Ketika Kebijakan Minyak Goreng Berkepanjangan dan Mengambang...
Gonjang-ganjing minyak goreng di negeri ini telah berlangsung berbulan-bulan sejak akhir tahun lalu.Kebijakan pas yang dikomunikasikan secara jelas dibutuhkan agar persoalan tersebut lekas diselesaikan dan tak merugikan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F15%2Fcee93392-a20a-4b9b-8dc0-8cce8cb60624_jpg.jpg)
Minyak goreng kemasan yang dijual pedagang di pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (15/3/2022). Pedagang mengakui menjual minyak goreng kemasan seharga Rp 35.000 per dua liter. Merek-merek minyak goreng baru bermunculan mengisi kekosongan stok minyak goreng di pasaran.
Persoalan minyak goreng yang membelit beberapa bulan terakhir ditandai dengan kenaikan harga minyak goreng yang mulai merambat sejak akhir 2021. Kenaikan harga kian terasa di awal 2022. Konflik bersenjata Rusia-Ukraina yang baru terjadi mulai 24 Februari 2022 pun dijadikan salah satu alasan.
Di tanggal 9 Maret 2022, pemerintah membuat kebijakan berupa kenaikan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen. Adapun harga minyak curah dipatok Rp 11.500 per liter dan harga minyak kemasan Rp 14.000 per liter.
Tanpa memenuhi DMO, perusahaan tak boleh mengekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Perusahaan pengolah turunan sawit nonminyak goreng pun kalang-kabut. Minyak goreng menjadi barang langka di pasar tradisional maupun toko retail.
Sepekan kemudian, 16 Maret 2022, kebijakan DMO ini dicabut. Harga minyak kemasan diserahkan pada mekanisme pasar. Adapun harga minyak goreng curah dipatok menjadi Rp 14.000 perliter atau 15.500 per kilogram. Namun, saat melakukan kunjungan kerja, Presiden Joko Widodo berkali-kali mendapati harga minyak goreng masih dikeluhkan para ibu. Di pasar, harga minyak goreng curah dijual Rp 17.000-18.000 per kg atau di atas harga yang ditentukan pemerintah.
Pada Jumat, 22 April 2022, akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, terutama berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Di dalam rapat tersebut diputuskan bahwa pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/20220) sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
“Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pernyataan terkait kebijakan minyak goreng di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat lalu.
Secara eksplisit tersampaikan secara jelas bahwa tujuan kebijakan larangan ekspor tersebut adalah agar minyak goreng tersedia melimpah di dalam negeri dengan harga terjangkau. Hal yang belum jelas adalah menyangkut jenis bahan baku minyak goreng yang akan dilarang untuk diekspor per tanggal 28 April 2022 tersebut.
“Saya akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau”
Orkestra kebijakan
Kebijakan pemerintah yang terus berubah terkait penanganan harga minyak goreng sejak Januari lalu, menurut Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menandakan koordinasi yang kurang tepat di tingkat eksekutif. “Ibarat sebuah orkestra, Presiden merupakan dirigennya yang harus membuat lebih bagus,” ujar Rusli.
Namun, bisa juga koordinasi dari para pengambil keputusan ini menjadi buruk ketika para menteri bermain sendiri. Hasil ketidaksinkronan pemerintah dalam membuat orkestra kebijakan ini berdampak buruk pada petani sawit. “Antara dua, dirigennya nggak mampu atau pemain orkestra yang bermain sendiri sehingga memunculkan ketidakharmonisan. Yang kasihan benar adalah petani karena harga tandan buah segar (TBS) jadi anjlok,” ujar Rusli.

Harga buah sawit terus merosot di berbagai daerah dalam empat hari terakhir terimbas aturan pemerintah yang melarang ekspor minyak goreng dan bahan minyak goreng. Pemerintah didesak untuk memperjelas aturan agar tidak sampai berdampak lebih luas. Petani mengumpulkan hasil panen di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Selasa (26/4/2022).minyak goreng. Pemerintah didesak untuk memperjelas aturan agar tidak sampai berdampak lebih luas.
Baca Juga: Larangan Ekspor Minyak Goreng Harus Diikuti Tumbuhnya Industri Hilir Sawit
Akibat dari kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng yang pertama kali dilontarkan Presiden Jokowi pada Jumat, 22 April 2022, sebagian petani sawit juga sempat menunda panen. “Karena mengira seluruh CPO dilarang ekspor, 3-4 hari ini ada kebingungan nggak jelas. Intinya menimbulkan gaduh, panik, tertekan,” tambahnya.
“Karena mengira seluruh CPO dilarang ekspor, 3-4 hari ini ada kebingungan nggak jelas. Intinya menimbulkan gaduh, panik, tertekan”
Kelangkaan minyak goreng semakin diperparah setelah Kejaksaan Agung mengungkap adanya dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas Ekspor Crude Palm Oil (CPO). Dalam kasus tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrashari Wisnu Wardhana ditetapkan sebagai tersangka. penyalahgunaan dokumen ekspor bagi sejumlah perusahaan bersama sejumlah pengusaha swasta.
