Antara Indonesia, Teknologi Fregat Perancis, dan Teater Asia-Pasifik
Perancis melakukan berbagai penyesuaian dan inovasi teknologi militer untuk bersiap menghadapi perang modern di Asia-Pasifik. Lalu, bagaimana Indonesia memperjuangkan kepentingan nasionalnya di kawasan Asia-Pasifik?
Terbiasa dengan Perancis sebagai negara Eropa, kita sering lupa wilayah teritori dan kepentingan Perancis di Asia-Pasifik. Menghadapi China dengan strategi Anti-akses dan Penangkalan Wilayah, Perancis pun menyiapkan kemampuan peperangan lautnya.
Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam dokumen France’s Indo Pacific Strategy 2022 mengatakan, wilayah Indo-Pasifik menjadi perhatian lebih sejak 2018. Ada 1,6 juta warga negara Perancis di kawasan itu. Lebih dari tiga perempat Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perancis juga ada di wilayah Indo-Pasifik.
ZEE ini terkait beberapa teritorial Perancis, seperti Kaledonia Baru dan Polinesia. Saat ini ada 7.000 tentara Perancis di kawasan tersebut untuk menjaga kedaulatan dan bekerja sama menjaga keamanan kawasan. Faktor utama adalah soal keamanan dan pertahanan. ”Kami ingin kawasan Indo-Pasifik tetap inklusif dan memastikan kebebasan berlayar,” kata Macron dalam dokumen France’s Indo Pacific Strategy 2022.
Masalahnya, wilayah Asia-Pasifik tak hanya luas, tapi juga memiliki bentuk ancaman yang lebar, mulai dari China dengan taktik abu-abu dan klaim teritorialnya, AS yang berusaha mempertahankan hegemoninya, hingga masalah bencana alam dan pentingnya jalur perdagangan maritim. Perancis yang punya teritori tentunya juga ingin mengambil posisi dalam geopolitik di kawasan.
Strategi penting yang dijalankan Perancis adalah menjalin kemitraan, misalnya dengan negara-negara yang secara tradisional dekat, seperti India dan Singapura. Namun, terlihat bahwa Perancis juga berupaya menggalang kedekatan dengan Indonesia walaupun terasa belum optimal. Hal ini terlihat sejak 2017 saat Presiden Francois Hollande datang ke Indonesia, setelah Francois Mitterrand tahun 1986.
Usai kaget dengan terbentuknya AUKUS—Australia, Inggris, dan AS, Presiden Macron bertemu dengan Presiden Joko Widodo di sela-sela KTT G7 Jerman pada pertengahan 2022. Bukan tanpa pertimbangan geopolitik pula kalau belakangan ini Menteri Pertahanan Prabowo Subianto banyak melirik persenjataan dari Perancis, seperti pesawat tempur Rafale dan kapal selam Scorpene.
Kekuatan
Selain menjalin kemitraan, Perancis juga membangun kekuatan angkatan laut dengan industri pertahanan yang sudah mapan dan birokrasi pertahanan yang menunjang. Dalam tataran taktis dan teknis, persepsi ancaman terbagi dua, yaitu pola tingkah China dan ancaman nontradisional, seperti bencana alam dan pencurian ikan.
”Kami memilih menggunakan teknologi yang ada saat ini daripada menunggu lebih lama,” ujar Wakil Asisten Operasi Kepala Staf AL Perancis bidang Perencanaan dan Program Laksamana Pertama Eric Mabrunot, Senin (12/9/2022), dalam konferensi pers Euronaval Press Tour di Paris.
Ia mengakui, ada risiko dari pilihan itu. Namun, Angkatan Laut (AL) Perancis memilih menerima risiko kinerja yang berkurang daripada menunggu pengembangan teknologi yang mumpuni, tetapi terlambat. AL Perancis pun mengubah pendekatannya pada teknologi yang bisa segera dipakai dan lebih murah. Ini menjadi perubahan pola pikir di AL Perancis karena menghadapi dinamika di Indo-Pasifik.
Alat-alat hasil pengembangan langsung dipasang di kapal untuk diuji coba kinerjanya. Baru setelah itu dilakukan pengembangan berikutnya. Beberapa kemampuan peperangan laut tengah dibangun. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Persenjataan Laut Direktorat Persenjataan Umum (DGA) Jenderal Insinyur Persenjataan Emmanuelle Trivillier menyebutkan, selain inovasi, DGA juga ingin meningkatkan kemampuan yang sudah ada. Kapal induk, misalnya, dibangun untuk memastikan koherensi dari berbagai kekuatan AL Perancis, seperti pesawat tempur Rafale, pesawat E-2D untuk deteksi dini, drone, helikopter, dan amunisi udara, serta pemeliharaan.
Dua kekuatan yang paling menarik perhatian tentunya enam kapal selam bertenaga nuklir kelas Suffren yang pertama mulai beroperasi Juni 2022, serta kapal induk yang 41 persen lebih besar dari Kapal Induk Charles de Gaulle yang ada saat ini. Menurut Direktur Program Kapal Perang Naval Group Stephane Fremont, Kamis (15/9), di Lorient, Perancis, kapal induk dengan panjang 310 meter dan berbobot 75.000 ton ini akan selesai dibangun tahun 2034, empat tahun sebelum dioperasikan AL Perancis.
Selain itu, Perancis juga tengah membangun kapal-kapal fregat kelas Belharra dan korvet Gowind. Kapal yang terakhir ini konon sempat menarik minat Kementerian Pertahanan RI. Namun, menurut Stephane, belum ada pembicaraan lagi dengan Indonesia.
