Menanti Pengakuan Wilayah Adat Setelah Seremoni Gelar Adat bagi Presiden
Dua gelar adat dianugerahkan kepada Presiden Joko Widodo beberapa hari ini, menambah sederet gelar adat yang pernah diterima. Namun, pemenuhan hak masyarakat adat untuk memiliki lahan adat masih jauh dari harapan.
Dua hari berturut-turut dalam kunjungan kerja ke wilayah Indonesia timur, Presiden Joko Widodo memperoleh dua gelar adat dalam upacara sakral sarat makna. Tak sekadar penyematan gelar sembari memakai busana kebesaran adat setempat, ada harapan yang nyata kepada Presiden. Hal itu utamanya pengakuan pada masyarakat adat dan wilayah adat yang sampai saat ini belum direalisasikan.
Gelar adat Dada Madopo Malomo dari Kesultanan Ternate di Kedaton Sultan Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara, dianugerahkan kepada Presiden Jokowi, Rabu (28/9/2022). Sehari sebelumnya, Presiden juga menerima gelar kehormatan adat Kesultanan Buton, La Ode Muhammad Lakina Bhawaangi yi Nusantara, di Baruga Keraton Kesultanan Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Ketika menerima gelar adat di Kesultanan Ternate, Presiden mengenakan pakaian kebesaran Roke berwarna hitam dan disambut Sultan Ternate Ke-49 Hidayatullah Sjah. Presiden Jokowi juga dipasangi mahkota adat Lastar Ngare dan dianugerahi gelar Dada Madopo Malomo oleh Sultan Ternate yang memiliki arti pemimpin besar.
Adapun gelar kehormatan yang diperoleh Presiden dari Kesultanan Buton, La Ode Muhammad Lakina Bhawaangi yi Nusantara, ini memiliki makna seorang laki-laki yang memiliki sikap dan perilaku mulia, rendah hati, sopan santun, serta arif dan bijaksana. Selain itu, jujur dan adil, bertanggung jawab, memberi teladan dan panutan, serta memiliki komitmen tinggi dalam menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat di Nusantara.
Penganugerahan gelar adat tersebut menambah deretan gelar yang sudah diterima Presiden Jokowi. Setidaknya ada tujuh gelar adat yang pernah diterima, antara lain dari Kesultanan Tidore, Maluku Utara; Lembaga Adat Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan; masyarakat suku Asmat, Papua; Kesultanan Deli, Sumatera Utara; dan Lembaga Adat Melayu, Riau.
Deretan gelar adat tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, hanya bersifat elitis yang simbolik, seolah-olah pemerintah sudah berpihak kepada masyarakat adat. ”Kenyataannya, pengakuan hak atas tanah masyarakat adat, baik dalam konteks hutan adat maupun reforma agraria, masih jauh (dari harapan),” ujarnya, Rabu (28/9/2022).
Dewi menjelaskan, sejak Mahkamah Konstitusi mengakui hutan adat bukan hutan negara pada putusan nomor 35/PUU-X/2012, masyarakat adat masih harus menempuh jalan sangat panjang untuk memperoleh pengakuan dan hak atas tanah adatnya. Sebab, Menteri Lingkungan Hidup kemudian menerbitkan surat keputusan bahwa masyarakat adat harus membuktikan diri sebagai masyarakat adat melalui peraturan daerah. Kalaupun peraturan daerah (perda) akhirnya terbit, pengakuan wilayah adat tidak serta-merta muncul.
Dewi menyebutkan, saat ini wilayah-wilayah adat yang berkonflik dengan perkebunan swasta ataupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) atau digusur atas nama proyek strategis nasional terus bertambah. Masyarakat adat Desa Sigapiton di Sumatera Utara, contohnya, tergusur wilayahnya untuk pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau Toba. Adapun enam warga adat Dayak Marjun di Kalimantan baru-baru ini divonis hingga 2 tahun penjara karena dituduh mencuri sawit di wilayah adat mereka yang kini dikuasai perkebunan swasta.
