Kasus Putri Candrawathi dan Problem Standar Ganda Penahanan Perempuan
Tak ditahannya Putri Candrawathi, tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, mencuatkan problem standar ganda penahanan perempuan, utamanya yang memiliki anak balita. Sebab, di banyak kasus lain, tersangka tetap ditahan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·7 menit baca
Keputusan penyidik kepolisian untuk tak menahan Putri Candrawathi, tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, mencuatkan problem standar ganda penyidik saat berhadapan dengan perempuan yang memiliki anak balita. Tak lain karena di banyak kasus, perempuan tetap ditahan meski memiliki anak balita. Mencegah terus berulangnya standar ganda ini, muncul usulan agar hakim menjadi pihak yang bertugas menguji kebutuhan penyidik untuk menahan atau tidak seseorang. Opsi lain, polisi menyusun aturan internal sehingga hanya tunggal standar yang berlaku.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Nofriansyah pada 19 Agustus lalu, Putri Candrawathi tak kunjung ditahan oleh penyidik Bareskrim Polri. Begitu pula setelah serangkaian pemeriksaan oleh penyidik, seperti pada 27 Agustus dan 31 Agustus 2022, ia pun selalu luput dari penahanan. Padahal, empat tersangka lain dalam kasus pembunuhan tersebut sudah langsung ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Beragam alasan pun disampaikan pihak kepolisian. Pada Jumat (27/8/2022), misalnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo beralasan Putri tak ditahan karena pemeriksaan belum tuntas sehingga ia diperbolehkan oleh penyidik untuk pulang ke rumahnya. Kemudian pada Rabu (31/8/2022), penyidik memenuhi permintaan Putri agar tak perlu ditahan dengan alasan kemanusiaan.
”Ibu Putri masih mempunyai anak kecil dan Ibu Putri masih dalam kondisi tidak stabil sehingga kami mengajukan permohonan untuk tidak dilakukan penahanan, tetapi diberikan wajib lapor dua kali seminggu,” ujar kuasa hukum dari Putri, Arman Hanis.
Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto membenarkan hal ini, Kamis (1/9/2022). Selain karena Putri memiliki bayi berusia 1,5 tahun, suami Putri, Ferdy Sambo, yang juga menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Nofriansyah, telah berada di tahanan. Di luar alasan itu, Agung menyebutkan pula alasan kesehatan sebagai dasar tak ditahannya Putri. ”Di samping itu, penyidik juga sudah melakukan pencekalan terhadap PC (Putri Candrawathi), dan pengacara menyanggupi untuk PC akan selalu kooperatif, dan ada wajib lapor,” ujar Agung.
Alhasil, Putri masih leluasa menghirup udara bebas.
Namun, berbeda dengan Putri, empat tersangka lain tak memperoleh ”keistimewaan”. Ferdy Sambo; dua ajudan Ferdy saat masih menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, yakni Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu serta Brigadir Kepala Ricky Rizal; dan Kuat Ma’ruf (asisten rumah tangga keluarga Ferdy); langsung ditahan setelah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka.
Perbedaan perlakuan itu yang kemudian memantik kritik publik seperti salah satunya terlihat di media sosial. Di antaranya ada yang membandingkan kasus Putri dengan Angelina Sondakh saat menjadi tersangka kasus korupsi. Saat itu, Angie, sapaan akrabnya, terpaksa menitipkan anaknya kepada keluarganya saat dibui karena kasus korupsi Wisma Atlet, Hambalang. Padahal, kala itu, suaminya, Adjie Massaid, telah meninggal. Akibatnya, Angie harus berpisah dengan anak semata wayangnya.
Selain itu, ada pula yang membandingkan dengan kasus almarhum Vanessa Angel. Pesohor yang kini telah berpulang karena kecelakaan itu juga tetap ditahan karena kasus penyalahgunaan narkoba di Polres Jakarta Barat meski saat itu ia memiliki bayi yang usianya masih hitungan bulan.
Seorang advokat dari Banyumas, Aan Rohaeni, juga menceritakan bahwa pada 2016, dia pernah mendampingi seorang perempuan yang harus ditahan bersama bayinya yang berusia lima bulan di penjara. Perempuan berinisial WD itu dilaporkan ke kepolisian karena menikah siri tanpa izin istri resmi. WD dilaporkan melanggar Pasal 279 Ayat (1) tentang Perkawinan yang menghalang-halangi perwakinan sah dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun.