Setelah telanjur muncul kegaduhan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto secara virtual di Jakarta, Selasa (26/4/2022) malam menyebut bahwa larangan ekspor ditujukan pada bahan baku minyak goreng, yaitu refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein dengan kode klasifikasi barang perdagangan atau harmonized system/HS 1511.90.36, HS 1511.90.37, dan HS 1511.90.39. Sementara Menteri Perdagangannya Muhammad Lutfie tampak tidak bersuara.
Sehari kemudian (27/4/2022), ketentuan berubah kembali. “Sesuai dengan keputusan Bapak Presiden (Jokowi) mengenai hal tersebut dan memperhatikan pandangan dan tanggapan dari masyarakat, kebijakan pelarangan ini didetailkan yaitu berlaku untuk semua produk, baik itu CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME, dan Used Cooking Oil. Ini semuanya sudah tercakup di dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan akan diberlakukan malam hari ini, jam 00.00,” kata Airlangga dalam keterangan pers secara daring, Rabu (27/4/2022) malam.
Akhirnya, bukan hanya RBD Palm Olein yang dilarang ekspor, tetapi juga CPO, RPO, POME, dan used cooking oil. Adapun pelaksanaan kebijakan tetap sama, diawasi Bea dan Cukai. Pelanggaran, kata Airlangga, akan ditindak tegas
Menurut Rusli, kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah ini pun tidak memberi jaminan bahwa harga minyak goreng akan turun. “Berlarut-larut cuma urusan minyak goreng. Jadi pelajaran penting bagi pengambil kebijakan agar koordinasi dimatangkan dulu di dapur melibatkan semua stakeholder; ya, pengusaha, ya, menteri terkait, baru dikeluarkan kebijakan. Jangan ngomong kebijakannya dulu baru beleid-nya menyusul,” ujarnya.
Larangan ekspor justru akan menguntungkan negara lain seperti Pakistan dan Malaysia. Rusli mengusulkan agar pemerintah sebaiknya memberikan subsidi ke produsen minyak goreng dengan mekanisme misalnya melalui Bulog. Dana untuk subsidi diperoleh dari kebijakan menaikan tarif ekspor CPO yang telah dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan 23/PMK.05/2022.
Seluruh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga sebaiknya berdasarkan data. Data menunjukkan bahwa konsumsi terbanyak minyak goreng adalah minyak goreng curah sebesar 60 persen. “Otomatis, kalau tahu peta ini, pemerintah memastikan apapun kebijakannya, mau DMO, mau subsidi, itu harus menjamin adanya ketersediaan minyak goreng curah,” kata Rusli.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F10%2F08%2F68b42fda-6c39-42d0-be24-22773887592e_jpg.jpg)
Tidak tegaknya aturan dan pengawasan oleh pemerintah menyebabkan masyarakat menerapkan sendiri larangan melintasi jalan negara di desa mereka bagi truk-truk batubara, sebagaimana terjadi di Desa Muara Kumpeh, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Minggu (12/8/2018). Larangan dibuat karena maraknya truk batubara belakangan ini telah meresahkan masyarakat, karena mengakibatkan kemacetan dan polusi udara.
Pemerintah juga perlu berdialog dengan pengusaha agar bisa mencapai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000. “Sekuen dari Januari ini memang menggambarkan tidak matang kebijakannya. Januari subsidi malah (diberikan untuk) minyak goreng kemasan. Minyak goreng curah malah disubsidi baru di minggu terakhir Januari. Masuk Februari diganti DMO/DPO. Nah itu, sejak awal, petanya belum terlihat jelas oleh pemerintah sehingga menghasilkan kebijakan yang bolak balik atau plin plan,” tambahnya.
Komunikasi mengambang
Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyinggung tentang imbas pelarangan ekspor yang langsung dirasakan ke petani sawit. Harga jual TBS sempat turun hingga 50 persen. “Ini reaksi dari perusahaan sawit karena antisipasi stok bahan baku berlimpah jika larangan ekspor diberlakukan. Ketidakjelasan aturan pemerintah juga dimanfaatkan dengan baik oleh para pengepul tandan buah segar,” kata Bhima.
"Kesalahan terletak pada komunikasi pemerintah yang mengambang"
Menurut Bhima, kesalahan terletak pada komunikasi pemerintah yang mengambang. Pernyataan Presiden juga tidak jelas apakah yang dilarang ekspor CPO atau RBD olein. Aturan teknis juga belum keluar dari Kementerian Perdagangan, apa yang dimaksud bahan baku minyak goreng.
“Alhasil seluruh CPO dianggap oversupply dan pengepul leluasa menekan harga di tingkat petani. Ini juga menjadi bukti bahwa mata rantai sawit yang paling rentan adalah petani atau pekebun rakyat dan buruh tani. Di saat pupuk mahal petani akan jadi sasaran empuk kebijakan pemerintah,” ujar Bhima.
