Tindak Lanjut Perintah Presiden, Evaluasi Seluruh Penegak Hukum
Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari kepolisian sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo lalu dilanjutkan ke instansi penegak hukum yang lain.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi kelembagaan dan kultural aparat penegak hukum perlu dilakukan di seluruh jajaran penegak hukum, tak hanya kepolisian semata. Reformasi kepolisian bisa menjadi langkah awal bagi pembaruan hukum dan aparat penegak hukum secara menyeluruh.
Mantan hakim agung Gayus T Lumbuun, Minggu (16/10/2022), mengungkapkan, tak hanya kepolisian, reformasi tersebut perlu juga dilakukan di kejaksaan, pengadilan, hingga Mahkamah Agung, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengevaluasi seluruh jajaran aparat penegak hukum.
Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dari kepolisian sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo lalu dilanjutkan ke instansi penegak hukum yang lain.
Presiden Jokowi dalam pengarahan yang disampaikan kepada perwira tinggi Polri, kepala kepolisian daerah, dan kepolisian resor se-Indonesia di Istana Negara, Jumat (14/10/2022), menyoroti gaya hidup mewah yang ditunjukkan oleh sebagian anggota Polri. Presiden khawatir gaya hidup mewah yang diperlihatkan di tengah situasi ekonomi yang tak menentu akan menimbulkan kecemburuan sosial serta letupan-letupan di tengah masyarakat (Kompas, 15/10/2022).
Gayus mengungkapkan, evaluasi jajaran penegak hukum sebenarnya bukan permasalahan di negeri ini semata. Meksiko pernah juga mereformasi institusi kepolisian dengan memberhentikan lebih dari 900 polisi di Boca del Rio, Veracruz, pada 2011. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengikis perilaku koruptif dan perang terhadap narkoba. Tugas kepolisian setempat bahkan pernah diambil alih oleh Angkatan Laut Meksiko.
Sementara itu, peradilan di kota Georgia, Eropa, pernah memberhentikan seluruh hakimnya sehingga perkara yang ada langsung ditangani oleh hakim dari Inggris dan Belanda.
Gayus mengatakan, langkah tersebut (Meksiko dan Georgia) tak perlu sampai dilaksanakan di Indonesia. Namun, perlu langkah konkret yang segera diambil, yaitu evaluasi aparat penegak hukum. ”Yang baik dipertahankan, yang jelek diganti,” ujarnya.
Evaluasi tersebut bisa dilakukan terhadap pimpinan institusi kepolisian baik di pusat maupun daerah. ”Pimpinan mabes, polda, dan polres dievaluasi. Jaksa juga begitu, dari Jaksa Agung hingga pimpinan kejaksaan negeri. Pimpinan KPK dan pengadilan dilakukan hal yang sama,” katanya.
Ia melihat ada persoalan dalam peradaban hukum. ”Sudah tidak beradab. Kita bisa lihat kok. Mana ada bintang dua menjadi kartel narkoba. Merampas, menyita, menggunakan, dan menjual narkoba. Ini sudah kartel. Sudah lengkap,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, menilai, perintah Presiden agar kepolisian melakukan reformasi kultural—salah satunya tidak bergaya hidup mewah—merupakan perintah serius.
”Seingat saya belum pernah atau jarang dilakukan hal demikian. Selaku kepala negara, Presiden hendak menunjukkan bahwa beliau terganggu dan serius menghendaki pembenahan Polri. Apalagi presiden sudah kasih arahan langsung sampai level perwira menengah. Biasanya berjenjang,” katanya.
Menurut Charles, arahan Presiden tersebut harus diterjemahkan dengan aksi konkret dengan timeline waktu yang jelas dan capaian yang terukur. Hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah perlunya monitoring berkelanjutan. Ini menjadi peran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga ex officio Ketua Komisi Kepolisian Nasional atau setidaknya Kantor Staf Presiden.
Selain itu, Komisi III DPR sebagai mitra kerja kepolisian juga harus mengawal pelaksanaan arahan tersebut sekaligus memberikan dukungan.
Sebenarnya, Polri sudah memiliki program strategis pembaruan kepolisian. Menko Polhukam tinggal memeriksa capaian dan target-target yang belum terpenuhi. Namun, katanya, karena sudah ada arahan dari Presiden, yang dibutuhkan adalah percepatan atas program pembaruan tersebut. Strategi nasional pemberantasan korupsi juga bisa dirujuk jika ingin melakukan pembenahan kelembagaan.
”Jadi sudah banyak sebenarnya (program pembaruan). Namun, mungkin jalannya pelan atau enggak dilihat lagi setelah dibuat. Sekarang (merupakan) momen buat akselerasi semua program strategis tersebut,” katanya.
Proaktif dan terapkan sanksi tegas
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengungkapkan, arahan Presiden tersebut sebenarnya bukan hal yang baru. Sebab, sejak dulu sudah ada surat telegram ST/30/XI/HUM.3.4/2019/DIVPROPAM tertanggal 15 November 2019 yang berisi Peraturan Disiplin Anggota Polri, Kode Etik Profesi Polri, dan Kepemilikan Barang Mewah oleh Pegawai Negeri di Polri.
Beberapa hal yang ditegaskan dalam surat telegram tersebut antara lain tidak menunjukkan, memakai, memamerkan barang-barang mewah dalam kehidupan sehari-hari baik dalam interaksi sosial di kedinasan maupun area publik; senantiasa menjaga diri, menempatkan pola hidup sederhana di lingkungan institusi Polri maupun kehidupan bermasyarakat; tidak mengunggah foto atau video pada media sosial yang menunjukkan gaya hidup yang hedonis karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial; pimpinan kasatwil, perwira dapat memberikan contoh perilaku dan sikap yang baik, tidak memperlihatkan gaya hidup yang hedonis terutama Bhayangkari dan keluarga besar Polri.
Terkait dengan arahan Presiden, Allan mengatakan, Itwasum dan Divpropam harus proaktif mengawasi polisi khususnya dalam hal gaya hidup mewah. Apabila ada polisi yang melanggar etik, dapat diumumkan ke publik. Sanksi etik juga harus diterapkan yang bisa berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat atau pemecatan. Proses persidangan terhadap pelaku pelanggaran tersebut perlu diketahui publik.
Selain memiliki pola hidup yang sederhana, Allan juga meminta agar kepolisian mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam peraturan Kapolri terkait kode etik, juga ditegaskan mengenai keharusan bagi polisi untuk menjaga etika kemasyarakatan. Anggota Polri harus memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
”Sebagai bentuk pengawasan berlapis, polisi dapat membuka layanan aduan untuk masyarakat dapat melaporkan polisi yang melanggar etik dan tidak melayani dengan baik. Dengan catatan, aduan ini diterima dengan baik, diproses secara transparan, dan masyarakat diberi respon atau tanggapan terkait tindak lanjut laporan yang disampaikan,” kata Allan.