DPR Klaim RUU Perampasan Aset Tak Memungkinkan Dibahas Tahun 2022
Meskipun DPR dan pemerintah memiliki komitmen yang sama untuk segera membahas RUU Perampasan Aset, kenyataannya tidak mudah. Pasalnya, secara teknis tidak mungkin dengan waktu yang tersisa pada tahun ini.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mengklaim memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Akan tetapi, RUU tersebut tak memungkinkan dibahas tahun ini karena persoalan teknis.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya akan mengadakan rapat pleno Baleg pada Selasa (20/9/2022). Dalam rapat tersebut, Baleg akan memasukkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Menurut anggota Fraksi Partai Gerindra di DPR itu, RUU tersebut sudah tidak memungkinkan untuk masuk ke Prolegnas Prioritas 2022. Waktu yang tersisa hingga akhir tahun tidak cukup untuk memenuhi syarat-syarat formil yang harus dipenuhi sebelum pembahasan undang-undang. DPR akan memasuki masa reses pada 4 Oktober mendatang, lalu kembali memasuki masa sidang pada awal November.
Meski demikian, kata Supratman, hal itu tidak berarti ada kecenderungan untuk menunda-nunda pembahasan RUU Perampasan Aset. ”Yang jelas, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk memasukkannya ke prolegnas, jadi sudah one step closer (selangkah lebih dekat),” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (19/9/2022).
Yang jelas, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk memasukkannya ke prolegnas, jadi sudah one step closer (selangkah lebih dekat).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, RUU Perampasan Aset merupakan RUU inisiatif pemerintah. RUU tersebut memang sudah masuk dalam prolegnas lima tahunan, tetapi belum masuk dalam prolegnas prioritas tahunan. ”Agar bisa masuk ke prolegnas prioritas tahunan, tentu pemerintah perlu bermusyawarah dengan DPR,” ujarnya.
Namun, kata Arsul, sebelum memasukkan RUU Perampasan Aset, Komisi III ingin untuk menyelesaikan sejumlah RUU yang sudah ada dalam prolegnas prioritas, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Narkotika, dan RUU Hukum Acara Perdata. Sejumlah RUU tersebut dinilai penting untuk diselesaikan terlebih dulu agar tertib prolegnas terjaga.
Arsul menambahkan, pemerintah dan DPR juga sebaiknya menyosialisasikan tentang konsep perampasan aset tindak pidana yang dikehendaki. Sosialisasi terkait penting agar masyarakat mengetahuinya sebagai bagian dari proses hukum yang berlaku. ”Bukan dibuat sekadar geregetan karena melihat asset recovery dari tindak pidana tertentu, terutama tindak pidana korupsi itu masih rendah,” katanya.
Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah sudah mengajukan RUU Perampasan Aset ke DPR. Namun, hingga saat ini pembentuk UU belum juga membahasnya. Padahal, RUU tersebut sangat diperlukan untuk melengkapi regulasi pemberantasan korupsi.
Berdasarkan catatan Kompas, RUU Perampasan Aset sudah dikaji dan diusulkan selama lebih dari satu dekade. Selama itu pula, RUU selalu masuk dalam prolegnas lima tahunan, tetapi tidak pernah masuk ke prolegnas prioritas tahunan. Terakhir, RUU pun tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 yang ditetapkan pada 6 Desember 2021.
Padahal, tiga hari berselang pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2021, Presiden Joko Widodo mengungkapkan permintaannya untuk meningkatkan upaya penyelamatan, pengembalian, dan pemulihan keuangan negara serta memitigasi pencegahan korupsi sejak dini. Dalam kaitan itu, pemerintah mendorong agar UU Perampasan Aset Tindak Pidana segera ditetapkan (Kompas, 20/4/2022).
Kontradiksi pemerintah
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan, pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset sangat ditunggu publik. RUU tersebut merupakan inisiatif pemerintah, tetapi selama ini pemerintah tidak kunjung menyerahkan rumusannya kepada DPR. Hal itu pun menunjukkan ada upaya yang konsisten dalam menegasikan pemberantasan korupsi.
Ada ketimpangan antara yang dikatakan pemerintah kepada publik dan apa yang dilakukan.
”Ada ketimpangan antara yang dikatakan pemerintah kepada publik dan apa yang dilakukan,” ujarnya.
Padahal, RUU Perampasan Aset amat dibutuhkan karena akan sangat membantu proses pemulihan keuangan negara dan memberikan efek jera bagi koruptor. Hal itu penting di tengah tren penyusutan vonis, tuntutan, dan maraknya pemberian remisi kepada koruptor.
Selain itu, paradigma pemberantasan korupsi yang dilakukan negara juga masih sebatas berorientasi pada pelaku, bukan perampasan aset. Berdasarkan pantauan TII sepanjang 2014-2018, misalnya, dari sekitar 500 perkara tindak pidana korupsi, pasal pencucian uang hanya diterapkan kepada 23 terdakwa. Akibatnya, pemulihan aset yang bisa dilakukan jumlahnya tak mencapai 10 persen dari total jumlah perkara yang ada.
”Jadi, memang ada ketimpangan dari segi politik hukum pemerintah, di satu sisi mau terus mewacanakan pemulihan aset, tetapi dalam praktiknya, tuntutannya, itu jarang sekali dimasukkan,” kata Alvin.