Penurunan Kepuasan Publik kepada Presiden Pacu Pemerintah Perbaiki Kinerja
Pemerintah menjadikan turunnya kepuasan publik kepada Presiden Joko Widodo sebagai motivasi untuk lebih semangat bekerja. Penurunan kepuasan juga dianggap sebagai cerminan tingginya ekspektasi publik kepada pemerintah.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tahun politik, tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo menurun hingga titik terendah dalam enam tahun terakhir. Pemerintah memaknai penurunan kepuasan itu sebagai cermin dari peningkatan harapan publik sekaligus motivasi bagi perbaikan kinerja di tengah tantangan yang makin kompleks.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini mengatakan, harapan publik kepada pemerintahan Presiden Jokowi memang selalu tinggi. Bahkan, ekspektasi publik selalu meningkat dari waktu ke waktu. ”Harapan publik tidak statis, terus meningkat. Kami maknai hasil survei itu sebagai sebuah motivasi kerja yang juga makin besar,” kata Faldo saat dihubungi, Senin (16/5/2022).
Pada Minggu (15/5/2022) Indikator Politik Indonesia merilis survei yang menunjukkan penurunan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi. Sebanyak 58,1 persen dari 1.228 responden menyatakan puas dan sangat puas atas kinerja Presiden. Padahal, dalam survei April 2022, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi masih mencapai 64,1 persen.
Harapan publik tidak statis, terus meningkat. Kami maknai hasil survei itu sebagai sebuah motivasi kerja yang juga makin besar.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, angka kepuasan itu berada di titik terendah jika dibandingkan dengan survei berkala sejak Januari 2016 atau selama enam tahun. Sebelum 2016, tepatnya pada Juni 2015, tingkat kepuasan terhadap Presiden pernah jatuh lebih dalam ke angka 40,7 persen.
Kerja Presiden membangun infrastruktur menjadi alasan 27,7 persen responden puas dan sangat puas. Alasan lain adalah kinerjanya sudah bagus (20,1 persen) dan memberi bantuan kepada rakyat kecil (12,7 persen).
Adapun responden yang kurang puas dan tidak puas dengan kinerja Presiden pada survei yang dilaksanakan pada 5-10 Mei 2022 itu mencapai 35,1 persen. Melonjaknya harga kebutuhan pokok menjadi alasan terbanyak responden tidak puas (28,9 persen). Dua alasan tertinggi berikutnya, bantuan tidak merata (10,7 persen), yang kemungkinan disebabkan distribusi bantuan langsung tunai minyak goreng tak tepat sasaran, serta lapangan kerja/pengangguran (8,4 persen).
Faldo menyampaikan terima kasih atas harapan publik yang masih tinggi terhadap Presiden Jokowi. Pemerintah akan menjawab ekspektasi masyarakat dengan semangat untuk memperbaiki kinerja. Salah satunya keinginan masyarakat untuk kembali bangkit pascapandemi Covid-19.
”Kami sadar keinginan warga juga makin besar untuk bangkit kembali. Ini yang harus dijawab dengan kerja yang hebat,” ujarnya. Dengan begitu, diyakini kepercayaan publik kepada pemerintah akan kembali meningkat.
Inflasi
Sementara itu, berdasarkan survei yang sama dapat diketahui tren kepuasan publik terhadap kinerja Presiden juga dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya inflasi. Survei Indikator Politik Indonesia memotret, saat inflasi bulanan tinggi, kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi turun. Menurut Burhanudin, hal itu setidaknya terlihat sejak Februari 2022.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, hasil survei Indikator Politik Indonesia ini lebih mengonfirmasi lagi indeks-indeks ekonomi yang ada. ”Memang saat ini isu terbesar adalah masalah harga kebutuhan pokok dan juga energi, yang dipotret salah satunya (adalah) minyak goreng dan BBM,” katanya.
Indikator Bank Indonesia soal indeks keyakinan konsumen pun memperlihatkan, problem sekarang ini adalah masyarakat merasa kecepatan kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok itu tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan kerja. Kelompok paling terdampak adalah mereka yang pengeluaran per bulannya di bawah Rp 1 juta sampai Rp 2 juta atau mepet dengan garis kemiskinan.
Bhima menegaskan, pemerintah tidak dapat menganggap enteng masalah inflasi. Sebab, inflasi yang terjadi sekarang adalah inflasi akibat masalah disrupsi rantai pasok. ”Ada masalah kelangkaan pasokan, ada masalah biaya produksi, (sehingga) distribusinya menjadi lebih mahal, enggak di Indonesia, enggak di negara lain,” katanya.
Pemerintah mesti segera menyelesaikan persoalan harga kebutuhan pokok. Mitigasinya pun tidak dapat hanya berupa perlindungan sosial. Apalagi, besaran jaminan sosial sekarang hanya sekitar 2 persen dari total produk domestik bruto. ”Jadi, Indonesia salah satu yang rendah. Itu pun sudah mengalkulasikan jaminan sosial, perlindungan sosial, bansos dari anggaran penanganan Covid-19 atau PEN (pemulihan ekonomi nasional) itu,” ujar Bhima.
Melihat kondisi seperti ini, Bhima menuturkan, menjadi wajar ketika temuan survei Indikator mengonfirmasi banyak masyarakat yang tidak mendapat bantuan. Dan, bahkan, salah sasaran pun masih terjadi karena masalah validitas data di lapangan dan lainnya.
”Berapa banyak yang akan diberikan BLT tadi? Apakah, misalnya, masyarakat yang masuk golongan tidak mampu? Golongan tidak mampu kita kalau dijumlahkan (yang) miskin dan rentan miskin itu lebih dari 100 juta orang. Dan, enggak mungkin semuanya akan ter-cover dengan BLT, apalagi BLT minyak goreng tadi,” katanya.