Menyempitnya ruang hidup dan ruang kelola membawa kehidupan Orang Rimba menderita. Mereka mencari jalan adaptasi untuk bertahan hidup lewat budidaya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Sejumlah induk rimba memanen rumbia di sekitar permukiman mereka di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, Jumat (3/6/2022). Rumbia diolah menjadi anyaman tikar atau alas tidur. Bahan baku alam kian sulit didapat seiring menyusutnya hutan, di tengah masih kuatnya ikatan komunitas itu pada alam.
Kehilangan ruang hidup tak berlarut meredupkan semangat komunitas adat Orang Rimba di Jambi. Demi masa depan kehidupan, jalan tengah harus dibangun. Salah satunya dengan memulai cara hidup baru yang mereka sebut budidaya.
Ubi, singkong, dan padi kini mengisi hamparan lahan komunitas adat Orang Rimba di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. Di bagian belakang permukiman itu dibuka pula kolam-kolam budidaya ikan patin. Rumah salah satu warga kemudian dimanfaatkan jadi tempat pengasapan ikan.
”Hasil pembuatan ikan asap kami jual ke Kota Bungo,” ujar Amira, anggota komunitas itu, Jumat (3/6/2022).
Sejak dirintis setahun terakhir, usaha budidaya ikan dan pengolahan ikan asap makin berkembang. Produk tersebut bahkan telah dilengkapi kemasan dan label. Bahkan, telah mendapatkan izin pangan industri rumah tangga (PIRT) dari pemda setempat, atas dukungan pendampingan dari lembaga Pundi Sumatera. Ikan asap mulai dipasarkan ke sejumlah toko oleh-oleh dan supermarket lokal, serta dipasarkan secara daring.
Berburu makin sulit dan memakan jarak tempuh yang lebih jauh, sekitar 40 hingga 50 kilometer di dalam hutan.
Salah seorang induk rimba, Baya, mengatakan, seperti masyarakat pada umumnya, Orang Rimba juga ingin hidup sejahtera. Mereka berharap dapat membangun perekonomian yang mandiri meskipun melalui proses yang panjang.
IRMA TAMBUNAN
Induk rimba mengolah ikan asap di permukiman mereka di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, Jumat (3/6/2022). Budidaya dan pengolahan hasil ikan dilakukan seiring makin sulitnya menapatkan sumber pangan di alam. Budidaya menjadi jalan keluar.
Memang, Orang Rimba kehilangan hutan alamnya dalam 30 tahun terakhir yang membawa kehidupan mereka merana. Terlunta-lunta karena kekayaan dalam hutan berganti menjadi perkebunan sawit dan akasia yang dikelola korporasi. Dari 150.000 hektar ekosistem Bukit Duabelas hanya menyisakan kurang dari 60.000 hektar di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Selebihnya berganti menjadi kebun swasta, permukiman transmigran, dan jalan.
Menyempitnya ruang hidup dan ruang kelola telah membawa kehidupan Orang Rimba di luar TNBD kini paling menderita. Memaksa mereka mencari jalan adaptasi untuk bertahan hidup.
Anggota komunitas di wilayah Pelepat, Mak Nur, menceritakan, mereka memperoleh lahan seluas 6,8 hektar dari Pemerintah Kabupaten Bungo serta bantuan rumah dari Kementerian Sosial pada 2014. Dari situlah, mereka mulai terpikir untuk menjalankan budidaya singkong dan ubi. Mereka juga menanam padi ladang. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Belakangan, sebagian warga tergiur menanam sawit dan karet. Jika ada lahan mau dijual, mereka pun mengumpulkan uang. Hasilnya dipakai membeli lahan untuk ditanami komoditas kebun. Saat ini, lebih dari 30 hektar lahan karet dan sawit mandiri dikelola warga di komunitas Orang Rimba di Pelepat.
IRMA TAMBUNAN
Sejumlah induk rimba memanen jernang (Daemonorops) di sekitar permukiman mereka di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, Jumat (3/6/2022). Jernang diolah menjadi bahan pewarna. Bahan baku alam kian sulit didapat seiring menyusutnya hutan, di tengah masih kuatnya ikatan komunitas itu pada alam.
