Dugaan Pidana Ferdy Sambo dan Istri Bisa Bertambah
Kali ini, kuasa hukum keluarga korban Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, melaporkan Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, karena dugaan pidana laporan palsu, ke Bareskrim Polri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuasa hukum keluarga Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, Kamaruddin Simanjuntak, melaporkan dugaan pidana laporan palsu yang dilakukan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi. Dugaan laporan palsu dimaksud, percobaan pembunuhan dan pelecehan seksual oleh Nofriansyah yang dilayangkan Ferdy ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Kamaruddin mendatangi kantor Bareskrim Mabes Polri, Jumat (26/8/2022) siang. Membawa barang bukti berupa surat kuasa dari keluarga Brigadir J serta surat penghentian kedua perkara dari Polres Metro Jaksel, Kamaruddin melaporkan dugaan pembuatan laporan palsu tersebut.
Ferdy Sambo dan istri diduga membuat laporan palsu di Polres Metro Jaksel terkait dengan ancaman pembunuhan, penodongan, dan juga dugaan pelecehan seksual terhadap istrinya. Kedua laporan ini sudah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
”Tetapi, masih terus diulang-ulang (oleh kuasa hukum keluarga Ferdy Sambo) bahwa mereka adalah korban pelecehan seksual. Untuk membuat kepastian hukum, kita laporkan sore ini,” kata Kamaruddin di Gedung Bareskrim Polri.
Dengan diduga telah membuat laporan palsu, Ferdy dan Putri dianggap melanggar Pasal 317, Pasal 318 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka berdua menjadi pihak terlapor dalam kasus ini.
Pada 9 Agustus lalu, Kapolri merilis status Ferdy sebagai tersangka pembunuhan berencana Nofriansyah. Ferdy dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Begitu pula Putri dijerat pasal yang sama, seperti dirilis oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian, 19 Agustus lalu.
Selain itu, menurut rencana, Kamaruddin juga akan melaporkan dugaan tindak pidana lain, yaitu pencurian ponsel, laptop, dan pencurian uang atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM) milik almarhum Brigadir J.
Minta Putri ditahan
Kamaruddin juga meminta agar Putri segera ditahan seusai diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Penahanan itu penting agar Putri tidak berusaha untuk memengaruhi atau dipengaruhi pihak luar.
Ia juga mendukung langkah penyidik Polri yang memeriksa Putri, hari ini, setelah Putri mengajukan izin sakit selama tujuh hari. ”Memang, harus segera diperiksa agar ada kepastian hukum,” ujarnya.
Pemeriksaan terhadap Putri adalah tahapan penyidikan yang cukup penting karena akan menjelaskan terkait dengan motif atau pemicu penembakan terhadap Nofriansyah, di Duren Tiga, Jakarta, atau rumah dinas Ferdy Sambo.
Berdasarkan keterangan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Pabrowo dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, Rabu (24/8/2022), ia menyebut bahwa keterangan Putri akan menentukan motif pembunuhan Brigadir J itu. Sebab, Putri yang mengetahui peristiwa di Magelang, Jawa Tengah, yang disebut menjadi pemicu pembunuhan.
Untuk sementara, dalam rapat itu, Listyo hanya menyebut bahwa motif pembunuhan adalah antara pelecehan seksual atau perselingkuhan. Peristiwa itu dinilai melukai harkat dan martabat keluarga Ferdy Sambo.
Terkait dengan dugaan pelecehan seksual di Magelang, Kamaruddin menyebut, keluarga korban dan pihak kuasa hukum meragukan itu. Tindakan asusila disebut tidak mungkin terjadi, baik di Magelang maupun di Duren Tiga, sebelum penembakan. Dia juga mengaku mengantongi bukti percakapan antara Putri dan adik Brigadir J sebelum insiden Duren Tiga. Putri disebut mengirim pesan bernada ceria sehingga tidak menunjukkan bahwa dia adalah korban pelecehan seksual.
Banding putusan etik
Terkait dengan putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Ferdy Sambo sebagai anggota Polri, Kamaruddin menyebut, keluarga sangat mengapresiasi hal tersebut. Meskipun demikian, dia juga sangat menyayangkan langkah upaya banding yang ditempuh oleh Ferdy.
Walaupun upaya banding putusan etik adalah hak Ferdy, itu disebut sebagai akal-akalan supaya dia tetap menjadi anggota polisi dan tetap mendapatkan hak-hak pensiun.
”Saya ingatkan kepada Komisi Kode Etik Polri supaya tidak menghiraukan itu,” ucap Kamaruddin.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengungkapkan, permohonan banding terhadap putusan etik KEEP yang diajukan Ferdy masih menunggu surat perintah dari Kapolri.
Sesuai dengan Pasal 69 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022, pemohon banding yang dijatuhi sanksi administratif berhak mengajukan banding atas putusan sidang kepada pembentuk KKEP Banding melalui Sekretariat KKEP. Pembentuk KKEP Banding adalah Kapolri.
Pernyataan banding ditandatangani oleh pemohon banding, disampaikan secara tertulis melalui Sekretariat KKEP dalam jangka waktu paling lama tiga hari kerja setelah putusan sidang dibacakan.
Setelah ada pernyataan banding, pemohon banding mengajukan memori kepada pejabat pembentuk KKEP Banding melalui Sekretariat KKEP Banding dalam jangka waktu paling lama 21 hari kerja sejak diterimanya putusan sidang KKEP.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan, ada perubahan terkait dengan mekanisme sidang etik Polri terhadap Ferdy Sambo. Jika biasanya sidang digelar tertutup, kali ini ada sedikit transparansi karena kasusnya sangat menyita perhatian publik. Meskipun demikian, materi persidangan tetap tertutup sesuai dengan aturan sidang etik.
”Jika alasan pemberhentian tidak hormat itu diumumkan juga kepada publik, ini menunjukkan adanya akuntabilitas dalam penanganan perkara ini. Ini jauh lebih maju daripada sidang-sidang etik sebelumnya,” kata Bambang.
Bambang menambahkan, hasil sidang putusan etik KEPP itu nantinya akan berupa rekomendasi. Rekomendasi diberikan kepada Kapolri, tetapi jika yang diberhentikan adalah perwira tinggi berpangkat jenderal bintang dua (inspektur jenderal), yang berwenang untuk memberhentikan adalah Presiden. Presiden akan memberikan keputusan akhir apakah rekomendasi pemberhentian tidak hormat itu akan dilaksanakan atau tidak.
Terkait dengan keputusan tidak hormat, Bambang juga mengapresiasinya. Ini dinilai sebagai upaya Polri untuk mengembalikan citra positif dan juga kepercayaan publik masyarakat terhadap Polri. Adapun bagi internal Polri, putusan etik tegas dengan sanksi paling berat sekaligus mengirimkan pesan bahwa anggota kepolisian harus selalu taat dan patuh pada aturan etik profesi Polri. Mereka yang melanggar patut diberi sanksi tegas sehingga ada efek jera.