Cerita dari Para Milenial di Industri Pertahanan
BUMN industri pertahanan bisa menjadi tempat seru bagi anak muda bertualang menemukan dirinya atau bisa juga mencari keamanan.
Industri pertahanan masa depan ada di tangan generasi milenial di dalam setiap perusahaan yang berkecimpung di dalamnya. Mereka membutuhkan pengembangan agar bisa memberikan kontribusi, bahkan maju bersama perusahaan yang membanggakan mereka.
Rasa bangga itu hadir dalam diri Frendi Agustian Pradana (32), insinyur dari Test Aircraft Readiness PT Dirgantara Indonesia. Sejak tahun 2020, dia bertanggung jawab atas semua kegiatan di pesawat PD2, yakni kode untuk purwarupa pesawat N-219.
N-219 adalah pesawat baling-baling turboprop karya anak bangsa dengan sejumlah keunggulan untuk penerbangan perintis, seperti kemampuan lepas landas di fasilitas minim dan mandiri. Setelah penerbangan perdana di tahun 2017, serangkaian uji coba terus dilaksanakan, salah satunya menggunakan pesawat PD2 dari segi interior dan aspek lainnya.
Sebagai penanggung jawab, Frendi hapal spesifikasi pesawat berbentang sayap 19,5 meter dan tinggi 6,1 meter ini. Pengecekan sistem pesawat sudah menjadi rutinitasnya, seperti yang dilakukan pada Kamis (29/9/2022) pagi itu.
Tanpa ragu, Frendi menyalakan sistem kendali pesawat purwarupa ini, kemudian mengamati berbagai instrumen yang ada di hadapannya. Sesekali, dia menekan beberapa tombol untuk memastikan sistem avionic-nya tetap berfungsi dengan baik.
”Saya bertanggung jawab terkait semua kegiatan di pesawat ini (PD2). Saya yang mengomunikasikan dengan engineer, kru, produksi, terkait pesawat ini. Tapi, ya di darat saja, karena saya bukan pilot,” ujarnya sambil tertawa.
Meskipun tidak menerbangkan pesawat ini, rasa bangga yang melambung tinggi tetap dirasakan Frendi saat N-219 terbang perdana. Frendi saat itu bertugas memberikan rekomendasi untuk kontrol misi setiap pengetesan bersama kurang lebih 20 ahli lainnya. Mereka menganalisis, memberikan data, menilai risiko, hingga rekomendasi kepada komando misi untuk menghentikan atau melanjutkan uji coba.
”Saya masuk PT DI di tahun 2015 sebagai data analyst di flight test engineering operation (operasional uji coba penerbangan). Di tahun 2016, saya ikut dalam N-219. Jadi, setiap tes, saya ikut mengamati perkembangannya. Saat terbang perdana tahun 2017, saya bangga karena ikut berkontribusi,” ujarnya.
Kebanggaan itu kembali dirasakan saat N-219 mendapatkan sertifikasi pada tahun 2020. Hal ini menandakan N-219 memasuki era komersial dan pesawat ini bisa mengudara dan menghubungkan berbagai titik di Tanah Air. ”Tidak semua engineer punya kesempatan melalui proses ini, dan kami menjadi saksi lahirnya pesawat yang seluruhnya dirancang oleh anak bangsa. Dari sini, saya semakin tertarik untuk berkecimpung di ranah pengembangan pesawat melalui PT DI,” ujarnya.
Ayu Dewi Prasetyawati (28) saat ini menjadi Kepala Biro Operasional Asesmen Divisi Human Capital Management. Ia sudah empat tahun bekerja di PT PAL. Lulusan Universitas Airlanggga di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia ini mengatakan, ”Saya berpikir, tidak harus maju ke medan perang membela negara. Dengan bekerja di BUMN, badan usaha milik negara, seperti PAL, sudah berkontribusi nyata,” katanya.
Ia mengakui, perempuan yang masuk BUMN lebih banyak yang milih perbankan. Namun, Dewi mengatakan, ia lebih melihat jangka panjang karena Indonesia akan terus butuh kapal. Dengan demikian, ia berharap bisa bekerja sampai pensiun.
Kebanggaan terlibat dalam industri pertahanan itu, kan, tidak banyak orang bisa mengalaminya.
