MPR tengah menggodok PPHN yang di dalamnya mencakup, antara lain, soal keberlanjutan atau penuntasan IKN. Di sisi lain ada pendapat bahwa penggunaan konvensi tidak pas untuk PPHN karena tak memiliki dasar hukum.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat sedang menggodok Pokok-Pokok Haluan Negara dan di dalamnya juga akan dimasukkan bahwa pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN yang baru di Kalimantan Timur harus selesai sampai tuntas siapa pun presidennya. Hal ini dinilai akan menjamin keberlanjutan IKN meskipun Presiden Joko Widodo menyelesaikan masa jabatannya di tahun 2024 mendatang.
”Akan kami masukkan di PPHN tentang IKN ini harus selesai sampai tuntas siapa pun presidennya. Jadi, diperlukan keberlanjutan yang dipatuhi oleh setiap pengganti kepemimpinan dalam program-program besar yang sedang dilakukan Pak Presiden Jokowi,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo kepada pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Ia pun kembali menegaskan bahwa hasil kajian Badan Pengkajian MPR telah disepakati bahwa payung hukum dari PPHN merupakan konvensi ketatanegaraan sehingga tak perlu amendemen UUD 1945. ”Konvensi ketatanegaraan akan dilakukan setelah sidang paripurna awal September (2022). Kita bentuk PAH dulu, panitia ad hoc,” ujar Bambang.
Ditanya terkait respons para pimpinan lembaga negara, Bambang menuturkan bahwa ada keinginan agar proyek-proyek besar itu memberikan manfaat bagi rakyat dalam jangka panjang dan tidak kemudian menjadi mangkrak ketika terjadi pergantian pemimpin. ”Jadi, kita tidak ingin juga setiap ganti pemimpin ganti haluan,” kata Bambang.
Bambang mengatakan hal tersebut seusai pertemuan Presiden Jokowi dengan para pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Negara. Selain Bambang Soesatyo, pimpinan lembaga tinggi negara yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyala Mattalitti, Ketua MA Syarifuddin, Ketua MK Anwar Usman, Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar, dan Ketua BPK Isma Yatun.
Bambang Soesatyo menuturkan, Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan bahwa ketika ada pertemuan parlemen sedunia, banyak ketua parlemen yang menanyainya apakah ada jaminan proyek IKN dapat tetap berlangsung setelah Presiden Jokowi menyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden di tahun 2024. ”Tadi, Bapak Presiden (Jokowi) menyampaikan, ’Kenapa tidak? Kan, sudah ada undang-undangnya’,” kata Bambang.
Bambang menuturkan, pada pertemuan tersebut, dirinya menyampaikan bahwa para duta besar yang diterima atau ditemuinya juga banyak mempertanyakan soal jaminan keberlanjutan IKN tersebut. Para duta besar tersebut menyinggung soal kepindahan kedutaan atau rumah diplomatnya di IKN.
”Saya bilang, kalau UU, Pak Presiden, ini gampang sekali di-judicial review oleh pengganti kalau nanti tidak sejalan. (UU) juga mudah ditorpedo dengan perppu sehingga tidak ada jaminan (keberlanjutan IKN). Sementara kita butuh waktu 15-20 tahun untuk membangun ibu kota. Artinya, empat periode masa jabatan presiden,” kata Bambang.
Saat dimintai tanggapan, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menuturkan bahwa permasalahannya, konvensi itu adalah kebiasaan ketatanegaraan yang telah berlaku dan telah dilakukan berulang-ulang.
”Dasar hukumnya tidak ada untuk PPHN. Menurut saya, kalau tujuannya untuk keberlanjutan (pembangunan) IKN, apakah solusinya PPHN? Kan, tidak karena PPHN tidak punya dalil konstitusionalnya,” tuturnya kepada Kompas, Jumat (12/8/2022), di Jakarta.
Dasar hukumnya tidak ada untuk PPHN. Menurut saya, kalau tujuannya untuk keberlanjutan (pembangunan) IKN, apakah solusinya PPHN? Kan, tidak karena PPHN tidak punya dalil konstitusionalnya.
MPR juga terkesan memaksakan PPHN hanya untuk kepentingan proyek pembangunan. Padahal, sejauh ini sudah ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. ”Aneh kalau tidak percaya diri dengan undang-undang,” ujar Feri.
Kendati konvensi dilihat sebagai kebiasaan yang banyak digunakan, lanjut Feri, semestinya tidak digunakan untuk PPHN. Konvensi konstitusi pun dinilai lemah dasar hukumnya serta tidak ada di hierarki peraturan Indonesia.
”Untuk PPHN, dalilnya harus jelas ada di UUD atau dalam UU. Waktu buat UU IKN dan UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), apa enggak pernah dipikirkan? Masak muncul tiba-tiba dari langit?” tutur Feri.