Politik uang dan polarisasi akibat politik aliran masih menjadi tantangan Pemilu 2024. Peran lembaga pemantau dibutuhkan karena Bawaslu tak bisa sendirian mengawasi seluruh proses pemilu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Keberadaan pemantau pemilu sangat penting sebagai kekuatan organik masyarakat yang mengawasi jalannya demokrasi elektoral. Dalam perhelatan akbar pemilu serentak 2024, peran mereka akan semakin relevan sebagai kekuatan pengontrol, terutama bagi penyelenggara dan peserta pesta demokrasi lima tahunan itu. Kecakapan lembaga pemantau mutlak diperlukan agar bisa menghadapi tantangan zaman.
Sejak sebulan lalu, tepatnya 10 Juni 2022, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membuka pendaftaran pemantau Pemilu 2024. Pendaftaran itu dibuka bersamaan dengan peluncuran Meja Layanan Pemantau Pemilu 2024. Hingga Senin (11/7/2022), Bawaslu menerima konsultasi dari 122 lembaga pemantau pemilu yang mendaftar melalui meja layanan (help desk) baik di Bawaslu pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Namun, baru tujuh yang sudah mendapatkan akreditasi dan dalam proses verifikasi berkas.
”Berdasarkan data terakhir, jumlah pemantau yang mendaftar melalui Bawaslu pusat sebanyak tiga lembaga, yaitu Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia (LP3MI), dan Laskar Anti Korupsi Indonesia,” ujar anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, melalui keterangan resmi, Selasa (12/7/2022).
Selain tiga lembaga yang mendaftar melalui Bawaslu pusat, empat lembaga pemantau lainnya mendaftar melalui Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga itu adalah Kamus Institute, JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Kabupaten Bandung, Pengurus Daerah KAMMI Bandung, dan DPC Laskar Antikorupsi Indonesia.
Lolly memaparkan, lembaga pemantau berkonsultasi mengenai syarat administrasi pendaftaran pemantau pemilu, tahapan pemilu, fokus pemantauan pemilu, dan lainnya. Saat ini, tahapan paling dekat yang akan berlangsung adalah pendaftaran parpol calon peserta pemilu yang dimulai pada 29 Juli.
”Untuk pengawasan tahapan Pemilu 2024, Bawaslu berkomitmen meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemantauan pemilu. Komitmen itu dibuktikan dengan memfasilitasi individu yang terpanggil untuk memantau pemilu agar bergabung dengan lembaga pemantau berbadan hukum,” kata Lolly.
Bawaslu juga membuka program Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) untuk meningkatkan pengetahuan, kapasitas, dan keterampilan pemantauan pemilu. Sejak 2018 hingga 2021, SKPP sudah meluluskan sekitar 23.000 orang yang memiliki passion untuk menjadi pemantau pemilu. Sebanyak 10.638 kader SKPP mengikuti kelas luring tatap muka. Adapun 12.703 kader SKPP mengikuti kelas secara daring.
”Bawaslu membuka sebesar-besarnya partisipasi masyarakat untuk mengawasi perhelatan demokrasi pemilu serentak 2024,” ujar Lolly.
Semakin relevan
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, menuturkan, peran pemantau pemilu dalam demokrasi elektoral 2024 akan semakin relevan. Pengawasan berbasis warga itu merupakan bentuk dari upaya warga untuk tidak membiarkan elite politik membajak proses demokrasi menjadi berkarakter elitis dan korup. Selain itu, peran mereka juga sangat penting untuk menghasilkan pemilu yang absah atau berlegitimasi.
Airlangga menyebut, tantangan yang dihadapi dalam pemilu serentak 2024 tidaklah mudah. Sebab, akan ada pemilu legislatif, pemilu presiden, dan juga pilkada di tahun yang sama. Seluruh rangkaian kegiatan itu membutuhkan kesiapan teknis penyelenggaraan yang matang. Selain itu, rakyat juga harus terlibat aktif menjaga agar proses pemilu absah.
