Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat dan Korupsi Kembali Muncul di Pidato Presiden
Pemerintah tengah menyiapkan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai wujud keseriusan dalam menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat absen, akhirnya persoalan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu dan pemberantasan korupsi kembali disinggung dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo. Penuntasan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu serta pemberantasan korupsi menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Di hadapan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2022), Presiden Jokowi menyampaikan bahwa penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. Hal itu diwujudkan dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang saat ini sedang dalam proses pembahasan. Selain itu, tindak lanjut atas temuan Komisi Nasional HAM juga masih terus berjalan.
”Keppres (Keputusan Presiden) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tada tangani,” kata Jokowi.
Masalah penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu sama sekali tak disinggung dalam pidato kenegaraan pada tahun 2020 dan 2021. Pemberantasan korupsi juga sama sekali tak disebut dalam pidato kenegaraan tahun 2021. Pada tahun 2020, hanya ada dua kalimat terkait pemberantasan korupsi yang disampaikan Presiden Jokowi di hadapan Sidang Tahunan MPR.
Sidang Tahunan MPR yang digelar bersamaan dengan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dihadiri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-9 Hamzah Haz, Wakil Presiden ke-11 Boediono, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, serta semua menteri di Kabinet Indonesia Maju dan semua unsur pimpinan partai politik.
Presiden menambahkan, perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat akan terus diperkuat. Ia juga menjamin pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan, serta kelompok marjinal. ”Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu. Rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin oleh negara, khususnya oleh aparat penegak hukum,” kata Jokowi.
Selain itu, Jokowi juga mengungkapkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama. Polri, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk terus bergerak. Sejumlah kasus korupsi besar, seperti di perusahaan asuransi Jiwasraya dan Asabri serta perusahaan maskapai Garuda Indonesia, berhasil dibongkar.
Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu. Rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin oleh negara, khusunya oleh aparat penegak hukum.
Jokowi mengklaim, pembenahan total di sejumlah badan usaha milik negara itu telah dimulai. Penyelamatan aset negara yang tertunda, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), juga terus dikejar dan sudah menunjukkan hasil. ”Skor indeks persepsi korupsi dari Transparency International naik dari 37 menjadi 38 di tahun 2021. Indeks perilaku antikorupsi dari BPS (Badan Pusat Statistik) juga meningkat, dari 3,88 ke 3,93 di tahun 2022,” ucapnya.
Komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan isu korupsi merupakan yang pertama kali diucapkan Presiden dalam pidato kenegaraannya. Dalam momentum yang sama pada 2020 dan 2021, pidato Jokowi lebih banyak menyinggung soal pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
Pada 2021, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, isu pelanggaran HAM berat dan korupsi tak disinggung dalam pidato kenegaraan karena Presiden ingin masyarakat bisa bersatu melawan pandemi Covid-19. Meski tidak dibahas dalam pidato, bukan berarti komitmen melaksanakan agenda-agenda besar itu berkurang.
Padahal, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan salah satu poin agenda prioritas Jokowi sejak berkontestasi dalam Pilpres 2014. Dalam dokumen visi-misi dan program aksi Jokowi, yakni Nawacita, salah satu poin yang disebut adalah memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, hingga saat ini belum semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa dituntaskan.
Peran perempuan
Perhatian pada isu HAM dan demokrasi juga disampaikan Ketua DPR Puan Maharani. Saat berpidato, Puan mengungkapkan bahwa dalam negara demokratis, ada ruang partisipasi rakyat yang harus dijamin oleh negara. Partisipasi yang dimaksud terkait dengan hak setiap warga dalam mengartikulasikan hak politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekonomi.
”Bahkan juga memberikan ruang artikulasi kaum perempuan dalam segala bidang. Menyertakan perempuan dalam setiap jabatan bukan sebagai kebijakan afirmatif, tetapi merupakan kesadaran atas penghargaan harkat dan martabat manusia. Perempuan Indonesia telah banyak aktif dan mengambil peran yang strategis di segala bidang: ekonomi, sosial, politik, lingkungan hidup, olahraga, ilmu pengetahuan, riset, dan lain sebagainya,” ujar Puan yang disambut tepuk tangan dari beberapa tokoh perempuan, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Begitu juga Presiden Jokowi.
Puan mengibaratkan laki-laki dan perempuan sebagai dua sayap burung. Jika kedua sayap sama kuat, burung yang dimaksud dapat terbang hingga ke puncak tertinggi. Namun, jika salah satu sayap itu patah, burung tak dapat terbang sama sekali.
”Inilah semangat yang juga harus kita tanamkan bersama dalam membangun kehidupan demokrasi di Indonesia, di mana perempuan dan laki-laki dalam harkat, martabat, kemajuan, dan kesejahteraaan yang sama,” kata Puan.
Tunggu laporan
Ditemui seusai Sidang Tahunan MPR, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengapresiasi pidato Jokowi yang menyampaikan soal penegakan hukum dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Beberapa tahun terakhir, banyak kritik terhadap Presiden karena tidak memasukkan hal tersebut dalam pidato kenegaraannya.
Menurut Taufik, upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mulai terlihat. Hal itu tampak dari penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ataupun penandatanganan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
”Tentu kami menunggu laporan dari mitra Komisi III, terutama Kementerian Hukum dan HAM, untuk mengetahui apa langkah pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, apakah mampu untuk menghasilkan keadilan, mampu untuk memenuhi hak korban,” kata Taufik.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi penegasan Presiden soal penegakan hukum tanpa pandang bulu. ”Mudah-mudahan itu suatu kesan yang bisa dimaknai oleh seluruh aparat penegak hukum, termasuk oleh peradilan, bahwa kita menginginkan hukum yang tegak, tidak ada diskriminasi, termasuk juga tidak ada rekayasa,” ujarnya.