Pencalonan Presiden, Kombinasi Ketua Umum Parpol-Figur Populer Diminati Publik
Hasil survei Akar Rumput Strategic Conculting menunjukkan, kombinasi pasangan capres-cawapres dari unsur ketua umum atau pimpinan parpol dengan figur populer diminati 65,1 persen responden.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kombinasi pasangan calon presiden-wakil presiden berlatar belakang ketua umum atau pimpinan partai politik dengan figur populer paling banyak diminati publik. Namun, kombinasi itu pada akhirnya tetap bergantung pada kesepakatan antara parpol dan parpol koalisi.
Hasil survei Akar Rumput Strategic Conculting menunjukkan, kombinasi pasangan calon presiden-wakil presiden dari unsur ketua umum atau pimpinan parpol dengan figur populer di survei paling banyak disukai publik, yakni mencapai 65,1 persen.
Sebaliknya, jika capresnya berasal dari figur populer, sementara cawapresnya ketua umum atau pimpinan parpol, hanya 60 persen responden yang setuju.
Adapun pasangan capres-cawapres yang keduanya berasal dari ketua umum atau pimpinan parpol hanya disetujui oleh 50,2 persen responden. Sementara jika pasangan calon presiden-wakil presiden keduanya berasal dari latar belakang figur populer di survei, sebanyak 63,4 persen publik menyetujui kombinasi tersebut.
”Duet figur ketua umum dan figur populer banyak diharapkan oleh publik sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di 2024,” kata peneliti ARSC, Bagus Balghi, saat Rilis Survei Opini Publik, Titik Tengah Demokrasi Indonesia Menuju Pemilu 2024, Rabu (20/7/2022).
Survei mengambil sampel sebanyak 1.225 responden yang dilakukan pada 21 Juni hingga 5 Juli 2022. Metode pengumpulan data melalui wawancara telepon menggunakan kuesioner terstruktur dengan margin of error 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Turut menjadi pembicara dalam rilis hasil survei tersebut anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Maman Abdurrahman; Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa; anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Diah Pitaloka; Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra; dan Ketua Perkumpulan Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho.
Menurut Maman, figur populer yang sebagian besar merupakan kepala daerah yang tidak bergabung dengan parpol cenderung lebih bebas bergerak untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Itu karena mereka tidak dibebani tanggung jawab internal parpol. Selain itu, publik juga terkadang masih memiliki anggapan negatif terhadap kader parpol.
”Seharusnya figur-fugur populer nonpartai dari jauh hari sudah masuk dan berkontribusi untuk partai kalau mau membangun narasi besar memperbaiki citra partai. Jangan terkesan katika mau maju, para calon sibuk mencari partai,” ujarnya.
Maman mengatakan, pada umumnya ada tiga hal yang dipertimbangkan dalam mengusung calon presiden-wapres dan kepala daerah. Preferensi pertama ialah elektabilitas berdasarkan survei yang menempati porsi 20 persen. Kemudian dukungan dari parpol berkontribusi sebanyak 40 persen, terkahir dukungan rakyat saat pemungutan suara sebanyak 40 persen.
Ia pun sepakat dengan mayoritas publik yang menginginkan kombinasi pasangan calon, capres-cawapres, berlatar ketua umum parpol dengan figur populer. Kombinasi ini dinilai bisa lebih cepat beradaptasi dengan situasi politik sehingga tidak perlu waktu lama untuk membangun konsensus dengan parpol di eksekutif dan legislatif. Sementara jika capres berasal dari tokoh populer, pada akhirnya setelah terpilih harus sedikit menggeser idealismenya karena harus membangun kompromi politik dengan aktor politik lain.
”Kombinasi ketum parpol dengan tokoh populer bisa menjadi solusi. Sebab, jika presiden terpilih dari tokoh populer tidak bisa langsung bekerja maksimal karena harus melakukan konsolidasi politik yang biasanya perlu waktu satu hingga dua tahun,” kata Maman.
Pada umumnya, parpol akan membuat kombinasi pasangan capres-cawapres yang dapat membawa manfaat elektoral bagi partai dan bisa bekerja maksimal setelah terpilih.
Saan menilai, ketokohan individu menjadi penting di era pemilihan langsung. Namun, mereka tetap butuh dukungan parpol untuk maju sebagai capres-cawapres karena tidak ada jalur independen. Pada umumnya, parpol akan membuat kombinasi pasangan capres-cawapres yang dapat membawa manfaat elektoral bagi partai dan bisa bekerja maksimal setelah terpilih.
Nasdem dan sebagian besar parpol lain perlu berkoalisi agar dapat memenuhi syarat minimal ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden sebanyak 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di Pemilu 2019. Oleh sebab itu, kombinasi akan sangat bergantung pada kesepakatan di antara parpol-parpol koalisi. ”Semua harus bisa diterima oleh mitra koalisi,” katanya.
Menurut Diah, parpol akan mengalkulasi peluang kemenangan dari kombinasi pasangan capres-cawapres yang diajukan. Hal ini membuat semua parpol hingga saat ini masih belum menentukan pilihan sekalipun nama-nama yang unggul dalam survei tidak banyak berubah.
Meski demikian, ia menilai, pemimpin tak cukup hanya bermodal popularitas. Capres-cawapres harus memiliki kapasitas dalam menyelesaikan berbagai tantangan bangsa dan bisa bekerja dengan berbagai elemen politik untuk menopang kepemimpinan selama menjabat.
Herzaky mengatakan, Demokrat berharap ada lebih dari dua pasang capres-cawapres. Hal ini akan meningkatkan peluang bagi putra-putri terbaik bangsa untuk maju sekaligus memberikan pilihan yang lebih banyak bagi rakyat untuk memilih capres-cawapres. Polarisasi yang pernah terjadi pada Pemilu 2019 pun bisa berkurang.