Napi Koruptor Dapat Remisi Lebaran Asalkan Lunasi Denda
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Kemenkumham telah menerima usulan remisi Hari Raya Idul Fitri bagi napi korupsi dari berbagai daerah. Namun, jumlah penerima remisi itu masih diinventarisasi dan diproses.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah putusan uji materi Mahkamah Agung terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012, kini narapidana kasus korupsi lebih leluasa untuk mendapatkan remisi, termasuk remisi Idul Fitri. Mereka hanya diwajibkan membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Sebagai respons atas putusan MA itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Permen itu merupakan perubahan kedua atas Permen No 3/2018, sebagai turunan dari PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham juga telah menerima pengusulan remisi napi korupsi dari berbagai daerah. Namun, jumlah penerima remisi dalam kasus korupsi itu masih diinventarisasi dan diproses di Ditjen Pas. Kepastian pemberian remisi untuk napi akan diumumkan saat Idul Fitri.
”Soal jumlahnya berapa dan soal data itu harus dicek lagi karena itu masih diproses untuk pendataan dan lain-lain. Tetapi, yang pasti karena putusan MA itu PP No 99/2012 masih berlaku. Yang dihilangkan adalah syarat bekerja sama dengan penegak hukum (justice collabolator),” kata Rika Aprianti, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pas, Jumat (29/4/2022), di Jakarta.
Rika menambahkan, bagi napi kasus korupsi ada syarat khusus yang harus dipenuhi, yakni kewajiban membayar denda dan uang pengganti yang telah diputuskan oleh pengadilan. ”Kalau sudah diganti, mereka baru bisa diusulkan untuk mendapatkan remisi,” katanya.
Kewajiban untuk membayar denda dan uang pengganti khusus untuk napi korupsi itu diatur dalam Permen No 7/2022 yang diundangkan pada 27 Januari 2022.
MA dalam putusan uji materinya membatalkan Pasal 34 A Ayat (1) huruf (a) PP No 99/2012. Pasal itu mengatur soal kesediaan bekerja sama dengan penegak hukum (justice collabolator) dari tindak pidana terorisme, narkotika, prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan transnasional terorganisasi.
Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman mengatakan, dari pantauan pihaknya, sejumlah lembaga pemasyarakatan memang telah mengajukan permohonan remisi, termasuk bagi napi kasus korupsi. Namun, jumlah napi korupsi yang akan mendapatkan remisi masih menunggu keputusan dari pimpinan Ditjen Pas.
”Usulan sudah ada, tetapi berapa jumlahnya belum bisa diinfokan. Info remisi keluar nanti diumumkan saat hari H. Ini karena bisa jadi mereka-mereka yang sebelumnya diusulkan dan disetujui, tiba-tiba dibatalkan karena ada insiden tertentu,” katanya.
Tidak merasa bersalah
Dihubungi terpisah, Direktur Center for Detention Studies (CDS) M Ali Aranoval mengatakan, dengan putusan MA itu, napi korupsi memang lebih mudah mendapatkan remisi. Namun, tetap ada mekanisme di Permen No 7/2022 yang mengatur lebih detail tentang syarat pemberian hak kepada napi korupsi.
Selain kewajiban membayar denda dan uang pengganti, napi korupsi dalam syarat umumnya juga harus melalui pembinaan sesuai dengan sistem penilaian pembinaan narapidana yang ditandatangani oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (lapas).
”Titik beratnya ada di sistem penilaian pembinaan napi (SPPN) karena inilah yang jadi alat pengukur apakah seorang napi layak mendapatkan remisi atau tidak,” kata Ali.
Selama mereka masih merasa tidak bersalah dan merasa hanya korban sistem, artinya mereka belum menyadari kesalahannya melakukan korupsi yang merugikan banyak orang. Sikap yang semacam ini seharusnya tidak lolos SPPN, dan tidak dapat mendapatkan remisi.
Pada kenyataannya, kata dia, di lapangan kerap dijumpai napi-napi kasus korupsi yang merasa dirinya tidak bersalah, dan merupakan korban dari sistem semata. Situasi ini tentu tidak sesuai harapan dari pemasyarakatan tentang munculnya kesadaran dari pribadi napi korupsi untuk menyesali dan menyadari perbuatannya telah merugikan orang lain.
”Selama mereka masih merasa tidak bersalah dan merasa hanya korban sistem, artinya mereka belum menyadari kesalahannya melakukan korupsi yang merugikan banyak orang. Sikap yang semacam ini seharusnya tidak lolos SPPN, dan tidak dapat mendapatkan remisi,” kata Ali.
Penilaian yang obyektif dan detail terkait dengan perilaku dan sikap napi melalui SPPN ini juga telah diatur melalui sejumlah indikator yang harus diukur. Pengukuran melalui SPPN ini sekaligus sebagai alat deteksi apakah telah timbul efek jera selama napi berada di dalam pemasyarakatan.
Dalam kasus korupsi, menurut Ali, penilaian melalui SPPN ini akan lebih rumit, karena petugas lapas berhadapan dengan mantan pejabat, tokoh, yang semuanya penjahat kerah putih. Mereka cenderung mempertahankan sikapnya, dan tidak mengakui kesalahannya melakukan korupsi. Pada titik ini, jika SPPN dijalankan dengan baik, indikator efek jera itu tidak terpenuhi, dan semestinya untuk napi-napi dengan karakteristik semacam itu mereka tidak mendapatkan remisi.
”Dari SPPN itu kan nanti terbangun ada atau tidaknya efek jera. Nah, indikator dalam SPPN itu dijalankan dengan benar atau tidak, dan apakah sistem itu berjalan dengan sungguh-sungguh atau tidak, itu menjadi tantangan pemasyarakatan,” ujarnya.
Ali mengakui masih ada kelemahan dalam SPPN, antara lain karena secara psikologis petugas lapas yang melakukan penilaian terhadap napi korupsi umumnya masih tertinggal. Misalnya, napi jauh lebih berpendidikan, lebih berpengaruh, lebih kaya, dan lebih berpengalaman daripada petugas lapas yang melakukan penilaian. Oleh karena itu, ada kerentanan indikator SPPN itu tidak dapat dinilai dengan baik lantaran adanya hambatan psikologis semacam itu.
Peneliti CDS Gatot Goei mengatakan, penggunaan SPPN juga tidak berdiri sendiri karena harus dilakukan berdasarkan klasifikasi risiko narapidananya. ”Sebelum dilakukan penilaian, narapidana harus diukur dulu risikonya karena setiap lembar penilaian dibedakan dengan risiko narapidana dari tingkat super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security,” katanya.
Dengan adanya putusan MA, menurut Gatot, perdebatan mengenai apakah pembatasan remisi terhadap napi korupsi melanggar hak napi ataukah tidak, telah ada landasan hukumnya. Namun, dengan persyaratan yang ketat, seperti SPPN, seharusnya napi-napi korupsi itu melewati pemeriksaan ulang, mengenai perilaku mereka dan ada tidaknya efek jera pada mereka.
”Tidak otomatis dapat remisi karena harus ada bukti keikutsertaan napi korupsi dalam kegiatan pembinaan di lapas dan tidak ada catatan pelanggaran disiplin atau letter F. Artinya kalau nanti napi koruptor dapat remisi, yang bersangkutan dicatat telah aktif dalam program pembinaan, dan tidak ada catatan pelanggaran,” katanya.