Misinformasi berupa berita bohong dan kampanye hitam merupakan hal yang bermasalah. Untuk menjaga Pemilu 2024 berjalan baik, Bawaslu akan memasukkan misinformasi sebagai indikator dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Seperti halnya disinformasi, Badan Pengawas Pemilu juga mewaspadai beredarnya misinformasi di media sosial pada Pemilu 2024. Untuk itu, misinformasi yang beredar di media sosial akan dimasukkan sebagai indikator dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024.
Kewaspadaan terhadap misinformasi itu disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja seusai gelaran Fifth Plenary Assembly of the Global Network of Electoral Justice (Sidang Pleno Kelima GNEJ) di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/10/2022). Menurut Rahmat, topik misinformasi di media sosial juga menjadi perhatian banyak negara yang terlibat dalam Sidang Pleno Kelima GNEJ.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sidang Pleno Kelima GNEJ sepakat bahwa misinformasi berupa berita bohong dan kampanye hitam merupakan hal yang bermasalah,” jelasnya.
Mengutip Debunking Handbook 2020, misinformasi adalah informasi yang salah atau palsu yang disebarkan karena kesalahan dan dengan maksud untuk menyesatkan seperti halnya disinformasi. Misinformasi yang tersebar di medsos itu dapat merugikan individu dan masyarakat. Untuk mencegah itu, dibutuhkan ketahanan atau resiliensi terhadap masyarakat agar tak mudah terpapar informasi yang salah atau palsu.
Rahmat mengatakan, meski Sidang Pleno Kelima GNEJ menyepakati misinformasi sebagai hal yang bermasalah, tetapi untuk menghadapinya mengundang perdebatan. Bagi sebagian negara, seperti Amerika Serikat, misinformasi dipandang sebagai bagian kebebasan berpendapat. Bagi negara lain, misinformasi dipandang sebagai masalah karena digunakan untuk menyerang orang lain.
Untuk itu, menurut Rahmat, GNEJ akan mendalami perihal misinformasi di medsos melalui Komite Ilmiah GNEJ. Adapun aturan atau prinsip setiap negara dalam kerangka kebebasan berpendapat tetap dihormati.
Membuat batasan terhadap informasi yang termasuk misinformasi. Batasan itu adalah jika sudah menyerang pilihan seseorang atas latar belakang apa pun. (Rahmat Bagja)
Menerapkan batasan
Guna mengurangi risiko dari misinformasi, semua pihak dalam GNEJ sepakat bahwa literasi digital tentang medsos pada masyarakat harus ditingkatkan. Menurut Rahmat, hal itu sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Hal lainnya adalah membuat batasan terhadap informasi yang termasuk misinformasi. Batasan itu, menurut Rahmat, adalah jika sudah menyerang pilihan seseorang atas latar belakang apa pun. Pilihan setiap orang harus dihormati, bukan malah diserang dengan alasan perbedaan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024, Rahmat mengatakan, Bawaslu akan bekerja sama dengan kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memantau terjadinya misinformasi melalui medsos. Bawaslu akan memperbarui kembali kerja sama dengan perusahaan penyedia platform medsos yang kini juga terus berkembang, baik penambahan aplikasi baru maupun adanya fitur-fitur baru di sebuah medsos.
”Ada poin-poin baru yang akan dimasukkan dalam perbaikan kerja sama, misalnya terkait konten video pendek. Hal ini untuk menjaga agar pemilu kita nanti tidak terpolarisasi sekencang atau tidak penuh dengan isu politisasi SARA,” kata Rahmat.
Selain itu, katanya, misinformasi dalam medsos akan dimasukkan sebagai indikator dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024. Di dalam IKP tersebut, akan dipetakan terkait dengan waktu penyebaran jenis-jenis misinformasi. Saat ini tim peneliti Bawaslu sedang mendalaminya.
Pada salah satu sesi di GNEJ yang membahas medsos, Profesor pada Constitutional Law at the Complutense University of Madrid, Spanyol, Rafael Rubio, menyampaikan, dari pengalaman sejumlah negara, penyebaran misinformasi bisa dilakukan oleh pihak ketiga yang berada di luar negeri sehingga dampaknya dapat memicu konflik. Adapun disinformasi dapat menyebabkan delegitimasi bagi penyelenggara pemilu serta kegaduhan bagi masyarakat.
Setiap negara, menurut dia, melakukan tindakan yang berbeda-beda untuk atasi misinformasi. ”Ada negara yang menurunkan akun-akun yang menyebarkan misinformasi. Ada pula negara yang masih berupaya membuat aturan yang jelas terkait misinformasi dalam medsos,” ujarnya.