Di wilayah Kedundung Muda, Kabupaten Sarolangun, komunitas Orang Rimba mulai membudidayakan nila setelah mendapatkan bantuan bibit ikan dari polisi rimba yang bernaung dalam Kepolisian Daerah Jambi. Ada tiga polisi rimba yang intensif mendampingi berjalannya budidaya ikan di wilayah Bukit Duabelas itu.
”Untuk tahap awal, kami bantu 10.000 bibit nila untuk dikelola Orang Rimba. Jika menghasilkan, bantuannya akan kami tambah,” ujar Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo, Kepala Kepolisian Daerah Jambi.
Pihaknya berharap ekonomi bagi Orang Rimba dapat terus didukung agar mereka semakin berdaya. Tidak lagi memungut brondolan sawit yang tercecer di lahan perusahaan atau kebun warga. Dengan begitu, konflik sosial dapat dicegah.
Sebagaimana diketahui, konflik terjadi November lalu. Tiga Orang Rimba dihukum penjara enam bulan karena melukai petugas keamanan sebuah perusahaan yang tengah melarang perempuan rimba memungut brondolan sawit. Peristiwa itu berbuntut konflik. Tiga lokasi permukiman Orang Rimba diamuk anggota keluarga petugas keamanan yang terluka. Mereka dikejar-kejar massa. Kelompok Orang Rimba itu pun lari ke hutan demi menyelamatkan diri.
Turun-temurun Orang Rimba hidup berburu dan meramu. Mereka memanfaatkan bahan alam yang melimpah dalam hutan. Namun, ujar Mak Nur (60), warga setempat, hal itu makin sulit diandalkan. Berburu makin sulit dan memakan jarak tempuh yang lebih jauh, sekitar 40 hingga 50 kilometer di dalam hutan.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Sejumlah induk rimba membawa hasil rumbia di sekitar permukiman mereka di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, Jumat (3/6/2022). Rumbia diolah menjadi anyaman tikar atau alas tidur. Bahan baku alam kian sulit didapat seiring menyusutnya hutan, di tengah masih kuatnya ikatan komunitas itu pada alam.
Begitu pula mengumpulkan hasil hutan berupa getah jernang, getah damar, dan rotan, dilakoni dengan perjuangan yang lebih berat. Sekali menjelajah untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan itu bisa semingguan lamanya. Hasilnya pun tidak sebanyak yang bisa didapatkan seperti pada masa lalu.
Karena itulah, lanjutnya, sebagian Orang Rimba mulai menjalani cara hidup baru: budidaya. Untuk menjalankan itu, diakuinya tidak mudah. Pernah mereka beternak kambing. Setiap keluarga mendapatkan bantuan sepasang kambing hasil bantuan Badan Zakat Nasional. Kambing pun sempat beranak pinak. Namun, ketika pandemi Covid-19 terjadi, Orang Rimba ketakutan. Mereka pun lari masuk ke dalam hutan, meninggalkan ternaknya. Bersesandingon, yang merupakan tradisi jaga jarak Orang Rimba untuk terhindar dari penularan penyakit, berimbas pada kematian ternak-ternak kambing.
Direktur Pundi Sumatera Dewi Yunita Widiarti menilai, di luar itu, usaha Orang Rimba untuk hidup mandiri semakin menguat. Namun, mereka butuh ruang untuk mengelola. Juga butuh pendampingan untuk dapat produktif dan mandiri.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan mengatakan, kebutuhan masyarakat adat akan ruang hidup dan ruang kelola dapat diakomodasikan secara formal lewat penetapan hutan adat lewat mekanisme sederhana. Ia melihat selama ini masih ada celah yang perlu dibenahi. Salah satunya perlu menyederhanakan proses perizinan.
Jika sudah diketahui di situ ada masyarakat adatnya, ada hutannya, ada ikatan yang kuat masyarakat menjaga hutannya, pemerintah jangan ragu menetapkan status hutan adat. Penundaan berlarut pengakuan hutan adat, selain berdampak langsung pada masyarakat adat, juga berimbas pada tingginya laju kehilangan hutan.