”Kasus itu disidik oleh polsek, di mana jauh dari pusat kekuasaan. Sementara, pihak pelapor adalah orang yang memiliki koneksi dengan aparat penegak hukum. Makanya, klien saya saat itu ditahan dengan bayinya yang berusia lima bulan di penjara,” kata Aan saat dihubungi, Sabtu (10/9/2022).
Kegusaran publik melihat sikap penyidik pada Putri ini pula yang mendorong lahirnya petisi daring melalui change.org. Petisi dimaksud berjudul ”Tahan dan Penjarakan PC Tsk (tersangka) Pembunuhan Berencana”. Petisi yang diinisiasi seseorang bernama Poltak Simanjuntak itu telah ditandatangani hampir 20.000 orang hingga Sabtu siang sejak petisi diluncurkan, 1 September lalu.
Akuntabilitas
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat, penahanan memang bukan keharusan atau kewajiban bagi tersangka. Penahanan hanya dilakukan apabila ada kepentingan pemeriksaan, misalnya, jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat. Selain itu, untuk tersangka kasus perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis jender, pertimbangan beban pengasuhan yaitu menjadi pengasuh utama anak atau sedang hamil, juga bisa menjadi alasan untuk dihindarkan dari penahanan.
”Pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak,” kata Erasmus, Minggu (4/9/2022).
Meskipun demikian, pertimbangan kemanusiaan yang diputuskan oleh penyidik tetap memicu perdebatan publik. Apalagi, dalam kasus pidana lain, perempuan tersangka lain bahkan harus membawa anaknya ke tempat penahanan.
Erasmus menerangkan, dalam kerangka hukum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang banyak permasalahan terkait hukum penahanan. Keputusan untuk menahan diatur di ketentuan Pasal 21 KUHAP yang menyerahkan keputusan penahanan kepada aparat penegak hukum, khususnya penyidik. Sistem seperti ini menciptakan permasalahan karena membuat sistem peradilan pidana di Indonesia menjadi tak akuntabel.
Idealnya, menurut dia, mengacu pada Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal itu menjelaskan bahwa orang yang ditahan harus segera dihadapkan pada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan.
Oleh karena itu, Erasmus menilai, kasus Putri menjadi momentum untuk merevisi KUHAP. KUHAP mendesak direvisi untuk memastikan ada peran hakim pemeriksaan pendahuluan yang bertugas menguji kebutuhan untuk menahan atau tidak secara akuntabel. “Tak hanya pertimbangan penyidik semata,” tegasnya.
KUHAP juga perlu direvisi karena tak memberikan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk mengurai terpenuhinya syarat-syarat untuk dilakukan penahanan secara obyektif. Padahal, sesuai putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak. Apalagi, alasan berbasis stereotipe atau alasan yang diulang-ulang. Putusan menyebutkan bahwa perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri atau menghalangi penyidikan.
”Hal ini tak terjadi dalam praktik hukum di Indonesia. Jika melihat surat perintah penahanan, uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis. Hanya narasi copy paste yang diulang-ulang,” katanya.
Ilustrasi
Dia berpendapat, pendekatan penyidik untuk menentukan penahanan adalah pendekatan kewenangan. Penyidik merasa memiliki kewenangan penahanan sehingga tak perlu uraian lagi. Tanpa hakim pemeriksa, penyidik memang tak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel.
Alasan lainnya, urai Erasmus, KUHAP belum mengakomodasi pertimbangan HAM dan jender dalam rumusannya. Untuk tersangka atau terdakwa yang memiliki kerentanan khusus, seperti ibu, perempuan hamil, dan warga lansia, sebaiknya dipertimbangkan penahanan nonrutan. ”KUHAP sudah tidak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel sehingga harus direvisi. Salah satunya adalah hukum tentang penahanan yang bisa sangat tak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Lain lagi dengan anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, yang berpandangan bahwa justru keputusan penyidik yang tak menahan Putri dengan alasan kemanusiaan dan perspektif jender seharusnya menjadi standar ke depan ketika menghadapi masalah perempuan yang terjerat tindak pidana. Hal itu juga telah diatur dalam rekomendasi Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tentang akses keadilan terhadap perempuan.
Dalam konteks di Indonesia, hal itu telah pula diatur dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Perkara Pidana. Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum. Sementara, di kepolisian, belum ada aturan internal mengenai penanganan kasus perempuan berhadapan dengan hukum.
”Kepolisian harus memiliki standar kapan seorang perempuan yang berhadapan dengan hukum itu boleh dilakukan penahanan,” kata Siti.