Kasus Baku Tembak di Rumah Dinas Kadiv Propam Polri Sisakan Pertanyaan
Kasus tewasnya Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menyisakan kejanggalan. Publik meragukan kronologi peristiwa yang disampaikan Divisi Humas Polri.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kasus tembak-menembak yang melibatkan dua anggota kepolisian di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo menimbulkan keprihatinan sekaligus pertanyaan. Untuk menepis spekulasi yang muncul, Polri diharapkan bersikap profesional, transparan, dan akuntabel untuk menyingkap motif sesungguhnya.
Sebagaimana diberitakan, peristiwa tembak-menembak di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo melibatkan Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat dan Bharada E pada Jumat (8/7/2022). Akibatnya, Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat tewas. Adapun Nopryansah adalah pramudi dari istri Kadiv Propam dan Bharada E adalah ajudan Kadiv Propam.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, peristiwa itu dipicu tindakan Nopryansah yang memasuki kamar pribadi Ferdy. Saat itu istri Ferdy sedang istirahat. Sambil menodongkan pistol ke kepala istri Ferdy, Nopryansah juga melakukan pelecehan. Istri Ferdy pun berteriak.
Teriakan itu membuat Bharada E yang berada di lantai atas atau lantai 2 menanyakan ada apa dari anak tangga. Namun, pertanyaan itu justru dibalas tembakan yang kemudian berbalas tembakan pula. Disebutkan bahwa Nopryansah menembakkan 7 peluru, sedangkan Bharada E melepaskan 5 peluru.
Pada saat kejadian Ferdy disebut tidak sedang berada di rumah. Namun, kata Ahmad, Ferdy langsung menghubungi Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan sesaat setelah sang istri menghubunginya.
Terkait dengan kasus itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan, kasus yang menyebabkan tewasnya seorang anggota kepolisian di rumah dinas Kadiv Propam tersebut harus diusut tuntas secara transparan, profesional, dan akuntabel. Hal itu mencakup tempat kejadian perkara (TKP), kronologi kejadian, hasil otopsi terhadap Brigadir J, serta motif pelaku.
”Tidak menutup kemungkinan untuk membuka rekaman CCTV di rumah dinas tersebut. Dan, ini harus dijelaskan kepada publik secara terbuka agar tidak memunculkan rumor-rumor yang tak terkendali,” kata Bambang.
Fakta yang perlu diungkap antara lain jenis senjata api (senpi) pelaku ataupun korban, hasil otopsi, kemungkinan korban dan tersangka sudah saling mengenal, posisi sesungguhnya dari istri Kadiv Propam dan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada saat kejadian, hingga sistem pengamanan di rumah dinas Kadiv Propam.
Menurut Bambang, pernyataan Divisi Humas Polri juga terkesan diperlambat. Sebab, kasus yang terjadi pada Jumat baru dibuka ke publik tiga hari kemudian. Hal itu dikhawatirkan akan menyulitkan tim dalam mencari fakta dan bukti di TKP. Fakta yang perlu diungkap antara lain jenis senjata api (senpi) pelaku ataupun korban, hasil otopsi, kemungkinan korban dan tersangka sudah saling mengenal, posisi sesungguhnya dari istri Kadiv Propam dan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada saat kejadian, hingga sistem pengamanan di rumah dinas Kadiv Propam.
Hal lain yang perlu didalami adalah penggunaan senjata api baik bagi pelaku maupun korban mulai dari jenis senjata api yang digunakan ataupun izin penggunaannya. Hal ini penting karena, berdasarkan keterangan Divisi Humas Polri, pelaku adalah tamtama berpangkat Bhayangkara Dua yang seharusnya tidak diperbolehkan membawa senjata laras pendek.
Bharada E sebagai pelaku merupakan tamtama yunior yang belum genap empat tahun berdinas, tetapi tampak memiliki kemampuan menembak yang begitu sempurna. Hal itu justru menimbulkan pertanyaan.
”Dengan pertanyaan-pertanyaan dasar seperti itu serta fakta bahwa konferensi pers dilakukan setelah tiga hari dari waktu insiden, itu memunculkan asumsi bahwa bisa jadi polisi membuat skenario yang akan mengaburkan penyelidikan. Apalagi, ini menyangkut orang nomor satu di Divisi Profesi dan Pengamanan Polri yang juga berwenang melakukan penyelidikan internal,” tutur Bambang.
Penggunaan senjata api
Penggunaan senjata api sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non-organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api. Menurut Bambang, ketentuan penggunaan senjata api dalam perkap itu relatif longgar. Sebab, semua anggota kepolisian bisa menggunakan senjata api asalkan mendapat rekomendasi dari atasan langsung. Terkait hal itu, Polri perlu menyampaikan kepada publik mengenai jenis senpi yang digunakan, asal senpi tersebut, serta jenis peluru yang digunakan.
”Terkait insiden yang terjadi saling tembak antar-ajudan dan pengawal, yang memberikan izin juga atasan langsung dari pelaku maupun korban. Artinya, Irjen Ferdy Sambo sebagai atasan langsung juga harus bertanggung jawab pada senpi yang digunakan pelaku maupun korban,” kata Bambang.
Terkait dengan hal itu, Bambang berharap Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertindak cepat, tegas, transparan, dan segera menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri. Hal itu diperlukan untuk memudahkan penyelidikan yang obyektif, transparan, dan berkeadilan.
Sebab, semakin lama penjelasan itu ditunda, semakin banyak pula asumsi yang berkembang di publik. ”Asumsi-asumsi liar yang bisa menjadi bumerang bagi Polri sendiri,” ujar Bambang.
Secara terpisah, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim, menyatakan penyesalan dan keprihatinan terhadap insiden tersebut sehingga mengakibatkan seorang anggota kepolisian tewas. Di sisi lain, Yusuf mencermati berbagai spekulasi dan respons dari publik atas peristiwa tersebut.
Oleh karena itu, Yusuf berharap agar motif sesungguhnya di balik terjadinya peristiwa baku tembak antara kedua anggota kepolisian itu diusut, baik secara kode etik maupun pidana. Kronologi peristiwa yang disampaikan Divisi Humas Polri diharapkan agar didalami agar kejadian yang sebenarnya dapat semakin terang sehingga dapat menghilangkan spekulasi publik. Kompolnas pun memastikan akan mengawal penyelidikan kasus tersebut sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku.
”Saya sebagai anggota Kompolnas meminta kepada Mabes Polri untuk mengusut kasus tersebut selain secara profesional, juga akuntabel dan transparan, berkeadilan, serta cepat dan tepat,” kata Yusuf.