Hadirkan Diskursus Kewargaan untuk Halau Potensi Pembelahan
Potensi pembelahan di masyarakat masih membayangi. Gejala ke arah pembelahan mulai terlihat kendati tahapan Pemilu 2024 baru dimulai.
Aksi dukung-mendukung terhadap tokoh yang ”dijagokan” berkontestasi di Pemilu 2024, antara lain, masif terlihat di media sosial sekalipun saat ini belum ada calon presiden atau capres definitif. Pengubuan masih mengikuti pola pembelahan yang terjadi pada Pemilu 2019, yakni antara kelompok yang mengklaim dirinya mewakili pandangan nasionalis dan kelompok lainnya yang mengklaim mewakili pandangan Islam.
Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, memetakan, pembelahan yang saat ini terlihat di medsos ialah antara kubu pendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Masing-masing kubu saling menyerang, terutama di momen-momen saat keduanya mendapatkan sorotan publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pendukung Ganjar misalnya menyerang Anies saat gelaran Formula E, pembangunan Jakarta International Stadium, dan Taman Tebet. Sementara pendukung Anies menyerang Ganjar saat peristiwa konflik di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Narasi-narasi tersebut mudah ditemukan di Twitter dengan memasukkan kata kunci nama tokoh dan peristiwa di kolom pencarian. Banyak ditemukan unggahan yang isinya menyerang kudu lawan. Narasi itu dampaknya menjadi lebih luas karena juga diunggah oleh pemengaruh (influencer) yang memiliki jutaan pengikut.
“Kebanyakan dari kubu Anies dan Ganjar maupun sukarelawannya. Mereka bergerak terorganisir dan profesional,” ucap Ismail, Rabu (22/6/2022) di Jakarta.
Baca juga: Akhiri Polarisasi di Masyarakat
Tidak hanya melalui satu platform medsos, unggahan-unggahan itu pun diamplifikasi dan disampaikan lebih luas melalui beberapa medium. Di antaranya media daring dan platform medsos lain seperti Facebook dan WhatsApp sehingga dibaca oleh publik yang awalnya tidak memiliki akun Twitter.
Kenyataan pahitnya, narasi-narasi kebencian yang berujung pada pembelahan itu akan sulit dihentikan. Sebab masing-masing kubu memiliki kepentingan politik masing-masing untuk memenangkan kandidat yang didukung. Apalagi setiap ada narasi dari satu pihak selalu dilawan dengan kontranarasi dari pihak lawan sehingga perang narasi tidak mudah berhenti.
Oleh sebab itu, lanjut Ismail, masyarakat harus lebih berhati-hari dalam menerima informasi, terutama yang berasal dari pendukung tokoh capres dan mengangkat isu politik identitas. Masyarakat harus terus diingatkan agar tetap kritis dan waspada terhadap ancaman-ancaman pembelahan yang bersumber dari media sosial, terutama mendekati pemilu.
“Kalau mengharapkan mereka berhenti akan sulit. Publik pun sulit mencegahnya karena ini merupakan agenda politik,” tuturnya.
Politik identitas
Belajar dari pengalaman Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019, salah satu bahan bakar dari terjadinya pembelahan ialah wacana politik identitas. Apa yang muncul di medsos adalah sebagian dari ekspresi pembelahan berbasis politik identitas yang merebak di akar rumput.
Baca juga: Polutan yang Mencekik Demokrasi
Kegelisahan juga disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, yang melihat gejala pembelahan itu belum akan berakhir. Ia menggarisbawahi sikap fanatik para pendukung tokoh yang digadang-gadang sebagai capres, baik yang mengaku relawan atau simpatisan.
Sikap kelompok pendukung yang membela mati-matian tokoh yang didukungnya harus diwaspadai. Sebab, merekalah yang kerap kali menebar narasi provokatif di medsos, dan memroduksi isu yang memecah-belah.
Untuk memutus mata rantai pembelahan ini, yang diperlukan ialah perubahan “menu” dalam narasi Pemilu 2024, yang tidak sekadar mengkomodifikasi politik identitas, seperti agama dan etnisitas, tetapi menyuarakan program kesejahteraan, transformasi pelayanan publik, pelayanan kesehatan, pendidikan, desentralisasi, dan persoalan-persoalan lain yang menyangkut kebutuhan warga.
“Kalau pada tingkat parpol pendukung, itu tidak mungkin mereka lakukan. Namun, yang harus diwaspadai ialah kelompok pendukung yang sangat bersemangat dan menyebarkan isu macam-macam, apalagi ada medsos,” kata Azra.
