Ditetapkannya Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J menjadi momentum bagi Polri melakukan konsolidasi di internal. Sebab, menurut Mahfud MD, Polri berutang banyak kepada publik pada kasus ini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Sikap Kepolisian Negara RI yang akhirnya mengungkap pelaku pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan konsolidasi di internal Polri. Hal ini sekaligus untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap Polri.
Saat diperiksa sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat untuk pertama kalinya, Kamis (11/8/2022), Inspektur Jenderal Ferdy Sambo mengaku, alasannya melakukan pembunuhan itu karena tersulut emosi lantaran perilaku Nofriansyah terhadap istrinya, Putri Candrawathi. Dalam pemeriksaan yang berlangsung dari pukul 11.00 hingga pukul 18.00 di Markas Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, itu Ferdy mengaku, perbuatan Nofriansyah tersebut telah merusak kehormatan keluarga.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian mengatakan, perilaku Nofriansyah yang membuat Ferdy emosi terjadi saat Nofriansyah dan Putri berada di Magelang, Jawa Tengah. Perilaku itu, menurut Ferdy, melukai harkat dan martabat keluarga.
Atas dasar itu, Ferdy memanggil ajudannya yang lain, Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan Brigadir Ricky Rizal, untuk merencanakan pembunuhan terhadap Nofriansyah. Baik Eliezer maupun Ricky juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan ini.
”Tersangka FS (Ferdy) memanggil tersangka RR (Ricky), RE (Eliezer), untuk merencanakan pembunuhan terhadap almarhum Yosua,” kata Andi seusai memeriksa Ferdy.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menambahkan, penyidik Bareskrim juga memeriksa Eliezer, Ricky, dan KM atau Kuat Ma’ruf yang merupakan pekerja di rumah Ferdy. Sesuai dengan perintah Kepala Polri, tim khusus Polri memeriksa para tersangka secara cepat sambil berkoordinasi dengan kejaksaan.
”Kami sudah berkoordinasi dengan kejaksaan agar berkas perkara segera dilimpahkan dan selanjutnya kasus juga tidak terlalu lama (lagi) digelar di persidangan,” katanya.
Adapun terkait dengan motif pembunuhan, menurut Dedi, akan diungkap di persidangan nanti. ”Karena ini materi penyidikan dan semua nanti akan diuji di persidangan. Insya allah nanti akan disampaikan ke persidangan,” katanya.
Selain itu, tambah Dedi, Kapolri juga secara resmi menghentikan Satuan Tugas Khusus Polri hasil bentukan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian pada 2017. Ferdy tercatat pernah menjadi ketua satgas itu. Dahulu Satgassus Polri atau Satgassus Merah Putih dibentuk untuk membongkar kasus-kasus besar.
Selain para tersangka, Polri juga memeriksa 56 personel kepolisian yang terkait dengan pembunuhan ini. Dari 56 personel yang diperiksa, ada 31 orang yang sudah dinyatakan melanggar etik dengan dugaan bertindak tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara untuk kasus ini. Sebanyak 11 orang di antaranya ditempatkan di tempat khusus.
Kapolri harus melakukan pembenahan ke dalam. Polri berutang banyak kepada publik, karena tanpa dukungan publik berat untuk melawan ke dalam.
Menata manajerial
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di acara bincang-bincang ”Satu Meja The Forum” yang disiarkan di Kompas TV, Rabu (10/8/2022), mengatakan, penetapan Ferdy sebagai tersangka tidak akan mengganggu konsolidasi internal kepolisian. Seharusnya penegakan hukum itu dijadikan momentum untuk menata manajerial di kepolisian. Penataan itu dibutuhkan agar jajaran Polri seirama dan tidak membuat kegiatan di luar keamanan.
”Saya kira Kapolri dan pimpinan Polri lebih tahu masalah apa yang dihadapi karena yang merasakan adalah orang-orang di dalam,” kata Mahfud dalam acara bincang-bincang yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Selain Mahfud, acara itu juga dihadiri Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, anggota Komisi III DPR Taufik Basari, dan Guru Besar Universitas Bhayangkara Hermawan Sulistyo.
Mahfud juga menilai bahwa kesempatan itu sebaiknya digunakan oleh Polri untuk berkonsolidasi. Pihak-pihak yang semula membela Sambo kini sudah mulai berbalik arah. Pihak-pihak itu bisa diajak kembali bergabung dalam satu visi kebijakan Kapolri.
