Ketika Sekolah Staf Presiden ala Kantor Staf Presiden Diadakan...
Munculnya Sekolah Staf Presiden selain diapresiasi, juga dikhawatirkan memunculkan persaingan untuk membuat sekolah serupa di lingkungan Istana seperti sekolah Sekretariat Negara atau sekolah Sekretaris Kabinet.
Baru-baru ini, Kantor Staf Presiden atau KSP membuat sekolah berdurasi lima hari yang dinamai Sekolah Staf Presiden atau SSP. Program ini hanya akan dibuka Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Infonya, Moeldoko sudah melapor kepada Presiden. Dan, Presiden Jokowi, katanya, memberikan apresiasi dukungan.
Program sekolah model apakah ini? Inilah sekolah pertama dari KSP yang mencoba meniru program kursus singkat kepemimpinan yang digelar di Gedung Putih sejak Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson pada tahun 1964. Nama programnya adalah Class of White House Fellows.
Program sekolah ini merupakan salah satu program yang paling bergengsi di AS. Pasalnya, program khusus ini memberikan pengalaman kepemimpinan dan pelayanan publik di Gedung Putih, kantor Presiden AS di Washington DC, AS. Tujuan dari program ini adalah langsung memberikan pengalaman luar biasa bagi anak muda mengenal dan belajar tentang tugas kerja presiden dan bilamana mereka menjadi calon pemimpin di AS. Mereka yang diterima akan menyelesaikan program ini selama satu tahun dan mendapatkan honorarium yang pantas. Selain menjalani program, mereka juga belajar bekerja pada seorang staf di Gedung Putih, Sekretaris Kabinet, atau pejabat di lingkungan Gedung Putih lainnya.
Selama program, peserta mendapat pendidikan tak hanya dalam diskusi dengan para pejabat dan pemimpin di swasta maupun publik, tetapi juga mempelajari dan praktik berbagai kebijakan pemerintah AS. Jika diperlukan, para peserta juga bisa belajar ke luar Gedung Putih bahkan didanai untuk ke luar negeri. Namun, pesertanya bukan partisan dari pendukung presiden atau parpol tertentu. Di situlah Gedung Putih melakukan seleksi secara ketat.
Apakah SSP akan diarahkan seperti Class of White House Fellows? Menurut Moeldoko, SSP dirancang menjadi ladang inkubator kepemimpinan nasional bagi calon pemimpin bangsa agar mereka siap menjadi negarawan di masa depan. Namun, tentu kehadiran program sekolah di lingkaran dalam Istana Presiden diharapkan tidak partisan, apalagi politis, dan harus sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi KSP sebagai supporting unit Presiden-Wapres. Diharapkan juga, adanya SSP jangan sampai latah dan didirikan program-program sejenis di lingkungan Istana, seperti di Sekretariat Negara atau Sekretaris Kabinet.
Pendaftaran dan seleksi
Sejak pendaftaran SSP dibuka pada 16-29 Juni 2022 tercatat ada 69.586 pendaftar. Setelah proses seleksi administrasi, sebanyak 100 calon peserta diundang wawancara di Gedung Krida Bhakti Jakarta. Dari 100 calon ini akan dipilih 35 peserta. SSP akan berlangsung dari pagi hingga malam hari pada 25-29 Juli 2022 di sebuah hotel di Jakarta. Anak-anak muda ini akan mendapatkan pengalaman mengelola negara, memperoleh gambaran manajemen negara, hingga belajar hierarki perundangan.
Tentu kehadiran program sekolah di lingkaran dalam Istana Presiden diharapkan tidak partisan, apalagi politis, dan harus sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi KSP sebagai supporting unit Presiden-Wapres. Diharapkan juga, adanya SSP jangan sampai latah dengan didirikannya program sejenis di lingkungan Istana, seperti di Sekretatariat Negara atau Sekretariat Kabinet.
Pada Kamis (14/7/2022) lalu, Moeldoko turut mewawancarai salah satu calon peserta SSP, Shania binti Mahir Hamdun. Duduk berhadap-hadapan dengan Moeldoko, Shania mempresentasikan ide dan kreasinya terkait penyembuhan trauma bagi anak yang terpapar Covid-19. Shania segera membuka selembar kertas berisi gambar dan bagan rangkuman dari esai yang ditulisnya sebagai salah satu syarat pendaftaran SSP.
