Jamin Hak Warga Negara, KPU Mesti Perbaiki Data Pemilih Luar Negeri
Migrant Care mencatat, terdapat selisih sekitar 7 juta jiwa antara pemilih riil dan pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap luar negeri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data pemilih luar negeri dari pemilu ke pemilu selalu menjadi persoalan. Setiap pemilu, jutaan warga negara Indonesia di luar negeri tidak masuk dalam daftar pemilih yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Karena itu, KPU didorong melakukan inovasi dalam memutakhirkan data pemilih untuk menjamin tidak ada satu warga negara pun, termasuk mereka yang tengah berada di luar negeri, kehilangan hak pilihnya.
Permasalahan mengenai data pemilih luar negeri memang selalu mengemuka dari pemilu ke pemilu. Organisasi nonpemerintah yang aktif membela hak buruh migran, Migrant Care, pernah menggugat soal perlindungan hak politik warga negara di luar negeri itu ke Mahkamah Konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anis Hidayah dari Dewan Pengarah Migrant Care saat dihubungi, Sabtu (16/7/2022), mengatakan, perbedaan data buruh migran Indonesia di luar negeri merupakan faktor penghambat dalam memastikan jumlah sesungguhnya daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN). Integrasi data sejak dini diperlukan untuk mendorong representasi dan validitas jumlah pemilih di luar negeri.
Dari data DPTLN tahun 2019, jumlah pemilih luar negeri tercatat lebih dari 1,915 juta orang. Data tersebut masih jauh di bawah realitas jumlah warga negara Indonesia di luar negeri yang memiliki hak pilih. Migrant Care mencatat, selisih DPT luar negeri dengan jumlah warga negara Indonesia usia pemilih di luar negeri mencapai 7 juta jiwa.
Sebab, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri saat itu diketahui, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 4,732 juta orang. Dengan rincian 2,862 juta buruh migran berdokumen dan 1,87 juta buruh migran tak berdokumen. Sementara data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang saat itu bernama BNP2TKI, jumlah buruh migran mencapai 4,932 juta jiwa. Adapun, data Bank Indonesia yang berbasis pada remitansi yang dikirim buruh migran memperkirakan jumlahnya mencapai 9 juta jiwa.
Anis berharap ada inovasi yang diterapkan oleh KPU untuk mereduksi masalah yang terjadi dari pemilu ke pemilu. Setidaknya DPTLN harus mendekati realitas jumlah penduduk potensial pemilih di luar negeri. Jangan sampai ada selisih tajam antara DPTLN dan data riil dari sejumlah pemangku kepentingan. Sebab, memastikan validitas data pemilih luar negeri merupakan bagian dari upaya untuk menjaga hak konstitusional warga negara yang berada di mana pun.
”Kami sudah beberapa kali sampaikan ke KPU, pendataan yang paling valid itu di desa. Data pekerja migran, baik yang berdokumen maupun tidak berdokumen ini valid sekali jumlahnya kalau didata dari tingkat desa,” ujar Anis.
Jangan sampai ada selisih tajam antara DPTLN dan data riil dari sejumlah pemangku kepentingan. Sebab, memastikan validitas data pemilih luar negeri merupakan bagian dari upaya untuk menjaga hak konstitusional warga negara yang berada di mana pun.
Anggota KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan, KPU sudah memiliki gugus tugas untuk pemutakhiran data pemilih luar negeri. Data dari BP2MI dan Kementerian Luar Negeri akan dikonsolidasikan sebagai daftar penduduk potensial pemilu (DP4) di Kementerian Dalam Negeri.
Berdasarkan data dari Sistem Data Pemilih (Sidalih) luar negeri per Januari 2022, jumlah pemilih yang tercatat dalam DPTLN lebih dari 1,951 juta jiwa. Data ini akan disisir ulang pelan-pelan bersama tim gugus tugas yang terdiri atas BP2MI, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Luar Negeri.
”Di dalam UU Pemilu, pemilih yang berada di luar negeri anya boleh terdaftar jika memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Namun, KPU membuat kebijakan selain punya NIK, mereka juga harus menunjukkan nomor paspor yang lengkap,” ujar Betty.
Betty menambahkan, seperti halnya pemutakhiran data untuk pemilih dalam negeri, DPT luar negeri juga akan secara bertahap dimutakhirkan secara berkelanjutan. Data pemilih berkelanjutan (DPB) pemilih luar negeri dianalisis melalui data dari Kementerian Luar Negeri. Data dari Kemenlu akan dikroscek ke lapangan dan dicek akurasinya dengan data BP2MI.
”Kami sudah memiliki kerja sama terkait integrasi data pemilih berkelanjutan dengan Kementerian Luar Negeri, dan BP2MI. Semoga di bulan Oktober data DP4 luar negeri sudah bisa diserahkan dari Kemendagri ke KPU,” terang Betty.
KPU juga sudah melakukan audiensi dengan Kementerian Luar Negeri untuk membahas mengenai sejumlah permasalahan terkait dengan DPTLN. Kemenlu mendorong agar masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri proaktif melaporkan dirinya jika memang berhak menjadi pemilih Pemilu 2024.
Menurut Betty, pendataan pemilih di luar negeri memang menemui sejumlah kendala teknis di lapangan. Banyak warga negara yang pergi ke luar negeri, tetapi tidak melapor ke Kemenlu. Selain itu, data di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) juga tidak bisa menunjukkan apakah orang tersebut hanya berkunjung, berbisnis, bekerja, atau belajar di luar negeri. Namun, kesulitan itu tetap akan diatasi dengan sistem informasi dari Kemenlu yang akan dikonsolidasikan dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) di Kemendagri.
Anis berharap KPU melakukan inovasi dengan melakukan kroscek data di tingkat desa. Sebab, jika hanya mengandalkan mekanisme lapor diri penduduk di luar negeri, tak akan bisa menjangkau pekerja migran yang tidak berdokumen. Mereka yang tidak memiliki dokumen tidak akan lapor diri. Tantangannya, KPU harus bisa menjangkau warga yang tak terdokumentasi ini. Apalagi, putusan MK menyebutkan bahwa mereka yang terbukti warga Indonesia, memenuhi persyarataan, dan berada di luar negeri berhak untuk memilih.
”Desa itu memiliki bank data yang bisa untuk melihat data pekerja migran di luar negeri. KPU bisa melakukan koordinasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mengatasi persoalan itu. Kalau hanya menggunakan pola koordinasi lama dengan Kemenlu dan BP2MI, saya rasa tidak akan ada kemajuan yang berarti,” terang Anis.
Anis berharap untuk Pemilu 2024 ini, upaya KPU untuk membenahi validitas data pemilu bisa dilakukan lebih serius. Jangan sampai KPU terjebak pada upaya normatif yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Sistem informasi desa bisa dijangkau dibandingkan dengan mengandalkan koordinasi lintas kementerian. Sebab, lagi-lagi validitas data pemilih luar negeri akan dipertaruhkan dalam penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024. Jangan sampai pendataan yang tak valid, karena berpotensi menghilangkan hak konstitusional warga negara yang tinggal di luar negeri.