”Konsolidasikan diri di internal, Kapolri harus melakukan pembenahan ke dalam. Polri berutang banyak kepada publik karena tanpa dukungan publik berat untuk melawan ke dalam,” ungkap Mahfud.
Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi internasional "Penerapan Prinsip-prinsip HAM Memperkuat Profesionalisme dan Akuntabilitas Polri" yang diselenggarakan secara daring, Kamis (10/2/2022).
Taufik Basari mengatakan, permasalahan hukum yang harus ditangani Kapolri kemarin tidak mudah. Namun, Listyo akhirnya bisa menunjukkan jiwa kepemimpinannya terhadap korps Bhayangkara. Berbagai halangan dalam pengungkapan perkara berhasil disingkirkan. Langkah itu jadi momentum untuk konsolidasi internal secara cepat.
”Bola (konsolidasi internal) itu ada di tangan Kapolri dan sekarang tidak ada yang bisa merebut itu,” kata Taufik.
Hermawan juga sependapat dengan Mahfud dan Taufik. Jika sebelumnya Listyo tak mau bertindak dengan cepat, serangan balik dari kelompok yang membela Ferdy bisa saja terjadi. Namun, karena ketegasan dan pilihan sikap dari Listyo, sekarang seluruh institusi berseragam coklat sudah satu sikap. Menurut dia, dengan langkah itu, kecil kemungkinan ada pihak yang akan melawan.
”Sekarang posisi polisi semuanya sudah under control (terkendali). Semua sudah satu komando di bawah kepemimpinan Kapolri. Apalagi dengan adanya simbolisasi saat konferensi penetapan Ferdy sebagai tersangka. Kapolri didampingi jajaran pimpinan di belakang, itu merupakan simbol dan marwah dari institusi kepolisian,” terang Hermawan.
Dedi Prasetyo juga menegaskan bahwa saat ini seluruh elemen Polri setia pada pimpinan tertinggi, yaitu Kapolri. Seluruh jajaran Polri tetap tegak lurus pada prinsip ”Satya Haprabu” yang berarti setia pada pimpinan negara. Pasca-penetapan Ferdy sebagai tersangka, Polri berkomitmen mengevaluasi secara menyeluruh dampak dari kasus tersebut. Baik dari kebijakan bidang operasional, pelayanan publik, maupun pengawasan personel Polri akan dievaluasi secara menyeluruh mulai dari Mabes Polri, polda, polres, dan polsek di seluruh Indonesia.
”Kapolri selalu mendengarkan saran dan kritik dari semua pihak. Setelah ini beliau akan mengambil langkah strategis. Dia akan mengevaluasi secara menyeluruh dengan titik fokus pada transformasi bidang pengawasan. Kami juga ingin meningkatkan kepercayaan publik,” jelasnya.
Kepercayaan publik
Hermawan menilai, kasus ini akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Untuk itu Polri perlu meningkatkan kinerja, pembenahan sistem, dan budaya kerja untuk merebut kembali kepercayaan publik. Menurut dia, pembenahan kultur ini menjadi susah karena ketika ada kecenderungan personel kepolisian yang melakukan kesalahan untuk menutup-nutupinya. Ini yang seharusnya dibuka secara transparan kepada publik dalam penanganan perkara.
”Saya juga berpesan kepada personel Polri, mereka harus menggunakan diskresi ketika ada perintah atasan yang menyimpang. Jangan ikuti perintah itu jika melawan hukum,” tegas Hermawan.
Kasus ini akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Untuk itu, Polri perlu meningkatkan kinerja, pembenahan sistem, dan budaya kerja untuk merebut kembali kepercayaan publik.
Penggunaan diskresi ini, lanjutnya, harus disosialisasikan ke personel Polri. Apalagi, program Kapolri saat ini menggunakan tagline Polri Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan. Prinsip transparansi itu harus diterapkan dalam penanganan kasus ini. Hal ini berkesinambungan dengan transformasi Polri yang lebih demokratis.
Dedi menilai, transformasi di bidang pengawasan personel Polri akan terus ditingkatkan. Dia menyadari pembenahan budaya di internal polisi memang tidak mudah. Namun, Kapolri telah mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat untuk mengkaji ulang kebijakan yang telah dijalankan, termasuk usulan dari pakar tentang penerapan diskresi atau menolak perintah atasan yang berpotensi melanggar hukum.
”Sudah ada peraturan Kapolri, bawahan wajib menolak perintah atasan apabila diminta melakukan hal yang melanggar hukum, norma agama, sosial, dan sebagainya,” tegas Dedi.