Larangan Polisi Membawa Tongkat Komando Dapat Dilihat sebagai Simbol Pelucutan
Bukan hanya dapat dimaknai dilucuti. Keputusan Presiden menemui seluruh perwira polisi secara langsung pada Jumat (14/10/2022) mengindikasikan bahwa pimpinan Polri tidak lagi didengar oleh jajaran di bawahnya.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan bagi para perwira menengah dan tinggi Polri membawa tongkat komando saat menemui Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, pada Jumat (14/10/2022), dapat dimaknai sebagai simbol pelucutan kepada jajaran yang tidak mau ikuti perintah. Keputusan Presiden menemui seluruh perwira polisi itu secara langsung juga mengindikasikan bahwa pimpinan Polri tidak lagi didengar oleh jajaran di bawahnya.
Penilaian itu disampaikan oleh kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, Sabtu (15/10/2022), saat dihubungi dari Jakarta. Menurut dia, semestinya Presiden cukup bicara kepada pimpinan puncak Polri. Namun, Presiden memilih bertemu langsung.
”Pertimbangannya adalah, pertama, kemungkinan pimpinan Polri dianggap tidak mampu atau tidak didengar saat menyampaikan kepada jajaran. Kedua, jajaran perwira Polri memiliki masalah yang sedemikian banyaknya sehingga memaksa Presiden harus bicara langsung kepada mereka,” kata Adrianus.
Dalam arahanya kepada jajaran Polri yang berlangsung secara tertutup, pada Jumat, pihak Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang hadir di pertemuan itu menyebutkan bahwa Presiden menyinggung berbagai insiden yang mencoreng citra Polri telah menurunkan kepercayaan publik. Untuk itu, Presiden meminta agar Polri berbenah dan bersih-bersih, mulai dari menghilangkan gaya hidup mewah hingga menangani pelanggaran yang dilakukan personel Polri.
Beberapa waktu terakhir, publik dihadapkan dengan kasus pembunuhan berencana Brigadi J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo yang sudah dipecat. Pembunuhan itu pun melibatkan banyak anggota polisi berpangkat perwira tinggi hingga yang berpangkat Tamtama.
Saat Presiden memberikan arahan tersebut, seorang perwira tinggi Polri terungkap diduga terkait dalam jaringan peredaran narkoba, yakni Inspektur Jenderal Teddy Minahasa. Pada Jumat malam, Polda Metro Jaya mengumumkan calon Kepala Polda Jawa Timur itu sebagai tersangka pidana narkotika.
Apalagi, dalam pertemuan tersebut, semua perwira Korps Bhayangkara diperintahkan tidak mengenakan topi dan tidak membawa tongkat komando serta tak diperkenankan membawa ajudan. ”Jadi, pertemuan kemarin, termasuk di mana yang hadir tidak boleh membawa tongkat komando dan lain-lain, bisa dilihat dari perspektif budaya Jawa. Tidak diperbolehkannya membawa tongkat komando dan lain-lain adalah simbol pelucutan yang akan dilakukan Presiden kepada jajaran yang tidak mau ikut perintah,” ucap Adrianus.
Adrianus ragu bahwa Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mampu menerjemahkan kemauan Presiden tersebut.
Namun, Adrianus ragu bahwa Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mampu menerjemahkan kemauan Presiden tersebut. ”Kapolri yang sekarang kelihatannya sudah terhuyung-huyung digebuk berbagai kasus. Padahal, untuk melakukan bersih-bersih butuh kemampuan dan keberanian serta ”jarak” antara diri Kapolri dan permasalahan yang telah ataupun akan timbul,” tambahnya.
Adrianus pun menilai perlunya hadir polisi ”lain” yang lebih segar. Namun, ketika ditanya apakah kehadiran polisi ”lain” berarti Presiden harus mengganti Kapolri, Adrianus tidak memberikan ketegasan. ”Perlu hadir polisi lain yang lebih segar di mana Presiden dapat berekspektasi tinggi terkait hasil kerjanya. Kerja bersih-bersih itu berat sehingga lebih baik dilakukan oleh orang yang tidak terbebani macam-macam hal,” ujarnya.
Dalam rekaman utuh arahan Presiden kepada jajaran Polri, yang dibagikan pihak Istana Kepresidenan, Presiden menyampaikan lima arahan. Arahan pertama adalah agar Polri memperbaiki apa yang menjadi keluhan masyarakat. ”Jadi, keluhan masyarakat terhadap Polri, 29,7 persen itu ini sebuah persepsi karena pungli. Tolong ini anggota-anggota semuanya itu yang begitu. Sewenang-wenang, tolong ini juga diredam pada anggota-anggota. Pendekatan-pendekatan yang represif, jauhi. Mencari-cari kesalahan nomor yang ketiga, 19,2 persen. Dan yang keempat, hidup mewah,” ujar Presiden.
Presiden juga menyampaikan arahan keduanya, yakni meminta kepada petinggi dan perwira Polri untuk selalu mengingatkan anggotanya agar memberikan pelayanan kepada masyarakat serta menjaga rasa aman dan nyaman. Arahan ketiga, Kepala Negara meminta jajaran Polri menjaga kesolidan, baik di internal Polri maupun dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
”Harus ditunjukkan soliditas di internal Polri dulu. Rampung, kemudian soliditas Polri dan TNI itu yang akan mengurangi tensi politik ke depan. Soliditas. Harus ada kepekaan, posisi politik ini seperti apa, sih. Karena Saudara-saudara adalah pimpinan-pimpinan tertinggi di wilayah masing-masing. Sense of politic-nya juga harus ada. Tidak bermain politik, tetapi mengerti masalah politik karena memang kita akan masuk dalam tahapan tahun politik,” paparnya.
Keempat, Presiden meminta adanya kesamaan visi Polri serta ketegasan terkait kebijakan organisasi. Arahan kelima, Presiden mengingatkan agar jangan sampai pemerintah ataupun Polri dipandang lemah terkait dengan penegakan hukum. Untuk itu, Presiden secara tegas meminta Kapolri agar memberantas judi daring serta jaringan narkoba sehingga bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada Polri.
Presiden juga mengingatkan bahwa teknologi pada masa sekarang telah menyebabkan perubahan interaksi sosial secara total. Menurut Presiden, saat ini adalah masa penuh keterbukaan karena semua orang bisa mengabarkan peristiwa yang terjadi pada media sosial, bukan hanya TV, media cetak, atau media daring.