Baca Juga: Kantor Staf Presiden Perkuat Sinyal Kepala Otorita IKN Seorang Arsitek
Moeldoko lantas membuka pertanyaan, ”Kalau kamu menjadi bagian dari pemerintahan, hal apa yang ingin kamu perbaiki. Dari yang sudah ada saat ini, mungkin punya ide?” Shania lantas bercerita tentang perannya bekerja di Supervisor MONEV, Kampus Merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. ”Menurut saya yang kurang fokus adalah di bagian mental health,” ujar Shania, yang juga bekerja sebagai pelatih model di salah satu sekolah model di DI Yogyakarta.
Menurut saya yang kurang fokus adalah di bagian mental health.
Jika diterima menjadi peserta SSP, Shania berharap dapat memperkaya kemampuan dirinya melalui pengalaman bersentuhan langsung dengan pembelajaran yang terkait dengan kepresidenan. ”Hal-hal yang lebih luas dari Kampus Merdeka. Lebih dekat dengan dunia yang lebih dekat dengan memajukan Indonesia. Saya dan teman-teman saya adalah penyambut Indonesia 2045 atau di saat Indonesia sudah 100 tahun. Dari situlah saya merasa saya membutuhkan bekal yang cukup,” tambah Shania.
Bekal memajukan Indonesia ini, menurut Shania, tidak bisa hanya diperoleh dari sekadar membaca buku. Menurutnya, ilmu terkait tata pemerintahan dan kepresidenan akan jauh lebih mendalam apabila diperoleh langsung dari orang yang mencelupkan diri di bidang tersebut. Ia juga berharap memperoleh ilmu-ilmu dasar tentang kepresidenan, kepemimpinan yang baik, hingga bagaimana kebijakan-kebijakan politik di tingkat pusat. ”Sebab, akhirnya ini menjadi bekal juga saya mengembangkan kegiatan sosial saya nantinya gitu,” ucapnya.
Kepemimpinan masa datang
Calon peserta SSP lainnya, mahasiswa di LSPR Communication & Business LSPR (London School of Public Relations) Jakarta, Ajeng Dwi Andra (20), mengaku baru pertama kali menjajal mendaftar ke sekolah seperti SSP. ”Saya tertarik dengan SSP karena ini adalah kesempatan anak muda untuk berkolaborasi bersama dan melatih kepemimpinan untuk masa depan,” ujar Ajeng.
Jika nantinya lolos sebagai peserta SSP, ia berharap bisa membawa perubahan secara pribadi dan sekaligus menjadi inspirasi bagi anak-anak muda di daerah asalnya, yaitu Kalimantan Tengah. ”Untuk bisa mengejar impian mereka, apabila mereka mau bermimpi dan berusaha. Saya percaya akan kesempatan yang sama bagi semua generasi muda Indonesia, untuk belajar menjadi pemimpin di masa depan,” tambah Ajeng.
Untuk bisa mengejar impian mereka, apabila mereka mau bermimpi dan berusaha. Saya percaya akan kesempatan yang sama bagi semua generasi muda Indonesia, untuk belajar menjadi pemimpin di masa depan.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai program-program yang dibangun di lingkaran inti Istana Kepresidenan adalah program yang lumrah. Gedung Putih di Amerika Serikat juga punya program sejenis, seperti Class of White House Fellows. Program pendidikan di lingkungan Istana Kepresidenan ini bertujuan membangun ruang untuk mengasah kemampuan pelaku pelayanan publik dan calon-calon pemimpin nasional.
”Dalam konteks Indonesia, kan, problematikanya banyak. Apakah Kantor Staf Presiden itu betul-betul lingkaran inti yang membantu Presiden, padahal ada Mensesneg, ada Sekretaris Kabinet. Ini tupoksi (tugas pokok dan fungsi)-nya yang mana yang menjalankan tadi?” ujar Feri.
Seiring jumlah peminat yang banyak, Feri juga khawatir akan muncul persaingan untuk membuat sekolah serupa di lingkungan Istana sehingga nantinya akan memunculkan beragam sekolah seperti sekolah sekretaris kabinet atau sekolah sekretariat negara. Kemunculan beragam sekolah ini dikhawatirkan akhirnya akan menjadi ruang untuk mencari keuntungan politik masing-masing atas pembentukan sekolah itu.
Tidak rapinya lingkaran satu Istana bisa berdampak juga kepada kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan jangka panjang. KSP perlu melihat prioritas itu. Apakah ini cocok dan sesuai dengan pendidikan politik masyarakat luas atau ini hanya gengsi yang kemudian bisa dilihat dari peserta pendaftaran. Kalau kemudian pesertanya diisi oleh apa orang yang mencoba sekedar menaikkan gengsi, bukan pendidikan politik kepada publik.
