Agar Obat Tak Lebih Buruk dari Penyakit
Untuk mengatasi disinformasi, perlukah negara masuk menjadi penentu mana informasi yang benar dan salah? Masyarakat sipil di AS skeptis terhadap kehadiran negara dalam tata kelola informasi.
”Betapa pun merusaknya sebuah opini, kita bergantung, untuk mengoreksinya, bukan pada hati nurani hakim dan juri, melainkan pada persaingan ide-ide lain” (Hakim Mahkamah Agung AS Lewis Powell Jr, 1974).
Awal tahun 2022, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS sempat meluncurkan Dewan Tata Kelola Disinformasi untuk mengoordinasikan upaya mengatasi disinformasi, terutama yang berasal dari negara asing. Namun, hanya dalam hitungan minggu, inisiatif tersebut akhirnya dibatalkan.
Serangan terbesar muncul dari kelompok sayap kanan yang menyebut dewan itu sebagai ”Kementerian Kebenaran Orwell”, merujuk pada buku 1984 yang ditulis oleh George Orwell. Padahal, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menyebut dewan itu bertujuan mengoordinasi berbagai agensi di bawah departemen itu untuk melawan disinformasi oleh musuh asing, penyelundup manusia dan narkoba, serta kelompok kejahatan internasional lainnya (New York Times, 18/5/2022).
Selain diserang dengan disinformasi dari kelompok sayap kanan, pembentukan Dewan Tata Kelola Disinformasi ini juga direspons secara skeptis oleh masyarakat sipil di AS, terutama karena belum ada gambaran yang utuh soal peranan dewan ini. American Civil Liberties Union Foundation (ACLU), lembaga berusia lebih dari 100 tahun yang memperjuangkan kebebasan konstitusional di AS, misalnya, turut mempertanyakan pembentukan dewan ini.
”DHS (Departemen Keamanan Dalam Negeri) belum secara memadai menjelaskan mengenai kebutuhan membentuk dan juga cakupan dari lembaga menyeramkan Dewan Tata Kelola Disinformasi. Kami skeptis dengan pemerintah menjadi arbitrase kebenaran dan kepalsuan,” begitu antara lain cuitan dari ACLU di akun Twitternya pada 6 Mei 2022.
Amerika Serikat memang memilih pendekatan yang maksimal dalam menjaga kebebasan berpendapat. Amendemen pertama dari konstitusi AS mengamanatkan kongres antara lain untuk menjaga kebebasan berkaitan dengan beragama, berekspresi, berkumpul, dan membuat petisi kepada pemerintah.
Amanat dari amendemen pertama ini menjadi pegangan berbagai pemangku kepentingan di AS. Seorang penegak hukum di Tampa, Florida, misalnya menuturkan bahwa polisi tidak dapat menindak penyebar disinformasi, bahkan pihak yang menyampaikan ujaran kebencian (hate speech). ”Tetapi, apabila pernyataan sudah menjadi ancaman terhadap keselamatan seseorang atau kelompok, dapat ditangani,” katanya, akhir Juli 2022.
Pemisahan antara pendapat dan tindakan ini mengingatkan pada pandangan Baruch Spinoza (1632-1677) filsuf dari Belanda. Dia berpendapat, dalam sebuah negara yang bebas, setiap orang merdeka untuk berpikir sekehendaknya dan berpendapat sesuai apa yang dipikirkannya. Spinoza juga membedakan antara tindakan dan pendapat. Baginya, hanya tindakan, bukan pendapat, yang tunduk pada kontrol pemerintah (Mchangama dalam Free Speech: A History from Socrates to Social Media, 2022).
Berdasar amendemen pertama, hak untuk menyampaikan pendapat benar-benar dilindungi. Namun, perlindungan itu memiliki beberapa perkecualian, di antaranya mengajak melakukan kekerasan, mengancam orang lain, penipuan, dan fitnah yang merusak reputasi. Perkecualian ini tidak termasuk orang yang menyampaikan pendapat keliru atau berbohong.
Brian Hauss, pengacara publik pada ACLU, dalam pertemuan di New York pada akhir Juli, menuturkan, berdasarkan amendemen pertama, hak untuk menyampaikan pendapat benar-benar dilindungi. Namun, perlindungan itu memiliki beberapa perkecualian, di antaranya mengajak melakukan kekerasan, mengancam orang lain, penipuan, dan fitnah yang merusak reputasi. Perkecualian ini tidak termasuk orang yang menyampaikan pendapat keliru atau berbohong.
