Eksistensi bangsa dan negara Indonesia bukan bergantung pada nilai-nilai agama, melainkan kesadaran untuk menjaga empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Masyarakat Indonesia perlu terus diingatkan untuk menjaga eksistensi dalam empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kesadaran berbangsa dan bernegara dalam empat pilar itu wujud terbaik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang setiap tahun dirayakan dan diperingati.
Demikian benang merah dalam Dialog Karya Kebangsaan yang diadakan oleh Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Surabaya, Jawa Timur, Senin (22/8/2022). Dialog menghadirkan pembicara kunci anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sekaligus Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Majelis Sinode GPIB Pendeta Paulus Kariso Rumambi, serta Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim Himawan Estu Bagijo mewakili Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Selain itu, diskusi menghadirkan pembicara lintas agama dan kepercayaan, yakni Ketua II GPIB Pendeta Manuel Essau Raintung, Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya RD Yosef Eko Budi Susilo, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jatim Nyoman Anom Mediana, anggota Sangha Agung Indonesia (Sagin) Biksu Viriyanadi Mahathera, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Jatim Ongky Setio Kuncono, Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Naen Suryono, dan Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Prof Ahmad Zainul Hamdi.
Menurut Said Aqil, amat ironis jika umat beragama di Indonesia masih mempermasalahkan eksistensi dan kebenaran masing-masing. Padahal, sejarah membuktikan bahwa negara agama telah gagal menjawab tantangan dunia.
Justru kebangsaan atau cinta tanah air atau nasionalisme yang diwujudkan dalam keinginan untuk bersatu dalam keberagaman menjadi kekuatan yang dapat menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Said Aqil melanjutkan, Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara terbukti mampu menyatukan Indonesia yang dalam kenyataan merupakan bangsa dengan beragam suku, agama, ras, antargolongan (SARA), bahasa, budaya, dan tradisi. Tepatlah semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau bersatu dalam keberagaman sebagai modal, karakter, dan simbol sosial kehidupan masyarakat.
”Bukan Indonesia tanpa Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan penganut kepercayaan,” ujar mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU ini.
Said Aqil yang juga Rektor Universitas NU Cirebon mengatakan, pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sudah final dan diterima oleh segenap bangsa. Segala keinginan untuk mendongkel salah satu pilar itu harus diwaspadai dan ditangani dengan tegas.
”Pemerintah tidak perlu ragu terhadap yang ingin bikin gaduh. Usir!” kata pengasuh Pondok Pesantren Kyai Haji Aqiel Siroj Kempek, Cirebon, ini.
Pendeta Paulus mengatakan, dialog kebangsaan merupakan kegiatan tahunan GPIB yang bervisi terus-menerus menjadi gereja yang menghadirkan dan mewujudnyatakan damai sejahtera Allah bagi seluruh makhluk.
Bukan Indonesia tanpa Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan penganut kepercayaan. (Said Aqil Siroj)
Kesadaran kebangsaan perlu diperkuat dengan kesadaran iman yang keduanya bersinergi sehingga umat beragama menjadi pancasilais, nasionalis, dan inklusif. Kehidupan umat beragama perlu menghadirkan damai sejahtera sehingga sesama anak bangsa dapat membangun kehidupan yang tulus dan tenteram.
”Diharapkan bangsa dan negara Indonesia berkenan di hati Tuhan sehingga dipakai-Nya untuk menyalurkan berkat bagi bangsa-bangsa lain di dunia,” kata Pendeta Paulus.
Tetap relevan
Pastor Eko mengatakan, ajaran agama tetap relevan untuk memperteguh, memelihara, dan memperkuat ikatan persaudaraan atau kemanusiaan dalam situasi apa pun. Indonesia tidak dapat memelihara kemanusiaan dengan senjata, teknologi, atau ekonomi, tetapi dengan semangat dan keinginan untuk tetap bersatu.
Persatuan dan kesatuan itulah senjata, teknologi, dan ekonomi untuk mendorong kemajuan dan pemajuan kehidupan masyarakat.
Adapun menurut Biksu Viriyanadi, semua agama dan kepercayaan di Indonesia pada prinsipnya sama, yakni tiada yang mengajarkan kebencian, apalagi membunuh sesama umat dan makhluk hidup.
Perbedaannya ialah bahasa atau penyampaian kepada umat. Perbedaan itu keniscayaan dan menjadi keindahan dalam keberagaman yang secara esensial mengagungkan kemanusiaan.
Naen sependapat dan mendukung pernyataan bahwa kebangsaan atau nasionalisme merupakan bagian dari iman. Pancasila dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan kesatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial adalah tuntunan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Pancasila bisa dipandang sebagai agama bagi penghayat kepercayaan,” katanya.