”Tidak rapinya lingkaran satu Istana bisa berdampak juga kepada kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan jangka panjang. KSP perlu melihat prioritas itu. Apakah ini cocok dan sesuai dengan pendidikan politik masyarakat luas atau ini hanya gengsi yang kemudian bisa dilihat dari peserta pendaftaran. Kalau kemudian pesertanya diisi oleh apa orang yang mencoba sekadar menaikkan gengsi, bukan pendidikan politik kepada publik,” tambahnya.
Feri berharap sekolah seperti SSP ini betul-betul mampu memberikan pendidikan politik bagi publik. Sekolah ini harus bisa menjelaskan tentang seperti apa peran presiden tanpa berupaya memanfaatkan untuk sekadar kepentingan politik jangka pendek atau jangka panjang dari KSP. ”Apakah tidak ada muatan politis tertentu? Jangan sampai sibuk mengurus sekolah dibandingkan sibuk mengurus Presiden dan membuat kerja-kerja Presiden terbantu,” kata Feri.
Tenaga Ahli Utama KSP, Agung Rulianto, menegaskan bahwa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019, pada Pasal 3 huruf (g), Kantor Staf Presiden menjalankan fungsi untuk ”Pengelolaan Strategi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi”. KSP juga melihat pentingnya peran generasi muda memahami dan belajar secara langsung tentang cara kerja manajemen pemerintahan.
Bagaimana cara KSP melakukan debottlenecking atau mengatasi adanya hambatan dalam menjalankan program prioritas pemerintah, serta mengawal program Presiden Joko Widodo agar bisa terlaksana dengan baik. Informasi ini sangat penting bagi generasi muda yang mengikuti SSP. Ilmu yang mereka dapatkan ini menjadi bekal menghadapi estafet kepemimpinan menyongsong Indonesia Emas 2045.
”Bagaimana cara KSP melakukan debottlenecking atau mengatasi adanya hambatan dalam menjalankan program prioritas pemerintah, serta mengawal program Presiden Joko Widodo agar bisa terlaksana dengan baik. Informasi ini sangat penting bagi generasi muda yang mengikuti SSP. Ilmu yang mereka dapatkan ini menjadi bekal menghadapi estafet kepemimpinan menyongsong Indonesia Emas 2045,” ujar Agung.
Miskin pengalaman
Ketika meninjau langsung dan mewawancarai sebagian calon peserta SSP, Moeldoko mengaku terkejut ketika memperoleh informasi bahwa ranking calon peserta berpendidikan SMA ada yang melebihi di atas lulusan S-1 dan S-2.
”
Yang saya lihat ini adalah anak-anak kita ini semuanya kaya atas pengetahuan karena dia bisa mencari pengetahuan dari mana saja. Sekarang semua di genggaman sehingga pengetahuan kaya, tetapi pengalaman perlu untuk diberikan, miskin di pengalaman,” kata Moeldoko.
Untuk itu, KSP mencoba memberikan ruang kepada anak-anak muda untuk mendapatkan pengalaman mengelola negara, manajemen negara, hierarki perundangan, hingga penyelesaian isu-isu dalam bernegara. ”Learning by doing, jadi seperti umpamanya reforma agraria, case-nya seperti ini, kita bisa menyelesaikan berbagai case yang terjadi. By praktek, kita akan lakukan sehingga mereka: oh begini caranya. Ternyata mengelola negara tidak mudah, berbagai persoalan luar biasa, tetapi negara harus turun menanganinya,” tambah Moeldoko.
Learning by doing, jadi seperti umpamanya reforma agraria, case-nya seperti ini, kita bisa menyelesaikan berbagai case yang terjadi. By praktek, kita akan lakukan sehingga mereka: oh begini caranya. Ternyata mengelola negara tidak mudah, berbagai persoalan luar biasa tetapi negara harus turun menanganinya.
Moeldoko berharap bahwa hati dan pikiran lulusan SSP akan terisi. ”Mengelola negara, sebuah kebijakan yang dikeluarkan tidak cukup dengan kekuatan, tidak cukup dengan kekuasaan, tidak cukup dengan paksaan, tapi bagaimana kebijakan itu dibarengi dengan kebajikan. Di situlah intinya bagaimana bernegara itu sehingga semuanya bisa terlayani dengan baik walaupun kita juga paham bahwa sebuah kebijakan tidak sepenuhnya bisa diterima oleh semua pihak, itu kira-kira,” ucapnya.
