Tak Hanya Soal Gaya Hidup, Integritas dan Akuntabilitas Kepolisian Perlu Diperbaiki
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, permintaan Presiden agar polisi tak bergaya mewah harus disertai penguatan integritas dan akuntabilitas kinerja. Tanpa itu, hanya pura-pura.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan Presiden Joko Widodo agar anggota kepolisian tidak bergaya hidup mewah harus dibarengi dengan penguatan integritas dan akuntabilitas kinerja Kepolisian Negara RI. Tanpa hal tersebut, perubahan gaya hidup hanya menjadi kepura-puraan semata. Inti dari persoalan gaya hidup sebenarnya adalah adanya peluang mendapatkan keuntungan materiil dengan cara menyalahgunakan jabatan yang dimiliki.
”Jika hanya soal gaya hidup mewah yang diminta berubah tanpa diikuti dengan penguatan atas integritas dan akuntabilitas, perubahan ini hanya menjadi kamuflase kepura-puraan. Sehingga, para kapolda hingga kapolres harus mampu menerjemahkan arahan ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan perbaikan integritas dan akuntabilitas,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, Senin (17/10/2022).
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengingatkan pejabat di Mabes Polri, para kapolda dan kapolres, untuk menahan diri tidak bergaya hidup mewah yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat.
Taufik mengungkapkan, gaya hidup mewah sebenarnya dilakukan oleh sekelompok personel Polri. Masih begitu banyak polisi yang hidup sederhana karena memang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Kelompok ini adalah para babinkamtibmas yang ada di desa-desa yang bertugas langsung berhadapan dengan masyarakat. ”Karena itu, gaya hidup mewah ini menimbulkan ketimpangan di institusi Polri,” tambahnya.
Karena itu, gaya hidup mewah ini menimbulkan ketimpangan di institusi Polri.
Menurut dia, perubahan gaya hidup mewah menjadi apa adanya tidak bisa berdiri sendiri tanpa diikuti dengan integritas dan akuntabilitas kinerja personel kepolisian. Gaya hidup mewah sebenarnya muncul akibat dari tidak akuntabelnya kerja beberapa unit di kepolisian sehingga membuka peluang bagi oknum untuk mendapatkan keuntungan materiil dari jabatannya.
Masalah struktural
Pengamat hukum Erwin Natosmal Oemar dari Turin, Italia, menjelaskan, permasalahan di tubuh Polri bukan hanya terkait dengan citra atau kultural (kekerasan, korupsi, ataupun narkoba). Namun, ada permasalahan struktural seperti pengawasan dan minimnya check and balance dari lembaga lain.
Terkait dengan gaya hidup mewah, menurut Erwin, Presiden perlu membuat suatu gebrakan dengan membuat kebijakan atau pengaturan mengenai illicit enrichment (kekayaan yang tidak wajar). Penghasilan pejabat publik yang tidak rasional dan tidak dapat dibuktikan secara sah menjadi salah satu ukuran. Sebenarnya, tidak ada proposal reformasi kepolisian yang baru dalam pidato presiden. Padahal sebagai kepala negara dan pemerintahan, pihaknya berharap ada sesuatu yang baru dalam reformasi kepolisian yang bisa menjadi legacy Jokowi ke depan.
Jika dibandingkan dengan negara lain, reformasi kepolisian di negeri ini sebenarnya lebih mudah dilakukan karena reformasi bisa dilakukan dari atas di mana kepolisian RI tersentralistik. Salah satu usulan yang dapat diadopsi adalah meminjam reformasi kepolisian di Meksiko di mana Presiden membuat sebuah hotline nasional untuk melaporkan praktik-praktik polisi yang bermasalah.
Pidato Presiden Jokowi yang mengingatkan pejabat kepolisian untuk tidak bergaya hidup mewah sebenarnya meneguhkan kembali komitmen dan konsistensi anggota Polri untuk mewujudkan tata Kelola pemerintahan yang baik dan bersih melalui penerapan pola hidup sederhana dan tidak bergaya hidup mewah.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, mengungkapkan, pihaknya akan meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan Itwasum dan Divpropam Mabes Polri terkait dengan pemantauan gaya hidup mewah anggota kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Barang yang Tergolong Mewah oleh Pegawai Negeri Polri.
Seperti diketahui, Perkap No 10/2017 mengatur pegawai negeri Polri dapat memiliki barang mewah sesuai penghasilan yang sah (gaji, usaha yang sah, hibah, warisan, atau perolehan lain yang sah), tetapi harus melaporkannya ke Kadiv Propam untuk tingkat Mabes Polri, Kabid Propam untuk tingkat kepolisian daerah, dan Kepala Seksi Propam untuk tingkat Kepolisian Resor. Adapun yang tergolong barang mewah, antara lain, alat transportasi pribadi yang melebihi harga Rp 450 juta dan tanah/bangunan pribadi melebihi harga Rp 1 miliar.
Yusuf mengungkapkan, masyarakat bisa menyampaikan keluhan jika terdapat anggota kepolisian bergaya hidup mewah baik ke Kompolnas, ke Itwasum, ataupun Propam. Masyarakat juga bisa membandingkan harta yang dimiliki pejabat Polri tertentu dengan yang ada di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). ”Ketika ada barang mewah di dalam LHKPN, ini dilaporkan ke Propam ataukah tidak,” ujarnya.
Menurut dia, pidato Presiden Jokowi yang mengingatkan pejabat kepolisian untuk tidak bergaya hidup mewah sebenarnya meneguhkan Kembali komitmen dan konsistensi anggota Polri untuk mewujudkan tata Kelola pemerintahan yang baik dan bersih melalui penerapan pola hidup sederhana dan tidak bergaya hidup mewah. Aturan yang sudah ada, yaitu Perkap No 10/2017 diingatkan kembali oleh Presiden.