Bahkan, orang yang berbohong, termasuk mengenai hasil pemilu, juga dilindungi oleh amendemen pertama. Brian menekankan, pemerintah baru boleh terlibat jika kebohongan yang disampaikan memiliki nilai sosial rendah, bukan terkait perdebatan politik, dan tindakan itu mengancam hukum secara akut dan segera.
Lantas bagaimana jika ada lembaga survei yang berbohong mengenai hitung cepat pemilu, angka itu dipergunakan politisi, dan akhirnya menimbulkan kerusuhan?
”Itu adalah salah satu harga yang harus dibayar dalam hidup masyarakat yang terbuka. Orang berbohong dan kebohongan ada dampaknya. Kita harus mempertimbangkan itu saat menganalisis informasi yang kita tangkap,” kata Ben Wizner, Director Speech, Privacy, and Technology Project ACLU.
Namun, dia menggarisbawahi bahwa argumentasinya bukan pada tidak ada dampak buruk dari skenario itu, melainkan ada cara untuk mengatasi persoalan itu di luar regulasi pemerintah. Sistem hukum di AS sangat skeptis pada pemerintah mengambil peran untuk menentukan apakah sebuah pendapat diperbolehkan atau tidak.
”Amerika Serikat memiliki aturan terkait kebebasan berpendapat yang paling dilindungi di dunia,” katanya.
Mereka tidak sependapat untuk memberikan lebih banyak kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan mana yang benar dan salah. Sebab, dalam beberapa kasus, pemerintah bisa menjadi penyebar kebohongan yang paling utama.
Dalam melihat relasi antara disinformasi dan masuknya pemerintah dalam meregulasi informasi, dia mengingatkan bahwa terkadang obat penyembuh bisa lebih buruk dari penyakitnya. Wizner menekankan bahwa mereka tidak sependapat untuk memberikan lebih banyak kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan mana yang benar dan salah. Sebab, dalam beberapa kasus, pemerintah bisa menjadi penyebar kebohongan yang paling utama (chief teller of lies).
Baca Juga: Kabar Bohong Masih Akan Membayangi 2024
Soal argumentasi dari pihak yang mendorong masuknya pemerintah meregulasi informasi karena tingkat literasi masyarakat rendah, Ben tidak sependapat. Menurut dia, instrumen hukum tidak bisa menyelesaikan persoalan sosial terkait disinformasi. Menurut dia, bagian dari solusi mengatasi disinformasi justru meningkatkan literasi masyarakat, membangun masyarakat yang lebih tangguh, serta mengajari mereka untuk selalu skeptis terhadap informasi yang mereka terima.
Perhitungkan dampaknya
Svetlana Mintcheva, aktivis National Coalition Against Censorship yang juga penulis buku Censoring Culture, mengingatkan bahwa, jika hendak meregulasi dampak negatif dari internet, harus pula diperhitungkan dampak dari regulasi itu pada sisi positif internet. Maka itu, dia tidak setuju pada upaya untuk menekan informasi yang dianggap disinformasi. ”Pertanyaan kuncinya, siapa yang memutuskan (mana yang masuk kategori disinformasi),” katanya.
Oleh karena itu, menurut Svetlana, cara yang paling penting dalam mengatasi disinformasi ialah mendidik konsumen untuk mampu menilai informasi yang terpercaya. Dia juga mengingatkan bahwa disinformasi bukan hal yang baru. Kabar bohong telah menemani perjalanan sejarah manusia.
Berkaca dari pengalamannya semasa kecil yang tumbuh di negara sosialis di Eropa, pemerintah ketika itu mengontrol informasi secara ketat. Informasi yang tidak sejalan dengan pemahaman pemerintah dikatakan sebagai disinformasi. ”Saya skeptis soal pemerintah memutuskan mana yang benar dan salah,” katanya.
Jika kemudian ada upaya untuk meregulasi pendapat secara daring, hal itu harus dilakukan secara spesifik agar tidak berdampak pada pendapat yang dilindungi oleh konstitusi AS. Selain itu, dia juga menolak kriminalisasi informasi palsu kecuali hal itu termasuk pengecualian dari perlindungan amendemen pertama, misalnya menyebabkan bahaya yang segera terhadap masyarakat umum atau ajakan untuk melawan hukum yang segera.
Dalam mengatasi disinformasi, Stevlana juga menekankan pentingnya ada akuntabilitas dan transparansi bagi perusahaan penyedia platform terkait moderasi konten. NCAC juga mendorong peneliti, pemeriksa fakta, dan masyarakat sipil unntuk memonitor disinformasi online.
Konteks Indonesia
Pendekatan di AS dengan amendemen pertama cenderung amat menekankan pada kebebasan berpendapat, kebebasan individual untuk menakar informasi, serta meminimalkan peranan negara. Lantas bagaimana dengan konteks Indonesia?