Sementara itu harga minyak goreng juga belum terpantau turun di pasar dan stok curah masih sulit ditemukan. “Ini jadi pelajaran penting komunikasi pemerintah harus clear, ada permendag-nya atau aturan teknis yang dikeluarkan. Berapa lama penghentian ekspor juga harus jelas sehingga tidak merugikan petani,” ujar Bhima.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F14%2F3d33d39c-f78e-4dc5-872f-5b3307ee5592_jpg.jpg)
Warga antre membeli minyak goreng curah di salah satu penyalur di ibu kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (14/4/2022). Pembeli minyak goreng curah seharga Rp 15.500 per kilogram di tempat itu dibatasi maksimal 600 orang per hari. Sebagian besar pembeli adalah para pedagang makanan yang tergantung pada ketersediaan minyak goreng dalam menjalankan usahanya.
Harga minyak goreng diperkirakan akan sulit turun. Sebagai kompensasi hilangnya pendapatan ekspor RBD olein, pengusaha akan meningkatkan marjin keuntungan minyak goreng khususnya kemasan.
Harga CPO di pasar internasional juga telah naik karena merespon pelarangan ekspor RBD olein.
Kalaupun kebijakan tersebut dicabut, harga sudah terlanjur tinggi dan akan menjadi acuan harga jual minyak goreng baru. Produsen juga berpotensi mengurangi stok RBD olein yang berlimpah dengan sengaja tidak memproses RBD olein dan hanya fokus pada produk turunan CPO lainnya. “Pertanyaan besarnya siapa yang akan menanggung ekses kelebihan pasokan RBD olein? Tentu pengusaha tidak mau ambil risiko stok menumpuk di gudang karena ada biaya tambahan. Solusinya, perlu dievaluasi lagi,” ucapnya.
Bhima mengusulkan agar pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO menjadi lebih tinggi untuk memberikan dis-insentif bagi pengusaha yang porsi ekspornya terlalu tinggi. Sejauh ini pungutan ekspor CPO masih terbilang rendah sehingga disparitas harga jual ekspor dan didalam negeri masih terlalu jauh. “Cara lain, bisa juga dengan menaikkan bea keluar CPO. Intinya ada mekanisme yang bisa digunakan bukan dengan melakukan proteksionisme seperti melarang total ekspor RBD olein,” tambahnya.
Baca Juga: Larangan Ekspor Terbatas pada RBD Olein dan Minyak Goreng
Kebijakan terkait minyak goreng yang terus berubah dan tak mengena sasaran ini, menurut Pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya Gitadi Tegas Supramudyo, semestinya diambil berbasis analisa dan bukti atau data.
“Jadi, niat baik saja tidak cukup dalam membuat kebijakan. Harus cerdas. Kalau kepentingan hampir selalu ada dalam setiap kebijakan”
Data yang komprehensif akan menentukan kebijakan publik membawa output dan outcome yang baik. “Jadi, niat baik saja tidak cukup dalam membuat kebijakan. Harus cerdas. Kalau kepentingan hampir selalu ada dalam setiap kebijakan,” tutur Gitadi.
Teoritis politik, komunikasi, dan kebijakan publik Amerika Harold D Lasswell dalam konsep ilmu kebijakannya (1971) juga menekankan arti penting pengetahuan atau data dalam pembuatan keputusan. Menemukan data dan pengetahuan yang tepat dari berbagai disiplin ilmu adalah kunci untuk mengantisipasi kemungkinan risiko dari suatu isu.
Dari sisi kebijakan publik, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio ketika dihubungi menuturkan bahwa suatu kebijakan mesti dibahas terlebih dahulu agar kemudian tersampaikan jelas kepada publik. Pernyataan presiden seharusnya sudah merupakan keputusan final. Hal yang harus dihindari adalah jangan sampai ada kesan presiden menyatakan sesuatu dan kemudian dianulir oleh menteri.
Presiden Jokowi dalam keterangannya secara daring, Rabu (27/4/2022) petang, mengakui berbagai kebijakan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng selama empat bulan ini belum efektif. Karena itu, diputuskan untuk melarang ekspor bahan baku dan minyak goreng.
Kendati menyadari hal ini berdampak pada negara, berpotensi mengurangi produksi, serta mengakibatkan hasil panen petani tidak terserap, Presiden Jokowi menegaskan hal ini diputuskan untuk memastikan kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi. Wakil Presiden Ma'ruf Amin sehari sebelumnya pun menyebut kebijakan ini sebagai terapi kejut (
shock therapy
).
Karena itu, setelah minyak goreng tersedia berlimpah di pasar dan harga stabil, dijanjikan larangan ekspor akan dievaluasi dan dicabut. Kendati demikian, kebijakan untuk menangani secara tuntas masalah minyak goreng semestinya dilandasi data dan diorkestrasi secara terpadu. Kebijakan pun mesti dikomunikasikan secara jelas. Hal ini diperlukan untuk menuntaskan gonjang-ganjing minyak goreng yang telah berlangsung berbulan-bulan lamanya.