Gagasan Penempatan TNI di Kementerian Berpotensi Merusak Demokrasi
Gagasan membuka jabatan sipil kepada anggota TNI dinilai mengembalikan dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru. Semestinya praktik yang merusak demokrasi seperti ini tidak diulangi.
Oleh
NINA SUSILO, EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite politik diharap menjaga semangat reformasi yang menegakkan kembali demokrasi di Indonesia. Usulan memasukkan perwira TNI/Polri pada jabatan di kementerian/lembaga dinilai seakan mengembalikan dwifungsi TNI seperti di masa Orde Baru.
Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI terutama pasal yang memungkinkan perwira TNI menduduki jabatan di kementerian/lembaga. Dengan demikian, katanya dalam diskusi di Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/8/2022), perwira TNI AD tidak perlu berebut jabatan. Sebab, mereka bisa berkarier di luar institusi militer. Apalagi, ketentuan ini sudah berlaku bagi perwira Polri.
”Jika benar diakomodasi dalam revisi UU TNI, (usulan ini) jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru,” kata Peneliti Senior Imparsial Al Araf, Kamis (11/8/2022) di Jakarta.
Dia mengingatkan, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok prodemokrasi pada tahun 1998. Karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan-pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru.
Peghapusan Dwifungsi ABRI (kini TNI) tahun 1998, lanjut dia, bertujuan untuk mengoreksi penyimpangan fungsi dan peran tentara yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian. Selain itu, hal ini dilakukan untuk mendorong TNI yang lebih profesional.
Kendati praktik dwifungsi TNI berupa penempatan anggota tentara aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara, maupun pemerintah daerah dihapus, sebenarnya terdapat pengecualian untuk jabatan-jabatan yang berkaitan dengan fungsi pertahanan. Anggota TNI, sesuai Pasal 47 Ayat 2 UU TNI, tetap bisa menduduki jabatan di Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.
Jika benar diakomodasi dalam revisi UU TNI, (usulan ini) jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru.
Karena itu, kata Araf yang juga Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, semestinya elite politik tidak mengusulkan untuk menghidupkan kembali praktik politik era otoritarian. Usulan tersebut hanya akan merusak dinamika internal TNI serta merusak kehidupan politik demokrasi.
”Jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira nonjob di dalam TNI, upaya lain untuk menyelesaikan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain, seperti melalui perbaikan proses perekrutan prajurit, pendidikan, kenaikan karier, dan kepangkatan,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, sudah seharusnya TNI fokus menjadi alat pertahanan yang profesional. Ini semakin mendesak di tengah perkembangan generasi perang menjadi generasi perang keempat yang kompleks dan menuntut adanya fokus dan spesialisasi prajurit TNI untuk menghadapi ancaman spesifik.
Tuduhan penghidupan dwifungsi ABRI juga disampaikan Muhamad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dalam keterangan persnya, YLBHI menilai, pernyataan Luhut semakin memperjelas bahwa ada upaya serius untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Selama ini, telah banyak kebijakan rezim Jokowi yang menunjukkan gejala akan kembalinya rezim otoritarianisme Orde Baru. Seperti upaya melakukan militerisasi sipil melalui berbagai kebijakan.
”Misalnya, pengangkatan TNI aktif Kepala BIN Sulawesi Tengah sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, serta pengangkatan Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan TNI yang mengakali peraturan perundang-undangan,” kata Isnur.
Usulan revisi UU TNI yang seiring dengan menguatnya gejala otoritarianisme rezim Jokowi sangat membahayakan demokrasi sebagai buah reformasi. Tidak hanya itu, pernyataan LBP sebagai pejabat negara merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan pengingkaran konstitusi. Tugas pokok dan fungsi TNI telah diatur secara tegas dalam konstitusi beserta peraturan perundang-undangan, sebagai pertahanan negara.
Isnur mengatakan, jika alasan efisiensi TNI AD yang dimaksud adalah karena banyak bintang-bintang yang tidak perlu di lingkungan TNI AD, solusinya bukanlah ditempatkan pada jabatan sipil, melainkan pembenahan sistem dan kaderisasi di tubuh TNI AD untuk mewujudkan TNI yang profesional. ”Hentikan upaya mengembalikan dwifungsi TNI, hentikan pengangkatan pejabat kepala daerah dari TNI,” kata Isnur.
Pengajar politik UPN Veteran Jakarta Jerry Indrawan juga tak sepakat bila perwira TNI ditempatkan di kementerian/lembaga secara umum. Sebab, sesungguhnya sudah ada pengaturan penempatan anggota TNI di kementerian/lembaga yang berkaitan dengan pertahanan di UU TNI.
”Pemberdayaan SDM harus based on merit system, bukan pengisi kekosongan semata. Bukan karena nggak ada jabatan di militer/polisi terus diberdayakan di kementerian/lembaga,” tuturnya.
Kalaupun diperlukan, lanjut Jerry, diterbitkan Peraturan Panglima TNI atau Peraturan Kepala Polri yang mengatur secara jelas siapa saja yang boleh menjabat di kementerian/lembaga.
Anton Aliabbas, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Selasa (9/8/2022), mengatakan, ide revisi UU TNI perihal ruang jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif memang sudah lama digaungkan. Hal ini mengingat ada jabatan yang memang dapat disandang prajurit aktif seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Keamanan Laut dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Sementara Pasal 47 Ayat 2 UU TNI sudah mengunci hanya 10 pos yang dapat ditempati prajurit aktif, yakni Kemenko Polhukam, Kemenhan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, ide revisi pasal tersebut memang dapat diterima.
”Tapi, tentunya revisi tersebut tidak menjadi ruang terbuka bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi pokok TNI,” tandas Anton. Ia mengatakan, untuk itu, pengaturan ruang jabatan dan mekanisme yang rinci dibutuhkan. Hal ini menjadi penting agar kekhawatiran bahwa tuduhan kembalinya dwifungsi TNI dapat dihindari.
Senada, Anton mengingatkan, perluasan penugasan prajurit untuk tugas sipil dalam jangka panjang akan dapat mempengaruhi profesionalisme TNI. Tugas dan fungsi pokok militer sudah jelas. Selain itu, pengaturan rinci dibutuhkan agar perluasan tugas militer tidak mengganggu tata kelola karir ASN sipil. ”Di PP 17/2020 tentang manajemen PNS sudah ada aturan tentang peluang perwira TNI untuk menduduki jabatan sipil, selain yang diijinkan di UU TNI. Tapi, harus lepas dulu status militer aktif dan harus sudah mengikuti serangkaian proses seleksi jabatan secara terbuka,” kata Anton.
TNI diakui memiliki masalah terkait banyaknya perwira dengan kepangkatan tertentu yang mengganggur (non job). Tentunya hal ini harus dibenahi. Kemhan dan Mabes TNI serta tiga matra seharusnya segera menata program pemisahan dan penyaluran dalam tata kelola karir prajurit. Memperluas ruang jabatan militer pada pos sipil hanyalah akan menyiptakan masalah baru. ”Pola karier ASN sipil terganggu, dan berpotensi untuk menimbulkan kecemburuan di internal institusi militer,” kata Anton.