Indonesia juga hampir sama dengan AS. Hanya saja, dalam budaya Timur, dalam menyampaikan pendapat juga harus menjaga perasaan orang lain. Hal ini, kata dia, tidak tampak di AS.
Kepala Bidang Bahan Hukum Publik Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Dado Achmad Ekroni menuturkan, konstitusi Indonesia juga melindungi soal kebebasan berpendapat. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dalam konteks ini, kata dia, Indonesia juga hampir sama dengan AS. Hanya saja, kata dia, dalam budaya Timur dalam menyampaikan pendapat juga harus menjaga perasaan orang lain. Hal ini, kata dia, tidak tampak di AS.
Berbeda pula dengan di AS, di Indonesia beberapa pendapat yang menimbulkan ekses negatif bisa ditangani penegak hukum. ”Kalau di kita, seandainya hoaks atau kabar bohong sampai menimbulkan keonaran, bisa dipidana. Ini awalnya peninggalan kolonial Belanda juga. Kita ambil itu dan masuk dalam pasal di UU No 1/1946 (tentang Peraturan Hukum Pidana). Kalau sekarang konteksnya juga dengan UU ITE (informasi dan transaksi elektronik) karena sekarang (penyebaran) ditambahi dengan media sosial,” kata Dado.
Baca Juga: Polutan yang Mencekik Demokrasi
Adapun UU ITE dinilai kelompok masyarakat sipil memiliki sejumlah pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kritik. Data SafeNet dari 2008-2020, ada 376 kasus hukum terkait UU ITE dengan 30 persen terlapor merupakan mereka yang berprofesi sebagai buruh, aktivis, mahasiswa, dan jurnalis (Kompas, 8/9/2021). Pemerintah kemudian memutuskan merevisi secara terbatas UU ITE, di antaranya pasal terkait pencemaran nama baik, penyebaran kabar bohong, ujaran kebencian, dan permusuhan.
”Dalam praktik di kita, UU ITE mengatur tentang pembatasan berekspresi, seperti larangan penghinan dan pencemaran nama baik, tetapi pengaturannya multitafsir. Sementara pendekatan yang digunakan adalah yang paling keras, yakni pidana,” kata Abdul Azis Dumpa, pengacara publik yang juga Deputi Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar.
Dalam praktik di kita, UU ITE mengatur tentang pembatasan berekspresi, seperti larangan penghinan dan pencemaran nama baik, tetapi pengaturannya multitafsir. Sementara pendekatan yang digunakan adalah yang paling keras, yakni pidana.
Oleh karena itu, kata dia, wajar jika pada akhirnya banyak yang menjadi korban kriminalisasi menggunakan UU ITE karena mengkritik. Situasi ini kemudian menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Padahal, kata Dumpa, berbagai laporan hasil pemantauan Komite Hak Asasi Manusia PBB menyebutkan bahwa penerapan hukum pidana hanya boleh diterima dalam kasus-kasus fitnah yang paling serius dan penjara juga tidak pernah dianggap sebagai hukuman yang tepat.
Sementara itu, soal kebijakan terkait moderasi konten, Abdul Azis menilai, pendekatan AS cukup baik. Mereka lebih memilih penetapan prinsip bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakatnya untuk kritis dalam menerima informasi. Informasi yang salah dan benar sama-sama dibuka sehingga masyarakat bisa menilai dan mengetahui mana yang benar.
Di sisi lain, dia juga menilai pembatasan bisa saja dilakukan, dengan diatur dalam undang-undang dengan ketat, tidak multitafsir, sepanjang tidak mengurangi hak atau kepentingan publik, dilakukan secara proporsional, dan juga melalui proses hukum. Selain itu juga ada mekanisme bagi seseorang untuk mengajukan banding atas pembatasan itu.
Dia juga menilai informasi yang salah sebaiknya tidak dipidana, tetapi masuk ranah perdata jika benar dibutuhkan dan korban mengalami kerugian nyata. Pengecualian terhadap hal ini ialah jika sampai pada kesengajaan menghasut untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi serta ancamannya nyata dan spesifik. Dalam kasus ini, pidana bisa diterapkan.
Dado menuturkan, sejauh ini, konten disinformasi ditangani oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun, dia menuturkan bahwa, ke depan, soal siapa dan bagaimana memoderasi konten perlu dipikirkan lebih detail. Apabila dibentuk lembaga khusus, ada persoalan sumber dana dan sumber daya. Sementara, jika hal itu sepenuhnya ditangani oleh masyarakat sipil, akan muncul pertanyaan mengenai kewenangan serta sumber daya masyarakat sipil untuk mendanai operasionalnya.