Fregat digital
Saat ini, selain Perancis, AL Yunani juga sudah memesanfregat Belharra. Fregat ini disebut sebagai kapal fregat digital yang pertama didesain untuk bisa beroperasi di spektrum ancaman yang lebar, seperti bencana dan konflik dengan intensitas yang tinggi. Bentuknya yang ringkas juga memungkinkan kapal ini beroperasi di laut lepas dan laut litoral. Perlengkapannya didesain modular sehingga lebih fleksibel kalau akan dibeli negara lain.
Julie dari DGA memaparkan, Kementerian Pertahanan Perancis menargetkan lima Belharra akan menjadi ujung tombak AL Perancis pada 2030 bersama 8 fregat FREEM dan 2 fregat kelas Horizon. Belharra punya kemampuan anti-kapal selam, anti-kapal permukaan, anti-serangan udara, sekaligus bisa mengatasi ancaman asimetris dan operasi pasukan khusus. ”Kapal ini punya kemampuan otonomi yang tinggi di laut lepas,” kata Julie.
Kapal dengan bobot benaman 4.000-4.500 ton ini panjangnya 120 meter dan bisa mengangkut 150 kru. Ia bisa berlayar hingga 5.000 mil laut selama 45 hari. Kapal yang dilengkapi dengan fasilitas peluncuran satu heli dan satu pesawat nirawak pada saat yang sama ini memiliki beberapa inovasi. Konfigurasi satu tiang atau menara kapal (mast) dengan ruang kendalinya menyediakan pemantauan udara dan permukaan dengan jangkauan 360 derajat.
Belharra juga dilengkapi radar Sea Fire yang merupakan sistem radar digital terbaru dari Thales. Sea Fire memiliki antena empat panel yang berfungsi untuk pengamatan udara dan permukaan, serta pengarah anti-rudal. Radar ini menjadi andalan dalam medan perang dengan intensitas tinggi.
Kementerian Pertahanan Perancis menargetkan lima Belharra akan menjadi ujung tombak AL Perancis pada 2030 bersama 8 fregat FREEM dan 2 fregat kelas Horizon. Belharra punya kemampuan anti-kapal selam, anti-kapal permukaan, anti-serangan udara, sekaligus bisa mengatasi ancaman asimetris dan operasi pasukan khusus
Belharra juga menggunakan antena active electronically scanned array (AESA) yang lebih ringkas karena menggunakan teknologi Gallium Nitride (GaN). Material GaN ini memiliki kemampuan menampung listrik lebih banyak dan dingin lebih cepat sehingga performanya lebih bagus. Juga ada Digital Radar Electronic Support Measure yang membuat pemrosesan data lebih cepat.
Peperangan elektronik
Salah satu benang merah yang mencolok dari perkembangan kekuatan laut Perancis adalah semakin pentingnya peperangan elektronik. Hal ini dijelaskan Eric, perwira Angkatan Laut Perancis. Ia mengatakan, melawan strategi Anti Access and Area Denial (AA/AD) atau anti-akses dan penangkalan wilayah China, AL Perancis juga membuat strategi.
Salah satu ancaman paling besar di teater laut di Asia-Pasifik adalah kemungkinan serangan rudal jarak jauh. Dalam perkembangannya, rudal anti-kapal permukaan ini meningkat kemampuannya dalam jangkauan dan kecepatan. Rudal ini dihadapi dengan anti-serangan udara yang masuk kategori menghancurkan. Perkembangan lain adalah semakin presisinya sensor dari seeker—pencari musuh di dalam rudal. Hal ini dihadapi dengan mengalihkan ke umpan, dan ini masuk kategori melumpuhkan. ”Dalam pertempuran kita pasti ingin punya sebanyak mungkin lapisan pertahanan,” kata Eric.
Kemampuan peperangan elektronik ini yang jadi andalan desain fregat Perancis. Patrick Agnieray dari Thales mengatakan, mendesain alat untuk peperangan elektronik tak mudah. Di satu sisi ada ancaman dengan kecepatan supersonik, di sisi lain ada kesulitan untuk mendeteksi ancaman dalam situasi padatnya frekuensi.
Ia mengatakan, artificial intelligence (kecerdasan buatan) dan peperangan elektronik harus bergabung. Dengan demikian, alat-alat peperangan elektronik bisa secara taktis mendeteksi, bisa memalsukan sinyal untuk melindungi diri, dan bisa mengganggu sinyal sekaligus mengalihkan musuh.
Sementara Xavier Cadour dari Lacroix, perusahaan penghasil alat-alat piroteknik, memaparkan beberapa produknya yang berfungsi untuk mengalihkan musuh (decoy). Ia mengatakan, prinsipnya adalah harus kredibel. Ia menjelaskan, untuk pengalihan terkait frekuensi radio, Lacroix membangun Corner Reflectors sehingga di sensor terlihat seperti kapal.Sementara untuk decoy Infrared, yang dibuat adalah penanda spektral tanpa fluktuasi sehingga di layar musuh terlihat seperti kapal yang solid.
Berpijak pada kepentingan nasionalnya, Perancis melakukan berbagai penyesuaian dan inovasi teknologi militer, khususnya peperangan laut. Kecerdasan buatan dan peperangan elektronik dibangun untuk bersiap menghadapi perang modern di kawasan Asia-Pasifik.
Tentunya pertanyaan yang sama ditujukan kepada Indonesia, bagaimana Indonesia bersatu memperjuangkan kepentingan nasionalnya di Asia-Pasifik yang merupakan halaman depan rumah. Lalu, semua komponen bangsa bersama-sama mengerahkan sumber daya untuk implementasi strategi tersebut.