”Keberadaan lembaga pemantau pemilu juga penting karena tantangan yang dihadapi dalam pemilu masih sama, terutama adalah soal politik uang dan polarisasi akibat politik identitas. Ini bisa mengancam proses pemilu menjadi chaos (kekacauan) politik,” kata Airlangga.
Oleh karena itu, Airlangga menekankan agar para pemantau pemilu membekali diri dengan kemampuan untuk mengawasi politik uang dan polirasisasi dalam pemilu. Pemantau pemilu perlu memahami sehingga bisa mengawasi agar pemilih tidak terjebak pada kelindan politik uang dan ancaman polarisasi. Sebab, walaupun Bawaslu kini memiliki organ dari pusat sampai desa/kelurahan, bahkan tempat pemungutan suara (TPS), mereka tidak bisa bekerja sendirian. Mereka tetap membutuhkan mata dan telinga tambahan untuk mengoptimalkan pengawasan pemilu. Ini penting untuk memastikan bahwa pemilu berlangsung secara akuntabel dan transparan.
”Bawaslu harus bermitra dengan para pemantau pemilu ini. Jika bisa, Bawaslu juga harus memberikan pelatihan kepada pemantau pemilu dengan melibatkan akademisi dan pakar, misalnya penguatan kapasitas untuk mengawasi kampanye hitam di media sosial,” kata Airlangga.
Fokus pemantauan
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menjelaskan, pemantau pemilu adalah kegiatan organik yang berasal dari inisiatif masyarakat. Gerakan itu muncul dengan semangat untuk mengawasi pelaksanaan pemilu yang demokratis, transparan, akuntabel, dan berintegritas. Karena ada banyak lembaga pemantau pemilu, fokus pemantauan mereka pun berbeda-beda. Namun, tak bisa dimungkiri, isu politik uang dan polarisasi politik identitas memang menjadi isu yang paling disoroti.
”Soal politik uang dan polarisasi politik itu menjadi hal yang rutin kami pantau,” kata Kaka.
Kaka menjelaskan, KIPP sendiri memiliki program pemantauan yang sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum tahapan pemilu dimulai. Misalnya untuk isu korupsi politik, KIPP membangun jaringan yang lebih luas agar potensi beredarnya politik uang lebih mudah dideteksi. KIPP juga bekerja sama dengan sejumlah pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi sumber uang.
Adapun terkait dengan politik identitas, Kaka juga mengakui bahwa potensinya justru akan semakin parah di era media sosial. Indonesia sudah mengalami situasi polarisasi tajam akibat Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019. Tahun 2024, peredaran kampanye hitam dan politik identitas diprediksi justru akan semakin meningkat sehingga diperlukan pengawasan yang lebih dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
”Kami berharap lembaga-lembaga pemilu yang sudah terdaftar dan terverifikasi di Bawaslu ini difasilitasi. Mereka perlu mendapatkan kemudahan untuk melaporkan temuan data lebih awal,” kata Kaka.
Lembaga pemantau pemilu bermunculan sejak Indonesia akan menggelar pemilu pertama pascareformasi pada tahun 1999. KIPP, misalnya, didirikan tahun 1996 oleh tokoh pers Goenawan Muhammad dan Mulyana W Kusumah. KIPP beranggotakan mahasiswa, aktivis, dan tokoh prodemokrasi (Kompas, 15 Maret 2021).
Selain itu, ada pula JPPR yang didirikan sejak tahun 1998 oleh aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). JPPR merupakan miniatur Indonesia dengan bangunan kultural ideologis Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lembaga antariman. JPPR dibangun oleh 38 lembaga organisasi kemasyarakataan di bawah NU, Muhammadiyah, LSM, lembaga pendidikan, lembaga antariman, lembaga kemahasiswaan, dan radio.
Kehadiran masyarakat sipil dapat mengisi ruang kosong dalam mengawal proses demokrasi. Peran mereka yang tak lekang oleh waktu memantik harapan, para pemantau pemilu tetap konsisten mengawal demokrasi di Tanah Air agar lebih substansial dan berkualitas.