Harga Minyak Goreng Curah Melandai, Kantor Staf Presiden Masih Terus Memantau Penurunan
Meskipun harga minyak goreng melandai, Kantor Staf Presiden terus memantau penurunannya. Jika harga tersebut masih bertahan pada Rp 14.000 per liter, kebijakan tersebut dinilai belum efektif diterapkan.
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Presiden atau KSP menyebut bahwa kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku secara umum sudah memberikan dampak pada ketersediaan dan kestabilan harga minyak goreng curah di pasaran. Meskipun belum terlalu signifikan, saat ini harga minyak goreng curah mengalami tren pelandaian dan cenderung menurun.
”Dari data yang dihimpun KSP, per 2 Mei kemarin, harga minyak goreng curah di pasaran sudah di bawah Rp 20.000. Trennya melandai dan cenderung turun,” kata Deputi III Kepala Staf Kepresidenan RI Panutan Sulendrakusuma, Rabu (4/5/2022).
Menurut Panutan, masih butuh waktu untuk melihat efektivitas dari kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng terhadap ketersediaan serta kestabilan harga minyak goreng di pasaran. Apalagi, kebijakan tersebut baru berjalan satu minggu.
Kebijakan pelarangan ekspor tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 yang berlaku sejak 28 April 2022. ”Masih butuh waktu untuk melihat outcome-nya. Apalagi kebijakan baru berjalan satu minggu ini,” ujar Panutan.
Dari data yang dihimpun KSP, per 2 Mei kemarin, harga minyak goreng curah di pasaran sudah di bawah Rp 20.000. Trennya melandai dan cenderung turun.
Sejauh ini, dalam beberapa kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Jambi, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, misalnya, diketahui minyak goreng curah dijual dengan harga Rp 17.000-Rp 18.000 per kilogram. Harga mahal pun umumnya menjadi keluhan masyarakat. Presiden Joko Widodo pun akhirnya melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 28 April sampai harga terkendali dan pasokan melimpah.
Baca juga: Menjinakkan Harga Minyak Goreng
Kantor Staf Presiden bersama kementerian/lembaga memastikan akan terus memonitor di lapangan. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng berjalan efektif dan terukur. Pemerintah juga melakukan antisipasi dampak negatif kebijakan pelarangan ekspor terhadap petani.
”Kita perlu menjamin agar implementasi pelaksanaan kebijakan larangan ekspor untuk minyak goreng dan bahan baku minyak dapat berjalan secara efektif dan terukur. Hal ini tentunya harus didukung oleh mekanisme pemonitoran dan evaluasi, baik di tingkat pusat maupun daerah,” ucap Panutan.
Kita perlu menjamin agar implementasi pelaksanaan kebijakan larangan ekspor untuk minyak goreng dan bahan baku minyak dapat berjalan secara efektif dan terukur. Hal ini tentunya harus didukung oleh mekanisme pemonitoran dan evaluasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sebelumnya, pada Jumat (29/4/2022), Kantor Staf Presiden menggelar rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Satgas Pangan, terkait pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng.
Rapat telah menyepakati beberapa hal, yaitu penentuan indikator keberhasilan kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak, target jumlah pasar yang akan dipantau, penguatan aplikasi Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah), rencana kebijakan penanggulangan pelemahan harga tandan buah segar kelapa sawit, dan strategi upaya pengendalian harga minyak goreng ke depan.
Presiden Joko Widodo sebelumnya memberikan arahan terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor untuk minyak goreng dan bahan baku minyak goreng. Kebijakan ini mencerminkan prioritas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Di sisi lain, pemerintah juga menyadari terdapat beberapa dampak negatif, seperti potensi hasil panen petani sawit yang tidak terserap serta penurunan ekspor dan cadangan devisa.
Belum efektif
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, selama harga minyak goreng curah belum mencapai target Rp 14.000 per liter, kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya tidak bisa disebut efektif. ”Kalau belum bisa di bawah level harga Rp 14.000, efektivitas kebijakan belum bisa dibilang berhasil,” ujar Bhima.
Ia juga menyoroti problem lain, yaitu harga minyak goreng kemasan yang seakan tidak menjadi indikator efektivitas kebijakan. Menurut dia, pengusaha bisa saja melakukan kompensasi kehilangan pendapatan dari ekspor minyak goreng ke margin harga minyak goreng kemasan. ”Pengusaha yang ditekan pemerintah mengalihkan margin ke minyak goreng kemasan,” tambahnya.
Terjadi oversupply CPO, khususnya bahan baku minyak goreng, RBD olein. Tapi efeknya tidak bisa cepat karena proses kontrak pembelian bahan baku minyak goreng hingga distribusi butuh waktu.