Saat ini wilayah-wilayah adat yang berkonflik dengan perkebunan swasta ataupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) atau digusur atas nama proyek strategis nasional terus bertambah.
Kompas juga mencatat, Presiden Jokowi pernah berjanji menyediakan rumah dan lahan penghidupan untuk suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun, Jambi, saat Presiden bertemu beberapa tokoh suku Anak Dalam pada akhir Oktober 2015. Dijanjikan lahan penghidupan seluas 2.500 hektar sebab lahan penghidupan mereka di Taman Nasional Bukit Duabelas di Kabupaten Sarolangun terus tergerus menjadi perkebunan sawit. Warga pun kerap diusir.
Baca juga : Orang Rimba Tiga Tahun Menunggu Janji Presiden Jokowi
Baru di kemudian hari, suku Anak Dalam atau lebih dikenal sebagai Orang Rimba ini mendapatkan lahan seluas 6,8 hektar yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Bungo. Selain itu, diberikan pula bantuan rumah dari Kementerian Sosial tahun 2014.
Namun, kehidupan Orang Rimba tetap tak mudah. Mengumpulkan hasil hutan berupa getah jernang, getah damar, dan rotan kini semakin memakan waktu dan jarak tempuh berlipat ganda. Sebab, tempat tinggal mereka menjadi lebih jauh dari kawasan hutan tempatnya mengumpulkan getah dari pepohonan.
Menurut Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan, semestinya kebutuhan hidup masyarakat adat akan ruang hidup dan ruang kelola dapat diakomodasi secara formal lewat penetapan hutan adat melalui mekanisme sederhana. Jika diketahui ada masyarakat adat, ada hutannya, dan ada ikatan kuat masyarakat menjaga hutannya, pemerintah semestinya tak ragu menetapkan status hutan adat (Kompas.id, 6 Juni 2022).
Baca juga : Orang Rimba Juga Ingin Berdaya
Karena itu, sejalan dengan berbagai gelar adat yang sudah dianugerahkan kepada Presiden Jokowi, semestinya perhatian kepada masyarakat adat direalisasikan. Apalagi, tambah Dewi, masyarakat adat sesungguhnya salah satu pendukung Jokowi saat pertama kali mencalonkan sebagai Presiden. Bahkan, Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat disebut dalam Nawacita Jokowi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi juga mengungkapkan, tak kunjung lahirnya Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat merupakan salah satu tantangan yang masih dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 Ayat (2) menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat sebagai suatu entitas. Selanjutnya, pada Pasal 28 I Ayat (3) disebutkan kewajiban negara untuk menghormati keberadaan dan hak masyarakat adat.
”Tapi, yang terjadi adalah, sampai detik ini belum ada yang namanya Undang-Undang Masyarakat Adat. Sudah satu dekade lebih digoreng terus di DPR dan digunakan sebagai permen pancingan setiap menjelang pesta demokrasi. Digunakan oleh pemerintah, eksekutif, dan juga legislatif, partai politik,” ujar Rukka pada seminar bertema ”Gerakan Sosial demi Demokrasi” yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) secara daring, Rabu (14/9/2022) lalu.
Keberadaan UU Masyarakat Adat ini sesungguhnya menyangkut puluhan juta warga. Sebagai gambaran, seperti disampaikan Rukka, anggota AMAN adalah komunitas masyarakat adat. Saat ini ada sekitar 20 juta orang yang berada di 2.449 komunitas wilayah adat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Besarnya jumlah komunitas adat itu, lanjut Rukka, tak lantas didukung dengan kehadiran UU Masyarakat Adat. Rancangan undang-undang itu tak kunjung disahkan DPR dan bahkan substansinya terus dilemahkan. ”Dari tahun ke tahun, perampasan terhadap wilayah adat itu semakin meluas. Undang-undang (lain) yang lahir justru digunakan sebagai alat legalisasi terhadap perampasan wilayah adat, terhadap pencerabutan masyarakat adat dari hak-hak yang paling mendasar, yang merupakan janji dan komitmen dari negara ini,” katanya.
