Operator Pesawat Malaysia Bisa Kena Denda Rp 5 Miliar
Pesawat sipil asing yang masuk ruang udara Indonesia tanpa izin harus diturunkan secara paksa. Ketentuan itu secara tegas diatur dalam PP Pengamanan Wilayah Udara.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pesawat sipil Malaysia dengan nomor registrasi G-DVOR yang diperintahkan mendarat pekan lalu oleh TNI AU akhirnya dizinkan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, operatornya masih diperiksa oleh penyidik pegawai negeri sipil dan menurut regulasi bisa dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp 5 miliar.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjajaran Atip Latipulhayat mengatakan, aturannya sudah jelas dan tegas dalam PP Pengamanan Wilayah Udara. Pesawat sipil asing yang masuk Ruang Udara Indonesia tanpa izin harus diturunkan secara paksa. ”Ini yang terjadi ketika pesawat sipil Malaysia itu di-force down TNI AU di Batam,” kata Atip, Rabu (18/5/2022).
Dalam PP 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara disebutkan, pesawat udara sipil asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Indonesia harus memiliki izin diplomatik (diplomatic clearance), izin keamanan (security clearance), dan persetujuan terbang (flight approval). Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran akan dikenai denda administratif paling banyak Rp 5 miliar oleh Kementerian Perhubungan.
Pesawat sipil asing yang masuk ruang udara Indonesia tanpa izin harus diturunkan secara paksa.
Atip menilai, aturan tersebut sudah cukup tegas. Apabila ada pelanggaran lain di luar izin, akan dikenai sanksi lain selain denda. Yang penting penegakannya juga jelas.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah menjelaskan, pesawat yang ditahan di Batam sejak Jumat (13/5/2022) itu akhirnya diizinkan meninggalkan Batam pada Senin (16/5/2022) pada pukul 18.00 WIB. Pesawat yang diawaki warga negara Inggris berinisial MJT dan TVB (kopilot) serta CMP (kru) ini diizinkan meninggalkan Lanud Hang Nadim Batam. Pemerintah RI menerbitkan flight clearance atau izin terbang.
”Operatornya masih diperiksa. Proses pemeriksaan terhadap operator pesawat itu masih berlangsung oleh PPNS dari Kantor Otorita Bandara II Ditjen Hubud Kemenhub,” kata Indan.
Ia mengatakan, yang dilepaskan hanya pesawat dan krunya. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kalau ada unsur pidana, bisa ada tambahan denda Rp 2 miliar. Selain itu, juga digunakan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara RI.
Pesawat yang menyatakan sedang kalibrasi alat navigasi ini kehadirannya dideteksi oleh Satrad 213 Tanjung Pinang. Setelah melaporkan hal tersebut ke komando atas, TNI AU menyiagakan satu Flight F-16 di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru untuk melaksanakan intersepsi. Namun, intersepsi tidak jadi dilakukan, dengan pertimbangan kru pesawat menaati instruksi agar kembali ke Kuching. Namun, karena keterbatasan bahan bakar, atas perintah Pangkoopsudnas, pesawat itu diarahkan mendarat di Batam.
Indan menegaskan, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berkewajiban menjaga kedaulatan wilayahnya termasuk wilayah udara. Tugas-tugas tersebut diperankan TNI AU dengan melaksanakan patroli dan pengawasan wilayah udara yurisdiksi nasional, baik menggunakan radar Hanud maupun pesawat tempur sergap.
”Apa yang terjadi di Lanud Hang Nadim Batam menunjukkan tingginya kesiapsiagaan TNI AU dalam menjaga setiap jengkal wilayah udara nasional. Kita tidak akan toleransi terhadap setiap bentuk pelanggaran wilayah udara,” ujar Indan.