Meskipun berlangsung singkat hanya lima hari, Moeldoko yang turut memimpin penyusunan kurikulum menyebut bahwa materi pendidikan SSP cukup padat dan mudah diterapkan. Moeldoko pun akan terlibat sebagai pengajar. Pengajar lainnya, antara lain, pakar reformasi birokrasi Prof Dr Eko Prasojo dan pakar pemasaran Hermawan Kartajaya. ”Ada lagi beberapa yang lain, ya, kita hadirkan untuk memberikan gambaran,” kata Moeldoko.
Peserta SSP juga akan belajar beberapa kasus yang ditangani langsung oleh para deputi KSP. Para talenta muda akan melihat dan mempelajari bagaimana tenaga-tenaga ahli di KSP melakukan pengelolaan program prioritas nasional (PSN) dan debottlenecking hambatan yang terjadi di lapangan. Salah satunya adalah bagaimana KSP menangani kasus terkait Tol Becakayu (Bekasi–Cawang–Kampung Melayu) yang sekian lama tidak tertangani.
Di SSP ini, generasi muda juga akan mendapat pengalaman kerja strategis, taktis, dan praktis di lingkungan Istana Kepresidenan. Tingginya minat pendaftar juga membantah stigma bahwa anak muda tidak peduli dengan urusan negara. ”Terbukti begitu pendaftaran SSP ini dibuka, jumlah pendaftar mencapai 60.000 lebih. Ini bukti, anak muda juga ingin berkontribusi mengelola negara,” ujar Moeldoko.
Terbukti begitu pendaftaran SSP ini dibuka, jumlah pendaftar mencapai 60.000 lebih. Ini bukti, anak muda juga ingin berkontribusi mengelola negara.
Agung menambahkan, Kedeputian IV KSP yang bertugas melakukan komunikasi politik dan diseminasi informasi sudah menjalankan sejumlah program untuk menyampaikan kinerja pemerintah kepada masyarakat. Di antaranya, KSP mendengar di berbagai kota dengan mengangkat berbagai isu, juga mengisi berbagai ruang publik baik melalui media hingga menjadi pembicara yang mewakili pemerintah pada berbagai acara.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Curah Melandai, Kantor Staf Presiden Masih Terus Memantau Penurunan
KSP merasa perlu untuk tidak sekadar berbicara dan memberi jawaban kepada publik, tetapi juga menyampaikan dengan cara lebih sistematis melalui proses pembelajaran pada SSP. Diharapkan, peserta akan memahami proses kerja di KSP bersama sejumlah Kementerian sehingga peserta SSP juga akan mendapatkan ilmu manajemen pemerintahan secara langsung sebagai bekal mereka untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.
Peserta SSP akan belajar langsung dari para tenaga profesional di KSP tentang pengalaman mereka dalam menyelesaikan berbagai persoalan pengelolaan pemerintahan. Selain itu, ada juga beberapa pengajar dari luar KSP yang akan memperkaya peserta SSP dalam memahami birokrasi pemerintahan. Peserta SSP juga akan mendapat pengalaman langsung selama dua hari bersama kedeputian untuk melakukan verifikasi lapangan, mengikuti rapat koordinasi bersama kementerian dan lembaga, dan berdialog dengan masyarakat.
Setelah lulus SSP, menurut Agung, sangat banyak kemungkinan yang bisa dimanfaatkan para lulusan SSP. ”Mereka yang menunjukkan performa bagus bisa saja menjadi tenaga profesional di KSP atau di berbagai kementerian dan lembaga. Bahkan, jika mereka memilih untuk menjadi wirausaha, mereka akan mendapat bekal memahami proses kerja di birokrasi sehingga memudahkan mereka dalam menjalankan usahanya,” tambahnya.
Pada 2045, Indonesia akan berusia 100 tahun. KSP melalui SSP bertekad turut melahirkan calon-calon pemimpin yang tidak gagap terhadap manajemen pemerintahan, birokrasi, dan pengelolaan negara. Para peserta SSP saat ini rata-rata berusia 20 tahun. Pada Indonesia Emas, mereka akan mencapai usia matang untuk menjadi pemimpin. Siapkah mereka nanti? Kita lihat berjalannya program SSP dan hasil-hasil konkretnya. Semoga saja seperti Class White Houses Fellows nan bergengsi itu, ya.