Reforma agraria
Saat dimintai tanggapan terkait reforma agraria dan tuntutan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan bahwa pihaknya mendapat banyak masukan mengenai hal tersebut. ”Kita juga banyak dapat masukan untuk (agar regulasi) itu segera dibahas. Tapi, ini mungkin lebih ditanyakan ke DPR nanti perkembangannya seperti apa,” katanya saat menjawab pertanyaan media di Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Saat dimintai tanggapan terkait reforma agraria dan tuntutan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan bahwa pihaknya mendapat banyak masukan mengenai hal tersebut.
Namun, pada intinya, Moeldoko mengatakan, di dalam gugus tugas atau satuan tugas yang dibuat bersama terkait reforma agraria, pemerintah melibatkan empat CSO (organisasi masyarakat sipil) yang di antaranya juga dari masyarakat adat, KPA, dan lainnya. ”Saya menginginkan bahwa kerja-kerja untuk reforma agraria itu bisa diselesaikan secara bersama-sama,” ujarnya.
Menurut Moeldoko, reforma agraria tidak cukup hanya dilaksanakan pemerintah, tetapi juga harus dari masyarakat sipil yang berkontribusi besar. Hal ini dibuktikan dari berbagai poin kritis yang didapatkan, Kantor Staf Presiden (KSP) menerima 1.119 aduan yang kemudian disusun menjadi 137 aduan sebagai prioritas.
”Dan dari 137 (prioritas) itu sudah menghasilkan cukup banyak. Ada 124.120 sertifikat yang diserahkan oleh Presiden Jokowi. Dan, waktu penyerahan itu, Presiden Jokowi mengatakan, ’Saya tidak ingin masyarakat hanya mendapatkan sertifikat dari hasil redistribusi. Tapi, saya ingin para menteri untuk memberikan perkuatan kepada mereka-mereka yang kurang berdaya,’” kata Moeldoko.
Pada Rabu (21/9/2022) lalu, Moeldoko memimpin penyerahan program pemberdayaan untuk reforma agraria kepada warga penerima manfaat redistribusi tanah obyek reforma agraria di tiga desa di tiga kabupaten/kota di Jawa Timur. Penyerahan dilakukan secara simbolis di Balai Kota Batu, Malang.
Program pemberdayaan tersebut hasil integrasi lintas kementerian, yakni Kementerian Pertanian; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan Usah Kecil Menengah; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ”Proses integrasi terjadi berkat pengawalan intensif bersama antara Kantor Staf Presiden, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kemenko Perekonomian,” ujar Moeldoko.
Komitmen pemerintahan Presiden Jokowi agar program redistribusi tanah tidak berhenti pada penyerahan sertifikat, tetapi juga dilanjutkan dengan program pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima manfaat, juga diwujudkan dengan penyerahan 21 program pemberdayaan kepada masyarakat Desa Sumberklampok, Buleleng, Bali, pada 21 Juni 2022.
AMAN mencatat saat ini ada 32 peraturan perundang-undangan sektoral yang justru digunakan untuk melegalisasi perampasan adat. Selain itu juga menciptakan pengakuan yang bersyarat, panjang, dan rumit bagi masyarakat adat. Beberapa di antaranya adalah UU No 41 Tahun 1999 lewat pembentukan peraturan daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52/2014 lewat surat keputusan kepala daerah.
Catatan akhir tahun AMAN menunjukkan bahwa negara ini masih jauh dari cita-cita pendiriannya, khususnya terkait masyarakat adat. ”Laju perampasan wilayah adat, apalagi dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang ada saat ini, justru melucuti seluruh perlindungan yang tipis di berbagai UU sektoral itu dan menjadikan karpet merah bagi masuknya perusahaan-perusahaan ke wilayah adat,” tambah Rukka.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi diharapkan mau bekerja lebih riil bagi masyarakat adat ketimbang sekadar memiliki berbagai gelar adat. ”Kalau Presiden Jokowi betul mau berpihak kepada masyarakat adat, hentikan simbolisme semu, dan bekerja riil untuk masyarakat adat,” ujar Dewi.