Atasi Darurat Peradaban Hukum
Dugaan suap hakim agung dan beragam persoalan lain di lembaga penegak hukum mengindikasikan tengah terjadi darurat peradaban hukum. Butuh evaluasi menyeluruh
JAKARTA, KOMPAS – Terkuaknya dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung yang melibatkan hakim agung menguatkan indikasi saat ini negara dalam keadaan darurat peradilan dan peradaban hukum. Pembenahan peradaban hukum secara menyeluruh mendesak dilakukan.
”Penahanan terhadap hakim agung bisa menjadi isu yang tidak saja menggemparkan masyarakat di dalam negeri, tetapi juga secara internasional,” kata mantan Hakim Agung T Gayus Lumbuun yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/9/2022).
Gayus juga mengatakan, seluruh lembaga penegak hukum dalam beberapa waktu tahun terakhir diguncang berbagai persoalan. Kejaksaan, misalnya, menjadi sorotan publik saat Pinangki Sirna Malasari, yang saat itu bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung, terseret kasus pengurusan perkara buronan Joko S Tjandra. Saat kasus ini mencuat tahun 2020, nama Jaksa Agung dan mantan Ketua MA disebut-sebut meski pada akhirnya tidak ada bukti yang menunjukkan keterkaitannya.
Kemudian, kasus yang lebih baru melibatkan bekas Kepala Divisi Propam Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi kehilangan salah satu komisionernya, Lili Pintauli Siregar, yang mundur setelah ada sejumlah dugaan skandal pelanggaran etik
Baca juga: Mahkamah Agung Berhentikan Sementara Sudrajad Dimyati
Kasus terakhir melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang diduga menerima suap pengurusan perkara perdata terkait pemailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Sudrajad diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai hakim agung oleh MA.
Berangkat dari persoalan ini, menurut Gayus, Presiden dapat membentuk tim evaluasi nasional untuk mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Evaluasi dilaksanakan terhadap pemimpin tertinggi di lembaga penegak hukum itu hingga pimpinan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi mencakup dua hal, yakni apakah yang bersangkutan secara administratif dan kapabilitas memenuhi syarat menduduki jabatannnya. Kedua, mengevaluasi kinerja pejabat yang bersangkutan. Laporan kinerja itu dikaitkan dengan pengaduan masyarakat yang diterima instansi terkait dan lembaga pengawasnya.
”Jadi, terapinya sama, baik untuk kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan,” katanya.
Untuk KPK, Gayus mengungkapkan evaluasi serupa bisa saja dilakukan Presiden. Hal itu tidak dilarang karena yang dilarang adalah mengevaluasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum, yakni menyidik, menuntut, dan mengadili perkara.
Mendesak dilakukan
Menurut Gayus, langkah evaluasi dari pimpinan MA terhadap institusinya dapat dilakukan segera. Hal itu mendesak dilakukan karena pentingnya upaya mengembalikan kepercayaan publik di dalam dan luar negeri. MA juga pernah menerbitkan Maklumat Nomor 1 Tahun 2017 yang isinya mengenai sanksi berjenjang terhadap atasan dari pihak yang melakukan tindak pidana.
Sebelumnya, mantan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi pada MA, Krisna Harahap, mengungkap adanya kecenderungan pimpinan MA sangat protektif menjaga agar jangan sampai ada kabar negatif mengenai lembaga peradilan tertinggi itu. Cara seperti itu berdampak negatif, yaitu seolah memberikan kesempatan sehingga pihak yang ”main api” kian berani. Menurut dia, pada dasarnya di antara hakim agung mengetahui siapa yang ”main api”. Demikian pula pimpinan, terutama Ketua Kamar Pembinaan dan Pengawasan MA.
Terkait hal itu, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan, informasi dan pengetahuan pimpinan MA sangat terbatas soal dugaan korupsi atau suap. Laporan atau pengaduan yang sering diterima hanya minta agar dilakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perkara yang sedang berjalan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Bahkan, terkadang juga untuk perkara di tingkat pertama dan banding. Pengaduan ditindaklanjuti dengan meneruskan laporan itu sebagai informasi untuk lebih berhati-hati.
”Memang sering ada laporan dari pihak yang beperkara yang kalah di tingkat pertama atau banding, katanya dia kalah karena ada kecurigaan lawannya menyogok hakim. Laporan yang demikian kami tindaklanjuti agar Bawas (Badan Pengawas) menyelidiki kebenarannya. Kami tidak pernah menutupi laporan yang melanggar hukum atau melanggar kode etik atau perilaku yang menyimpang,” ujar Andi Samsan.
Perbaiki sistem penanganan perkara
Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society, Dio Ashar Wicaksana, mengakui dalam beberapa tahun ini, MA bukan tidak melakukan apa-apa. MA telah melakukan serangkaian upaya untuk menghadirkan keadilan bagi para pencari keadilan, salah satunya antara lain dengan menerapkan e-Court dan pelayanan satu pintu.
Pihaknya mengapresiasi upaya-upaya tersebut. Namun, cakupan kebijakan tersebut perlu diperluas, tak hanya terkait dengan pendaftaran perkara, atapi juga mencakup Salinan putusan dan administrasi terkait surat kuasa.
“Kalau e-Court tidak bisa menjangkau suap untuk memengaruhi putusan, hanya pungli saja,” ujar Dio.
Pihaknya mengapresiasi MA yang sudah meningkat dalam produktivitas penangan perkara dan minutasi perkara. Namun, yang menjadi tantangan adalah mendorong kualitas putusan mengingat beban perkara di MA sangat tinggi. Menurut Dio, pembatasan perkara di MA sangat penting. Namun soal pembatasan perkara tersebut, peran pemerintah juga penting. Misalnya, mendorong pembatasan kasasi ke MA dari kejaksaan sebab kasasi pada prinsipnya adalah memeriksa penerapan hukum mengingat MA adalah judex juris bukan judex facti.
“Jadi yang dilihat kalau ada penerapan hakim yang salah,” ujarnya.
Selain itu, ia mengusulkan agar sistem penanganan perkara perlu diubah. MA perlu membuat sebuah mekanisme untuk pemeriksaan awal sebuah perkara untuk memilah-milah apakah suatu perkara terkait dengan isu penerapan hukum atau masih mempersoalkan fakta yang tidak perlu. Pemeriksaan awal tersebut dapat digunakan sebagai penyaring.
“Jadi hakim agung bisa fokus bukan menentukan lamanya hukuman, tapi menguji penerapan hukum hakim dibawahnya benar atau tidak. Karena lama hukuman itu terkait judex facti,” ujarnya sambil menekankan bahwa tugas MA adalah menjaga kesatuan hukum.
Dengan demikian, jika majelis kasasi menemukan adanya kekeliruan penerapan hukum dalam suatu perkara, maka perkara tersebut dikembalikan ke judex facti untuk diadili ulang sesuai pertimbangan hukum MA. Berat ringannya hukuman akan ditentukan kembali oleh judex facti, MA tidak menjatuhkan lamanya hukuman.
Namun, ia menyadari bahwa mengubah sistem penanganan perkara membutuhkan upaya yang luar biasa. Sehingga, apabila hal tersebut belum dapat dilakukan, ia berharap agar masing-masing penegak hukum memahami norma dan konsep upaya hukum sehingga persoalan dapat diuraikan.