untuk pembangunan jangka panjang, katanya, ideologi Pancasila sebagai ideologi negara dapat diaktualisasikan oleh para santri. Mereka bisa melakukan lompatan dengan mobilitas sosial naik secara vertikal. Para santri hadir di dalam etalase nasional bukan karena dikatrol atau melalui jalur nepotisme, melainkan karena kemampuan mereka sendiri. Gerakan santri diharapkan menyembur dari bawah seperti air mancur yang deras memancurkan air ke atas.
Dia juga mengimbau agar umat Islam harus bersikap toleran dan menerima perbedaan untuk maju bersama. Para santri wajib menjaga NKRI dengan segala kebinekaannya, dan harus terus berkiprah dengan napas Islami, dalam prinsip ideologi negara Pancasila. Ini semua harus bisa dilakukan oleh seluruh santri dengan semboyan ideologi negara ideologi santri.
”Umat Islam sebagai umat wasathiyah, umat pertengahan, tidak ekstrem, adil dan toleran. Agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia, dan agar rosulmu menjadi saksi atas perbuatanmu semua,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menambahkan, ideologi negara adalah ideologi santri karena bisa dilihat selama ini sikap santri, para pengampu pesantren, ulama, dan pendukungnya yang membela NKRI UUD 1945 dalam kerangka berpikir keagamaan. Mereka juga selalu berpikir bangsa ini layak dibela dengan mempertahankan nyawa dan janji sahid.
”Konsekuensi dari ideologi negara, ideologi santri adalah santri tidak boleh lagi dilihat sebagai identitas politik. Tidak boleh lagi identitas santri diperalat sebagai senjata politik,” kata Gus Yahya.
Menurut dia, selama ini, santri masih kerap dijadikan identitas politik. Salah satunya karena masih ada anggapan bahwa santri terbelakang dan tertinggal. Itu kemudian dijadikan ideologi politik yang bisa memecah belah umat. Gus Yahya juga meminta santri agar bersama-sama mencegah jangan sampai identitas primordial, suku Islam, dijadikan lagi sebagai alat politik menuju Pemilu 2024.