Oleh karena itu, ketersediaan dan harga minyak goreng kemasan sama pentingnya dengan minyak goreng curah. Karena yang terjadi adalah kelas menengah turun kelas ke minyak goreng curah karena harga kemasan yang mahal. Di sisi lain, masyarakat kelas menengah terpaksa membeli minyak goreng kemasan dengan mengorbankan konsumsi barang lainnya.
”Terjadi oversupply CPO, khususnya bahan baku minyak goreng, RBD olein. Tapi efeknya tidak bisa cepat karena proses kontrak pembelian bahan baku minyak goreng hingga distribusi butuh waktu,” tambah Bhima.
Terkait harga minyak goreng curah yang masih di atas Rp 14.000 per liter meskipun pemerintah telah melarang ekspor CPO dan turunannya, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto ketika dihubungi, Rabu (4/5/2022), menuturkan, ada prinsip bahwa dari mana modal itu berasal ke sanalah nilai tambah itu pergi.
”Sekarang yang menguasai industri sawit ini siapa? Pemainnya itu lima besar. Dari sekitar 24 pemain di (industri) sawit ini, yang menguasai 51 persen lebih itu hanya lima pemain. Dari struktur pasarnya saja sudah oligopolistik, intinya. Sekarang ini distribusi sampai logistik sampai ini semua itu ya pemainnya ya lima itu, (untuk) yang minyak goreng,” kata Suroto.
Menurut Suroto konglomerat industri sawit yang menguasai hulu hingga hilir pun tidak rugi meskipun ada kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya. ”(Hal) Ini karena hulu-hilir dikuasai sama mereka. Istilahnya, rugi di ekspornya, tapi bermain di biofuel. Dana dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) itu 80 persennya untuk mendukung biofuel. Siapa yang diajak bikin biofuel? Konglomerat sawit itu juga,” katanya.
Petani masih jadi bulan-bulanan
Pola PIR (perusahaan inti rakyat) itu dulu memperbolehkan perusahaan memiliki lahan, namun hanya 20 persen. Sekarang (perusahaan) yang malah dominan.
Di sisi lain, Suroto mengatakan, petani sawit menjadi bulan-bulanan karena posisinya hanya ada di sisi budidaya (on farm). Sementara itu, perkebunan sawit skala besar menguasai sektor hulu hingga hilir. ”Pola PIR (perusahaan inti rakyat) itu dulu memperbolehkan perusahaan memiliki lahan, namun hanya 20 persen. Sekarang (perusahaan) yang malah dominan,” katanya.
Baca juga: Menggugat Kendali Harga Minyak Goreng
Dari sisi penguasaan lahan, Suroto menuturkan, dari 15,08 juta hektar lahan sawit, perkebunan besar swasta menguasai seluas 9,30 juta hektar atau 59,5 persen, dan perkebunan rakyat hanya menguasai 6,08 juta hektar atau 40,34 persen. Artinya, perkebunan plasma rakyat yang diharapkan dominan kalah oleh perkebunan besar inti milik swasta.
Jadi, di Malaysia itu reforma agrarianya melalui basis koperasi. Koperasinya namanya Felda. Petani yang tidak punya lahan dikasih lahan 10 hektar per KK (kepala keluarga). Kenapa 10 (hektar)? Karena ngomongin skala ekonomi.
Dia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak membuat petani dan konsumen minyak goreng berdikari dan kuat ekonominya. Sehingga, dalam hal ini, petani dapat menikmati nilai tambah dari bisnis sawit dan rakyat atau konsumen minyak goreng tetap dapat menikmati harga murah.
Suroto menuturkan, Malaysia melakukannya melalui koperasi sawit Felda, yang sebenarnya dalam rangka reforma agraria. ”Jadi, di Malaysia itu reforma agrarianya melalui basis koperasi. Koperasinya namanya Felda. Petani yang tidak punya lahan dikasih lahan 10 hektar per KK (kepala keluarga). Kenapa 10 (hektar)? Karena ngomongin skala ekonomi,” ujar Suroto.
Koperasi Felda ini, Suroto menuturkan, mengimbangi pemain sawit swasta. “Felda merupakan bentukan pemerintah sehingga sewaktu-waktu pemerintah pun dapat melakukan intervensi kalau si swasta bermain-main. Dan, si Felda ini bermain bukan hanya di sektor hulu, tetapi juga sampai hilir. Untuk pabrikasi juga dibentuk koperasi. Jadi, dia menguasai sektor on farm dan off farm,” katanya.