Isu hak asasi manusia kian termarjinalkan di tengah derap gemuruh pembangunan.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Bulan Mei datang lagi. Mei punya arti dalam sejarah republik ini. Gerakan reformasi tahun 1998—dua puluh empat tahun lalu—terjadi di bulan Mei. Diawali dengan krisis ekonomi, jadi krisis sosial dan krisis politik yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun menyatakan berhenti sebagai presiden dan digantikan Wapres BJ Habibie.
Gerakan reformasi Mei 1998 tak bisa dilepaskan dari peristiwa di Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Selasa siang, 12 Mei 1998, yang terik itu, saya berada di kawasan Grogol dan menyaksikan bagaimana aparat keamanan yang berada di atas jalan layang Grogol memberondong mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Peristiwa itu menjadi berita utama di harian Kompas, 13 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hertanto, dan Hendriawan Sie.
Sejumlah tokoh politik hadir ke Kampus Trisakti untuk mengecam kekerasan aparat. Berdasarkan berita Kompas, 14 Mei 1998, tokoh masyarakat seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution, dan Karlina Supelli hadir di kampus. Para tokoh itu mengecam penembakan di Kampus Trisakti dan menyerukan reformasi.
Menyusul penembakan di Trisakti, kerusuhan sosial terjadi di Jakarta. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Kerusuhan Mei 1998. Sampai saat ini, Kerusuhan Mei 1998 masih jadi sejarah hitam bangsa Indonesia dan memuncak pada 20 Mei 1998 setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai presiden.
Reformasi Mei yang diteruskan dengan percepatan pemilu dan perubahan konstitusi telah mengantarkan sejumlah tokoh reformasi sebagai pemimpin lembaga negara. Amien Rais terpilih sebagai ketua MPR, Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden dan kemudian presiden, menggantikan Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal sebagai Kelompok Ciganjur bersama Sultan Hamengku Buwono X. Panglima ABRI Jenderal Wiranto kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Panglima Kostrad (waktu itu) Letjen Prabowo Subianto kini menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Presiden Joko Widodo.
Di sisi lain, mahasiswa dan masyarakat biasa yang menjadi korban tetaplah menjadi korban pergolakan politik. Kerusuhan Mei 1998 yang belakangan digabungkan dengan Tragedi Trisakti dan Semanggi tetap menjadi sejarah gelap bangsa. Penembakan di Trisakti dan penembakan di Kampus Universitas Atma Jaya berada pada masa pemerintahan berbeda. Tragedi Semanggi terjadi pada era Presiden BJ Habibie. Sementara Kerusuhan Mei 1998 di bawah pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden No 057/PK/2005 yang memberikan penghargaan Bintang Jasa Kehormatan Pratama kepada empat mahasiswa Trisakti itu. Dokumen Nawacita yang mengantarkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi presiden 2014-2019 menjanjikan akan menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, termasuk Tragedi Trisakti-Semanggi, untuk diselesaikan secara berkeadilan.
”Pemerintah terkesan abai untuk melunasi janji kampanye dan menyelesaikan tugas konstitusionalnya, mengungkap pelanggaran masa lalu,” kata Luhut Pangaribuan, advokat yang memimpin LBH Jakarta pada Mei 1998, dalam percakapan dengan saya di kanal Youtube Backtobdm. Sederet pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dibiarkan mengambang tak menentu, termasuk nasib korban penculikan yang tak ketahuan nasibnya. ”Bagaimana nasib Widji Thukul. Apakah pemerintah sudah menemui keluarga dan menjelaskan ikhtiar pemerintah menemukan kembali Thukul dan korban penculikan lainnya?” kata Luhut.
Terhadap keluarga korban Trisakti, Menteri BUMN Erick Thohir mencoba mengambil prakarsa dengan memberikan bantuan rumah untuk keluarga korban. ”Langkah itu patut dihargai. Namun, akan lebih baik jika prakarsa itu diambil resmi oleh negara, apakah Menteri Sosial atau oleh Menko Polhukam,” ujar alumnus Universitas Trisakti, Usman Hamid, yang kini menjadi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Dalam halalbihalal dengan aktivis 1998 di Jakarta, 12 Mei 2022, Menteri BUMN mengatakan tak ingin bantuan untuk keluarga korban penembakan Trisakti dipandang sebagai upaya politik tertentu. ”Mengapresiasi pahlawan reformasi dengan (memberikan) perumahan itu tetap payungnya kemanusiaan, jangan dilihat payungnya secara politis,” kata Erick.
Erick menegaskan perjuangan korban Trisakti harus terus diingat oleh generasi penerus bangsa. ”Itu sebuah kemanusiaan yang harus tetap kita gerakkan karena kalau itu tidak terjadi, kita akan hilang sebagai bangsa. Bangsa besar adalah bangsa yang ingat pada sejarah,” kaat Erick, seperti dikutip Kompas.com.
Terlepas kepentingan politik apa pun, langkah memberikan perhatian kepada korban pelanggaran HAM layak terus dilakukan. Selain korban penembakan Trisakti, masih ada korban Semanggi, korban penculikan, dan korban pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang butuh perhatian dan pengakuan dari negara.
Isu hak asasi manusia kian termarjinalkan di tengah derap gemuruh pembangunan. Padahal, mengutip Sindhunata dalam pengantar buku Negara di Simpang Jalan, terkait dengan pelanggaran HAM, kita telah menjadi bangsa pelupa. Pelupaan itu jelas tindak tercela yang tidak menghormati korban dan abai terhadap penderitaan keluarga. Hormat pada hak asasi manusia adalah asas dasar tegaknya demokrasi. Apabila demokrasi mengubur hak asasi manusia, sama saja demokrasi sedang menggali kuburnya sendiri. Masih ada waktu untuk melunasi tugas konstitusional.