Pimpinan MPR Munculkan Kembali Wacana Pilkada Tidak Langsung
Munculnya kembali wacana pilkada tidak langsung menuai kritik. Sistem tidak langsung dinilai hanya untungkan elite. Sistem itu juga tak bisa mengatasi problem korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Seusai berdiskusi dengan Dewan Pertimbangan Presiden, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat memunculkan wacana untuk mengubah pemilihan kepala daerah atau pilkada dari langsung menjadi tidak langsung. Pengubahan sistem dinilai penting untuk mencegah politik berbiaya tinggi yang berdampak pada masifnya korupsi yang melibatkan kepala daerah. Namun, alih-alih mencegah politik berbiaya tinggi, gagasan tersebut dinilai sekadar menunjukkan kepentingan elite untuk memenangi kontestasi. Bahkan, dapat membuka korupsi yang lebih elitis dan terukur.
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengadakan diskusi dengan sejumlah anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/10/2022). Diskusi dihadiri oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, dan Wakil Ketua MPR dari Kelompok DPD Fadel Muhammad. Selain itu, turut hadir Ketua Wantimpres Wiranto beserta empat anggota, yakni Putri K Wisnu Wardani, Agung Laksono, Sidarto Danusubroto, dan Soekarwo.
Seusai pertemuan tertutup selama hampir dua jam, Bambang Soesatyo mengungkapkan, baik pimpinan MPR maupun Wantimpres sepakat, diperlukan kajian ulang terhadap sistem demokrasi Indonesia. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir demokrasi yang diterapkan justru berdampak pada peningkatan korupsi, terutama yang melibatkan kepala daerah. Persoalan ini dinilai tak bisa selesai sekadar dengan mengoptimalkan fungsi institusi pemberantasan korupsi. ”Saya yakin, lima lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tidak mampu memberantas korupsi kalau sistem demokrasi tidak kita evaluasi,” kata Bambang.
Ia menambahkan, evaluasi yang dimaksud adalah mengubah sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi tidak langsung. Artinya, kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota, tidak lagi dipilih oleh masyarakat dengan sistem pemungutan suara secara langsung.
Sejak awal Reformasi pada 1999 hingga pilkada langsung pertama digelar pada 2005, pernah diterapkan model pilkada tidak langsung. Kala itu, pilkada diserahkan pada DPRD kabupaten/kota dan provinsi.
Menurut Bambang, pertemuan dengan Wantimpres baru pembicaraan awal. Selanjutnya, pimpinan MPR akan melakukan kunjungan balasan ke Wantimpres untuk melakukan diskusi serupa. Tak hanya itu, pihaknya juga akan berkonsultasi dengan para akademisi dan teknokrat serta meminta mereka untuk mengkaji ide pilkada tidak langsung.
Ia memastikan ide ini hanya terkait dengan pilkada. Dalam diskusi, tidak ada wacana dan pembahasan mengenai sistem pemilihan presiden secara tidak langsung. Meski demikian, ia tidak menjamin pembicaraan mengenai pemilihan presiden secara tidak langsung tak akan dibahas. ”Nanti biarkan hasil dari akademisi itu diserahkan ke DPR, karena itu, kan, diatur dengan undang-undang. Jadi, kami akan persilakan DPR untuk mengkaji apakah sistem pemilu yang hari ini dijalankan lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya,” ujar Bambang.
Yandri Susanto menambahkan, gagasan mengembalikan pilkada tidak langsung sebenarnya bukan hal baru. Ide serupa pernah dikaji, bahkan hampir diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
”(Dulu) ini inisiatif pemerintah mengatakan perlunya dikembalikan (pemilihan) ke DPR dan DPRD kabupaten/kota untuk gubernur, bupati, dan wali kota,” kata Yandri yang saat itu menjabat sebagai anggota Panitia Kerja pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
UU yang dimaksud mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, atas desakan publik, Presiden Yudhoyono membatalkan UU tersebut dengan menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), salah satunya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Selain itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, Wiranto menekankan, diskusi seputar pilkada tidak langsung merupakan pembicaraan di tataran kebijakan. Adapun persoalan teknis operasional tidak dibahas.
PPHN
Selain soal pilkada tidak langsung, kata Bambang, pembentukan pokok-pokok haluan negara (PPHN) juga menjadi salah satu yang dibahas. Sebelumnya, rapat gabungan pimpinan fraksi MPR telah menyepakati untuk membentuk PPHN melalui konvensi ketatanegaraan. Pembentukan PPHN melalui amendemen konstitusi dinilai tidak tepat dengan dinamika politik saat ini karena bisa menjadi bola liar terkait sejumlah isu, di antaranya wacana presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Untuk itu, dibutuhkan pembentukan panitia ad hoc yang terdiri dari 10 pimpinan MPR serta 45 anggota, dari perwakilan fraksi partai politik di MPR dan kelompok DPD. Menurut rencana, panitia ad hoc yang dimaksud akan dibentuk pada September 2022. Namun, hingga saat ini kepanitiaan tersebut belum juga terealisasi. ”November, bulan depan ya karena Oktober enggak memungkinkan, 24-26 Oktober kita di Bandung,” kata Bambang.
Meski demikian, menurut Yandri, nama-nama yang masuk dalam panitia ad hoc telah disiapkan oleh setiap fraksi. Semua fraksi juga disebutnya telah menyetujui isi PPHN karena hal itu merupakan kebutuhan bangsa Indonesia. Tinggal landasan hukumnya yang belum diputuskan. Setidaknya ada tiga opsi landasan hukum, yakni melalui konsesus, ketetapan (TAP) MPR, atau amendemen undang-undang. Namun, tak menutup kemungkinan bentuk lain dapat juga menjadi opsi landasan hukum.
”Kalau isi pokok PPHN itu prinsipnya semua fraksi setuju. Tinggal nanti landasan hukumnya apa,” kata Yandri yang juga politisi Partai Amanat Nasional.
Bukan solusi
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, pilkada berbiaya tinggi tidak hanya disebabkan oleh sistem pemilu yang diterapkan. Hal itu juga terjadi karena metode kampanye yang diterapkan oleh para politisi, misalnya masih tetap menggunakan alat peraga kampanye yang membutuhkan biaya besar. ”Belum tentu juga pemilihan tidak langsung itu tidak mahal. (Itu juga membuka ruang korupsi), hanya saja korupsinya lebih elitis dan terstruktur,” kata Feri.
Feri melihat, pilkada tidak langsung cenderung dirancang sebagai jalan konsolidasi elite yang kesulitan meyakinkan pemilih yang kian hari kian cerdas jelang 2024. Oleh karena itu, model pemilihan hendak dikonsentrasikan hanya pada ruang elite saja. ”Pada titik ini, elite partai berkonsolidasi untuk menentukan model pemilu yang menguntungkan mereka saja,” katanya.
Selain itu, Feri memprediksi, diskusi untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga tidak akan menjadi wacana tunggal. Pembicaraan itu bisa berkembang untuk arah pembentukan haluan negara serta pengembalian posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berhak untuk memilih presiden.