Di sisi lain, Azra juga mengonfirmasi masih adanya wacana politik identitas di kalangan masyarakat, yang biasanya diasosiasikan dengan politik kanan atau keagamaan. Situasi ini tidak sehat dan rentan menimbulkan friksi atau pembelahan lagi. Kendati kadarnya sudah tidak terlalu menonjol seiring dengan konsolidasi politik di dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang merangkul kandidat lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke dalam pemerintahan.
Ada pula harapan potensi pembelahan ini mengecil di Pemilu 2024 dengan sikap partai-partai yang menunjukkan kecenderungan koalisi lintas-ideologi dan politik identitas. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta wacana kerja sama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang sempat disuarakan, menurut Azra, menunjukkan upaya parpol lintas-ideologi untuk saling mendekat dan mengakhiri pembelahan.
Manuver politik
Namun, masa depan koalisi lintas-ideologi ini masih belum dapat dipastikan kelanjutannya. Manuver politik antarpartai masih sangat dinamis di sisa waktu sekitar 20 bulan menuju pemungutan suara, 14 Februari 2024. Belakangan, misalnya, wacana koalisi PKS dan PKB menjadi kabur setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bertemu dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan menyatakan koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Pertanyaannya, apakah manuver parpol untuk mengatasi pembelahan ini hanya upaya mencari perhatian atau gimmick saja?
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menuturkan, politik identitas merupakan bentuk kemalasan dari kontestan politik. Mereka belum sampai pada politik programatik dan adu gagasan sehingga cara yang diambil adalah politik identitas dengan mengedepankan agama, suku, maupun etnis. Meskipun secara formal para kandidat tidak mengakui penggunaan politik identitas, faktanya cara itu menjadi pilihan dan digunakan secara sadar oleh kandidat dalam mendapatkan suara pemilih.
Negara harus turun tangan untuk mengobati polarisasi yang masih terjadi. Harus ada common project yang diperintahkan negara bersama parpol dan seluruh elemen masyarakat untuk mempersatukan seluruh anak bangsa.
Untuk mencegahnya kembali terulang di Pemilu 2024, lanjut Willy, Nasdem berkomitmen meneguhkan politik kebangsaan. Nasdem menyadari cara-cara itu sangat riskan merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi Nasdem juga menjadi korban dari politik identitas akibat mendukung Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta yang mengakibatkan suara di Aceh dan Sumatera Barat berkurang drastis. “Penggunaan politik identitas itu ibarat sedang bermain api membakar rumah sendiri,” tuturnya.
Menurutnya, negara harus turun tangan untuk mengobati polarisasi yang masih terjadi. Harus ada common project yang diperintahkan negara bersama parpol dan seluruh elemen masyarakat untuk mempersatukan seluruh anak bangsa. Narasi-narasi persatuan harus digelorakan di berbagai media dan mesti bisa menghegemoni masyarakat hingga akar rumput sehingga secara tidak sadar membuat pola pikir masyarakat yang mengedepankan persatuan.
Wakil Ketua Umum Partai PPP Arsul Sani mengatakan, pembentukan KIB adalah untuk menyatukan visi-misi, dan platform partai. KIB tidak melulu membicarakan soal capres yang diusung, sebab pada momen yang tepat hal itu akan dibicarakan bersama. Parpol yang tergabung di dalam KIB pun sepakat untuk mengakhiri pembelahan.
“Oleh karena itu, koalisi ini dibentuk lebih awal untuk menyamakan platform, visi-misi, antarparpol, kendati belum ada capres. Pembentukan KIB ini diharapkan bisa mendorong hadirnya capres lebih dari dua pasangan, yang akan mengurangi risiko pembelahan karena hanya ada dua pasang calon,” ucap Arsul yang juga Wakil Ketua MPR ini.
Diskursus kewargaan
Namun, apakah dengan koalisi yang bertujuan mengusung pasangan capres lebih dari dua, serta lintas-politik identitas atau ideologi akan sungguh-sungguh dapat mengkahiri pembelahan? Rupanya tidak sesederhana itu. Terlebih jika melihat pola koalisi antarparpol saat ini yang terlihat sumir di permukaan.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito mengatakan, koalisi yang terlihat saat ini masih sangat pragmatis, karena hanya demi mendapatkan tiket mengusung capres. Hitung-hitungan yang dipakai ialah jumlah kursi agar bisa mengusung calon, tetapi tidak sungguh-sungguh melakukan rekonfigurasi politik mengatasi pembelahan. Yang terlihat hanyalah aksi dan manuver yang bermakna simbolik, tetapi tidak menyasar persoalan utama dalam kerja sama politik kebangsaan.
