Kontras Dorong Kasus Mutilasi di Mimika Diadili di Peradilan Umum
Kasus pembunuhan disertai mutilasi empat warga sipil di Mimika, Papua, merupakan pelanggaran hukum pidana sehingga sepatutnya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras mengecam peristiwa pembunuhan yang disertai mutilasi di Mimika, Papua. Mereka berharap para pelaku dapat diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer.
Pada 22 Agustus 2022, terdapat empat warga sipil menjadi korban pembunuhan yang diduga melibatkan enam prajurit TNI dari kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo beserta empat warga sipil.Diketahui empat korban ini bertemu dengan enam prajurit dan empat pelaku lainnya untuk membeli senjata jenis AK 47 dan FN di sekitar Sungai Wania Kampung Pigapu. Ternyata para pelaku berbohong memiliki dua pucuk senjata api dan membunuh empat korban.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima Kontras, Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini diduga dibunuh serta dimutilasi menjadi beberapa bagian. Potongan tubuh mereka dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke Sungai Pigapu, Distrik Iwaka.
”Dalam proses pencarian awal seluruh jenazah yang dilakukan oleh keluarga korban, tidak ada satu pun aparat kepolisian yang terlibat untuk turut mendampingi keluarga korban, meskipun pihak keluarga sebelumnya telah meminta kepada Polres Mimika untuk melakukan pencarian bersama. Bahkan, ketika jenazah korban ditemukan, keluarga korban sempat tidak diberikan akses untuk melihat kondisi jenazah,” kata Fatia melalui keterangan tertulis, Sabtu (3/9/2022).
Menurut Fatia, peristiwa ini memperlihatkan bahwa pendekatan militeristik dalam penyelesaian persoalan Papua telah menimbulkan persoalan baru, salah satunya kesewenang-wenangan prajurit. Pembunuhan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang sangat fundamental, yakni hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Oleh karena itu, kata Fatia, sudah sepatutnya para pelaku dapat diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab, tindakan para terduga pelaku merupakan pelanggaran hukum pidana. Apabila proses hukum melalui mekanisme peradilan militer terhadap sejumlah prajurit TNI tetap dilaksanakan, dikhawatirkan akan memberikan ruang ketidakadilan bagi keluarga korban. Sebab, selama ini proses peradilan militer cenderung tertutup dan kerap kali terjadi praktik impunitas.
Sudah sepatutnya para pelaku dapat diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab, tindakan para terduga pelaku merupakan pelanggaran hukum pidana
Ia mencontohkan beberapa kasus yang terjadi di Intan Jaya, seperti penembakan terhadap Pendeta Yeremia serta kasus penghilangan secara paksa serta pembunuhan terhadap Luther Zanambani dan Apinus Zanambani maupun Sem Kobogau. Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti perkembangan kasus tersebut, apakah para pelakunya sudah diadili atau tidak.
Berkaitan dengan proses hukum yang sedang berjalan, Kontras mendorong pemeriksaan diarahkan juga kepada komandan kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo karena dalam institusi militer dikenal adanya pertanggungjawaban komando. Selain itu, Kontras juga mendesak agar proses hukum tersebut dilakukan secara terbuka dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi keluarga korban.
Kontras juga mendesak Presiden menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Sebab, pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM.
”Polda Papua segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa ini secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. Serta memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan,” kata Fatia. Ia juga berharap, Panglima TNI segera memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh prajurit TNI yang diduga terlibat dalam peristiwa keji ini.
Selain itu, Kontras mendesak Komnas HAM menginvestigasi secara mendalam dugaan pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mereka juga mendorong hasil dari pendalaman atau investigasi yang dilakukan dapat diungkap kepada publik.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam kunjungan di Jayapura pada Rabu kemarin memerintahkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk membantu proses hukum dalam kasus ini. Proses hukum kasus mutilasi dengan motif perampokan ini diminta tetap berjalan hingga tuntas. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap TNI tidak akan pudar.
”Saya perintahkan kepada panglima TNI untuk membantu proses hukum yang juga telah dilakukan oleh kepolisian, tetapi didukung oleh TNI,” ujar Presiden Jokowi.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faisal Ramadhani mengungkapkan, saat ini tiga warga sipil yang terlibat pembunuhan sudah ditahan. Mereka adalah Jack, Dul Umam, dan Rafles. Satu pelaku lain bernama bernama Roy masih buron. Para tersangka itu dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana serta Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan.
Adapun enam prajurit TNI yang disangka terlibat pembunuhan telah ditahan di Markas Subdetasemen Polisi Militer XVII/Cenderawasih Mimika. Mereka adalah Mayor Inf HF, Kapten Inf DK, Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC, dan Pratu R.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel Kav Herman Taryaman menyatakan, pemeriksaan enam prajurit terus berlangsung hingga Selasa ini. Para prajurit ini berasal dari satuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo.
Ia pun mengakui terdapat seorang perwira menengah berpangkat mayor dan seorang perwira berpangkat kapten yang diduga bersama empat prajurit lainnya diduga terlibat dalam pembunuhan empat warga. Para prajurit ini telah menjalani penahanan Markas Subdetasemen Polisi Militer XVII/Cenderawasih Mimika.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, pihaknya telah membentuk tim untuk menginvestigasi kasus pembunuhan empat warga tersebut. Hal ini sesuai instruksi dari pimpinan Komnas HAM RI.
Frits berpendapat, seharusnya para pelaku tidak boleh melakukan aksi kekerasan karena menilai empat warga ini adalah anggota dari kelompok kriminal bersenjata (KKB). Akan tetapi, para pelaku bisa mengamankan dan menyerahkan empat warga ini kepada pihak kepolisian untuk mengungkap jaringan peredaran senjata api dan amunisi bagi KKB (Kompas.id, 31/8/2022).