Dewi mengatakan, proses di PAL dituntut terintegrasi secara digital. Pada umumnya, produksi PAL dibuat berbasis pesanan, bukan produksi massal. Oleh karena produk kostumisasi tersebut, teknologi membutuhkan sentuhan seni yang hanya bisa dijalankan oleh manusia.
Menurut dia, di sini pentingnya SDM dalam perkembangan industri. Keberlangsungan bisnis salah satunya diwujudkan dalam lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Tentang gaji, dewi mengatakan, sudah cukup walau memang banyak temannya di luar yang bergaji lebih tinggi.
”Kebanggaan terlibat dalam industri pertahanan itu, kan, tidak banyak orang bisa mengalaminya,” katanya.
Rusyadi A Harahap juga melihat bekerja di PT LEN Industri sebagai rencana masa panjang, bahkan jika bisa sampai pensiun. Adapun PT LEN merupakan BUMN yang punya misi menjadi perusahaan solusi total berbasis teknologi elektronika dan informasi.
Sejak awal memang orangtuanya mewanti-wanti lulusan Akutansi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini agar kerja di BUMN dengan alasan lebih aman. Pemuda berusia 29 tahun ini mulai masuk PT LEN tahun 2018. ”Sekarang, 50 persen karyawan LEN itu kaum milenial,” kata ketua serikat pekerja ini.
Pegawai bagian anggaran ini membandingkan bahwa ada teman-temannya yang memang lebih cocok bekerja di perusahaan start up. Mereka bergaji besar, tetapi juga bisa cepat keluar-masuk. Sementara di PT LEN, menurut dia, lebih ada kepastian.
Suasana kerja, bagi Rusyadi, juga cukup nyaman karena sekarang interior PT LEN banyak mengadopsi ruang terbuka seperti kantor-kantor modern lainnya. Bahkan ketika ada problem dalam proses kerja, diskusi bisa dilanjutkan sambil nongkrong di kafe di dalam LEN. Rusyadi yang tiga tahun lagi berharap bisa menjadi manajer mengatakan, kalaupun ada ganjalan, ia merasa bahwa dalam beberapa situasi masih ada budaya yang tidak fleksibel di PT LEN.
Harapan untuk bisa berkontribusi lebih juga dimiliki oleh Raka Siwi Triaspambudy (26). Sebagai Senior Officer Publikasi Hubungan Media dan KIP (keterbukaan informasi publik) PT Pindad, dia ingin berperan memberikan informasi yang baik kepada publik terkait perusahaan tersebut.
Meskipun bergabung dengan PT Pindad sejak tahun 2019, Ketertarikan Raka terhadap perusahaan di bidang pertahanan ini telah ada sejak 10 tahun sebelumnya. Raka yang kerap bermain video gim daring peperangan mengenal Senapan Serbu (SS) 1, senjata laras panjang produksi PT Pindad yang diperkenalkan di gim tersebut.
Baca juga: Butuh Komitmen Kuat untuk Bangun Kemandirian Industri Pertahanan
Senjata ini tampil sejajar dengan laras panjang kelas dunia lainnya, seperti Avtomat Kalashnikova 1947 (AK 47) dari Rusia hingga M16 dari Amerika Serikat. Saat mengetahui SS1 merupakan produk Indonesia, ada kebanggaan dalam diri Raka dan dia pun tertarik untuk masuk ke dalam industri pertahanan tersebut.
”Memang, di masa saya, pengenalan lebih baik itu dari video gim. Saya saja baru sadar, Indonesia juga bisa memproduksi senjata, dan itu diakui. Buktinya, model senjatanya ada di gim tersebut,” ujarnya sambil tertawa.
Saat ini, Raka bertanggung jawab di bidang komunikasi publik sehingga dia harus jeli memilah informasi yang menjadi konsumsi publik. Ia juga berharap suatu saat bisa melanjutkan studi komunikasi ke luar negeri.
Saya saja baru sadar, Indonesia juga bisa memproduksi senjata, dan itu diakui. Buktinya, model senjatanya ada di gim tersebut.
”Ini menjadi tantangan bagi saya. Semua harus berhati-hati karena industri pertahanan ini memiliki risiko yang tinggi. Namun, semua itu demi masa depan pertahanan Indonesia yang mandiri,” ujarnya.