Butuh Komitmen Kuat untuk Bangun Kemandirian Industri Pertahanan
Jika Indonesia memang berniat membangun industri pertahanan, perlu ada komitmen pemerintah untuk menghargai produk dalam negeri dengan cara membelinya.
JAKARTA, KOMPAS –Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengamanatkan terbangunnya kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang mandiri. Namun, sepuluh tahun setelah UU No 16/2012 diterbitkan, diperkirakan baru 15-25 persen pengadaan alat utama sistem persenjataan berasal dari dalam negeri.
Perlu ada lembaga kuat sebagai eksekutor untuk menjadi jembatan antara kebijakan dan implementasi kemandirian industri pertahanan.
UU No 16/2012 mengatur adanya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) untuk mengoordinasi kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan.
Dalam sidang terakhir KKIP pada 13 April 2021, Presiden Joko Widodo menggarisbawahi pentingnya kesinambungan pengadaan alat pertahanan demi kemandirian industri pertahanan. Namun, hal ini belum diikuti instruksi rinci lengkap dengan target waktu dan konsekuensinya.
Kepala Bidang Teknologi dan Offset KKIP Yono Reksoprodjo, pertengahan September 2022, menekankan, jika Indonesia memang berniat membangun industri pertahanan, perlu ada komitmen pemerintah untuk menghargai produk dalam negeri dengan cara membelinya.
Menurut dia, pengerahan kementerian dan lembaga untuk membeli alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) perlu disertai instruksi presiden. Perlu ada mekanisme yang disertai sanksi apabila hal itu tidak dipatuhi. ”Presiden yang bisa memaksa kementerian dan lembaga karena sekarang terlalu banyak ruang untuk menghindar,” kata Yono.
Dalam diskusi buku Ilusi Membangun Kemandirian Industri Alpalhankam Nasional, Bobby Rasyidin, Direktur Utama Defend ID, holding industri pertahanan, menyebutkan, saat ini baru sekitar 25 persen kebutuhan alpalhankam kementerian dan lembaga yang dipenuhi di dalam negeri. Ketua Perhimpunan Industri Pertahanan Swasta Nasional Jan Pieter Ate memperkirakan, baru 15 persen pengadaan alutsista Tentara Nasional Indonesia yang berasal dari dalam negeri.
Sejumlah hambatan
Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan pada Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Wajariman mengakui, ada beberapa masalah yang menghambat industri pertahanan. Hal itu, antara lain, interaksi antara pemerintah/KKIP, pengguna, dan industri pertahanan, kemudian pengguna juga tidak konsisten dalam perencanaan.
Selain itu, manajemen ekosistem industri pertahanan juga belum terbentuk. Bahkan, ada ketidakharmonisan badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta. Dari pihak asing, karena volume pembelian Indonesia kecil, terbatas juga offset dan kandungan lokal yang diberikan.
Selain TNI/Polri, banyak juga kementerian/lembaga yang perlu membeli alpalhankam untuk kebutuhan operasionalnya, seperti untuk operasi di laut dan penanggulangan bencana alam. Namun, masih banyak di antara mereka yang membeli dari luar negeri walaupun barang yang sejenis telah diproduksi di Indonesia.
Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto, Wakil Ketua Tim Pelaksana KKIP dalam periode pertama, mengatakan, KKIP sebenarnya diadakan untuk memaksa agar produksi industri pertahanan dalam negeri dibeli pengguna di dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan mengoordinasikan tiga pemangku kebijakan, yaitu TNI/Polri dan kementerian lembaga sebagai pengguna, industri sebagai produsen, dan pemerintah.
Baca juga: Defend ID, Lompatan untuk Kemandirian Industri Pertahanan
”Harus dipaksa memang. Industri pertahanan itu hanya bisa hidup kalau dibeli pemerintah. Pasarnya monopsoni, yaitu satu konsumen, walau kita juga sadar anggaran pemerintah terbatas,” ucap Eris.
Menurut Eris, memang ada kecenderungan pengguna tidak yakin dengan produksi dalam negeri karena ada kebutuhan operasi yang membutuhkan alat yang mumpuni. Ia mengakui, industri yang baru belajar membuat persenjataan tentu tidak langsung piawai. Di sini KKIP yang menjadi penengah, menjamin bahwa standar keamanan tidak diturunkan serta menjembatani agar industri pertahanan terus melakukan perbaikan.
Di sisi lain, industri juga tidak memiliki keyakinan produksinya akan dibeli pemerintah. Akibat ketidakpastian pengadaan jangka panjang oleh pemerintah, industri pertahanan jadi sulit untuk hidup karena produksi mereka terancam tidak kontinu. Padahal, mereka sudah berinvestasi di alat dan infrastruktur.
”Memang susah ketika instansi itu ganti-ganti rencana pengadaannya. Ganti pimpinan, ganti barang. Gimana KKIP buat rencana induk pemenuhan alpalhankam kalau rencana masing-masing instansi tidak pasti,” ujar Eris.
Peran KKIP
Wajariman mengatakan, KKIP adalah penasihat yang ketika ada masalah dilibatkan dalam diskusi. Dalam struktur Kementerian Pertahanan, pengadaan ditangani Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan (Baranahan). Menurut Wajariman, ada syarat-syarat imbal dagang, kandungan lokal, dan ofset (IDKLO) yang harus dipenuhi dalam setiap pembelian.
”Kontrak Baranahan tidak efektif ketika perjanjian IDKLO belum disepakati. Kami lapor KKIP,” kata Wajariman.
Namun, menurut Yono, belum terjadi orkestrasi yang optimal antara KKIP yang ingin mendorong industri pertahanan dan Kementerian Pertahanan yang bertugas mempertahankan negara. Di sisi lain, ada banyak pihak yang punya kepentingan, lalu membelokkan kepentingan nasional. ”Kadang KKIP tidak mau tanda tangan karena tidak memenuhi syarat, eh, ternyata lolos juga,” tutur Yono.
Kondisi semacam itu membutuhkan solusi yang didukung semua pemangku kepentingan. Bobby Rasyidin mengajak semua pihak duduk bersama. Pemerintah yang merupakan regulator dan juga pengguna harus jadi tulang punggung agar industri pertahanan tumbuh. Diskusi yang intens perlu dilakukan antara industri, baik BUMN maupun swasta, dengan regulator, KKIP, dan bagian pengadaan kementerian dan lembaga. Menurut dia, perlu dicocokkan antara kebutuhan dan penguasaan teknologi.
Hal senada disampaikan Yono Reksoprodjo. Ia mengatakan, ada beberapa terobosan yang lebih rinci dalam kerangka pasar yang monopsoni. Dengan adanya kepastian pembelian produk alpalhankam, misalnya, akan ada revolving fund (dana bergulir) bekerja sama dengan perbankan. Selain itu, juga bisa dipikirkan kemungkinan adanya institusi yang menjadi pusat stok seperti Bulog. Efeknya, nilai keekonomian produksi alpalhankam terpenuhi dan kelebihan produksi bisa diekspor.
Selain itu, perlu ada penguatan KKIP. Belum adanya pelaksana atau operator menjadi mata rantai yang terputus.