Demokrasi di Indonesia, menurut Arie, mengalami pendangkalan karena masuk ke dalam jebakan komodifikasi politik identitas dan reproduksi image (citra) dalam meraih kekuasaan. “Demokrasi kita belum mencapai kualitas kewargaan atau kebangsaan,” katanya.
Untuk memutus mata rantai pembelahan ini, yang diperlukan ialah perubahan “menu” dalam narasi Pemilu 2024, yang tidak sekadar mengkomodifikasi politik identitas, seperti agama dan etnisitas, tetapi menyuarakan program kesejahteraan, transformasi pelayanan publik, pelayanan kesehatan, pendidikan, desentralisasi, dan persoalan-persoalan lain yang menyangkut kebutuhan warga.
“Diskursus semacam itu yang seharusnya dibangun di dalam ruang publik kita. Itu artinya mau tidak mau partai harus berubah dan berbenah. Koalisi tidak semata mengejar jagonya menang, tetapi bagaimana membangun diskursus kewargaan dalam kerja sama itu,” katanya.
Selama koalisi dibangun hanya untuk mengusung seseorang semata, tidak akan ada banyak perubahan yang terjadi. Upaya simbolik mengatasi pembelahan tanpa diikuti praksis di lapangan akan menjadi suatu hal yang sia-sia.
Literasi pemilih
Di satu sisi, politik identitas yang mendapatkan panggung di medsos juga tidak mudah diatasi. Medsos telah menjadi palagan persaingan narasi antarkandidat, yang bahkan lebih ramai dan banal daripada kampanye langsung secara fisik. Fenomena ini sulit dihindari ketika ada orang atau pihak tertentu yang sengaja “beternak” akun di medsos untuk membentuk pasukan siber yang bergerak dalam satu komando untuk menyerang lawannya.
Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Media Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto bahkan menilai situasi ini makin mengkhawatirkan pada Pemilu 2024. Penyebabnya, banyak orang di medsos yang tidak memiliki literasi yang baik dalam bermedia sosial, dan mudah tersulut emosinya.
“Bagaimana mengendalikannya memang tidak mudah, tetapi penegakan hukum menjadi jalan yang paling mungkin dilakukan terhadap penyebar berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian,” katanya.
Sementara itu, penyelenggara pemilu juga menyadari bahaya politik identitas. Narasi yang digaungkan bukan soal visi dan misi, melainkan serangan ke kandidat yang lain. Belajar dari Pilkada DKI Jakarta, 2017, politik identitas yang berawal di media sosial bahkan berlanjut saat kampanye rapat umum ketika para pendukung saling bertemu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Betty Epsilon Indros mengatakan, dengan pengurangan masa kampanye pada Pemilu 2024 dari 203 hari menjadi 75 hari, diharapkan bisa membuat intensitas pembelahan mereda. Kendati demikian, hal itu tidak menjamin politik identitas bisa mereda. Sebab para pendukung kandidat tetap memanfaatkan media sosial dan kanal tersebut masih digunakan sebagai salah satu sumber informasi oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, lanjut Betty, KPU akan memberikan penekanan kepada parpol untuk melakukan kampanye dengan menyuarakan visi misi dan citra diri kepada pemilih. Pihaknya terus mengingatkan agar narasi yang digaungkan tidak keluar dari sana karena berpotensi melanggar UU Pemilu jika mempertentangkan SARA. Nantinya, sanksi akan diberikan oleh Bawaslu yang mengawasi jalannya kampanye.
Di sisi lain, KPU akan menjadi garda terdepan dan mengambil peran dalam menyiarkan seluruh informasi mengenai pemilu. KPU akan menjadi rujukan informasi mengenai pemilu bagi masyarakat dan mencegah paparan hoaks meluas. “Kalau itu tidak dilakukan, KPU pun bisa menjadi sasaran karena muncul kampanye hitam,” katanya.
Apakah potensi pembelahan yang dikhawatirkan ini sungguh bermanifestasi dalam Pemilu 2024 akan sangat tergantung pada upaya peserta pemilu, kandidat, dan penyelenggara pemilu dalam mengendalikan narasi-narasi yang berpotensi memecah-belah. Di sisi lain, negara diharapkan berperan lebih kuat untuk meningkatkan literasi warga sekaligus menjalankan perannya mengawasi akun-akun yang mengancam persatuan.