Kaji Payung Hukum PPHN, MPR Bentuk Panitia ”Ad Hoc”
Panitia ”ad hoc” akan menindaklanjuti hasil kajian dari Badan Pengkajian MPR untuk mencari payung hukum PPHN. Penetapan pembentukan panitia ”ad hoc” akan diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR, awal September mendatang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat membentuk panitia ad hoc untuk menggodok payung hukum Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN. Pilihannya, PPHN ditetapkan melalui undang-undang atau konvensi ketatanegaraan. Pilihan mengamendemen konstitusi tidak direkomendasikan karena dikhawatirkan akan disisipi kepentingan politik.
Sebelumnya, pada 7 Juli 2022, pimpinan MPR sepakat untuk tidak mengamendemen konstitusi dalam membentuk PPHN. Kesepakatan itu dicapai setelah pimpinan MPR menerima laporan dari Badan Pengkajian MPR.
Kesepakatan tersebut kemudian dibawa dalam rapat gabungan antara pimpinan MPR dan pimpinan fraksi partai politik di MPR dan kelompok DPD di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/7/2022). Dalam rapat tertutup itu, disepakati untuk membentuk panitia ad hoc. Panitia ad hoc ini terdiri dari 10 pimpinan MPR dan 45 anggota dari fraksi-fraksi parpol di MPR dan DPD.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, panitia ad hoc akan menindaklanjuti hasil kajian dari Badan Pengkajian MPR untuk mencari payung hukum PPHN. Penetapan pembentukan panitia ad hoc akan diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR pada 5 September atau 7 September mendatang.
”Sebagai alat kelengkapan MPR, (panitia ad hoc) akan mencari bentuk hukum, apakah bentuknya adalah undang-undang atau kita melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa lebih mengikat dan lebih tinggi kedudukannya,” ujar Bambang.
Adapun konvensi ketatanegaraan yang dimaksud akan melibatkan pimpinan semua lembaga tinggi negara, mulai dari DPR, MPR, DPD, lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung.
Bambang menyampaikan, Badan Pengkajian MPR menemukan suatu terobosan baru untuk menghindari adanya amendemen konstitusi dalam membentuk PPHN. Dengan berpijak pada Pasal 100 Ayat 2 Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR, Ketetapan MPR dapat diterbitkan melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam ataupun keluar.
”Inilah yang tadi laporan daripada Badan Pengkajian MPR diterima secara bulat oleh rapat gabungan yang terdiri dari sembilan fraksi plus perwakilan kelompok DPD,” ujar Bambang.
Menurut bambang, amendemen konstitusi tak memungkinkan karena dinamika politik saat ini cukup tinggi. Untuk itu, semua pihak sepakat bahwa pada periode ini tidak akan dilakukan amendemen konstitusi.
Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, kerja Badan Pengkajian MPR sudah selesai setelah memberikan hasil kajian substansi dan payung hukum PPHN. Pada prinsipnya, pihaknya tidak merekomendasikan pembentukan PPHN melalui amendemen konstitusi.
”Itu kayak membuka kotak pandora berbagai macam kepentingan masuk. Makanya, kami tutup. Forbidden untuk amendemen saat ini. Maka dari itu, bagaimana kalau dikaji dengan sistem konvensi ketatanegaraan atau ke undang-undang? Nanti, biar panitia ad hoc yang memutuskan,” ucap Djarot.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di MPR, TB Hasanuddin, pun tidak sepakat apabila PPHN dibentuk dengan mengamendemen konstitusi. Lagi pula, amendemen UUD 1945 tidak memungkinkan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
”Akhirnya atau ujung-ujungnya, maka amendemen yang sekadar memasukkan PPHN juga tak mungkin terjadi daripada berkembang ke hal-hal yang tidak pada tempatnya, seperti tiga periode jabatan presiden-wakil presiden, kemudian peran-peran yang lain,” kata Hasanuddin.
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mengungkapkan, dalam rapat gabungan tadi, ada salah satu fraksi yang menyampaikan masih terbukanya untuk amendemen khusus PPHN. Namun, ia enggan membeberkan salah satu fraksi tersebut.
”Jadi, intinya panitia ad hoc itu bekerja untuk menyiapkan materi dari Badan Pengkajian MPR untuk dibawa ke sidang tahunan MPR tentang PPHN. Nanti bentuknya apa, apakah konvensi ketatanegaraan atau Tap MPR atau yang lain, ya nanti karena pengambilan keputusan itu yang tertinggi adalah sidang paripurna MPR,” kata Yandri.