Presiden menginginkan terobosan hukum memerangi kejahatan ekonomi yang masif. Selain adopsi teknologi, juga penyesuaian regulasi. Salah satunya, sebut ICW, adalah RUU Perampasan Aset,
Oleh
NINA SUSILO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya terobosan hukum untuk memerangi kejahatan ekonomi yang semakin masif. Terobosan itu, antara lain, dengan mengadopsi teknologi untuk layanan digital dan penyesuaian regulasi untuk mengatasi berbagai masalah mendasar secepatnya.
Saat peringatan 20 tahun Gerakan Antipencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) di Istana Negara, Jakarta, Senin (18/4/ 2022), secara daring dan luring, Presiden Jokowi mengingatkan tantangan tersebut akibat potensi kejahatan siber, serta beragamnya modus dan bentuk kejahatan baru.
”Saya sadar pencegahan pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme tidak bisa dilakukan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sendiri, tetapi kita harus bersama menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan dan ekonomi,” tutur Presiden.
Karena itu, sinergi dan penegakan hukum yang berkeadilan perlu dibangun. Penyelamatan dan pengembalian kekayaan negara juga harus bisa dipastikan sembari memberi kepastian hukum kepada investor dalam dan luar negeri. Dengan demikian, Indonesia bisa membangun sistem keuangan yang lebih kuat, berintegritas, dan berkelanjutan.
Presiden Jokowi juga meminta semua kementerian/lembaga dan PPATK yang merupakan titik fokus dan lembaga intelijen keuangan (financial intelligent unit/FIU) untuk jeli dan mampu bekerja cepat. Kemampuan SDM dan perangkat harus ditingkatkan supaya mampu menangani modus-modus baru tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme yang sudah melintasi batas negara. Belum lagi kejahatan ekonomi lainnya, seperti kejahatan siber.
”Saya sadar pencegahan pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme tidak bisa dilakukan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sendiri, tetapi kita harus bersama menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan dan ekonomi”
Selain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, hadir pula sejumlah menteri dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar, dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
Menurut Ivan, dalam laporannya, sepanjang dua dekade, PPATK telah menunjukkan sebagai FIU berkapasitas dunia yang kini mulai fokus pada kejahatan lingkungan. Untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme, PPATK menggunakan aplikasi Go Anti Money Laundering (GoAML).
Kejahatan ekonomi, tambah Ivan, tak hanya pencucian uang dan kejahatan kerah putih, tetapi juga kejahatan lingkungan. Satuan Tugas Aksi Keuangan menyebut kejahatan lingkungan mencakup eksploitasi SDA, perdagangan sumber mineral, kehutanan, dan perdagangan limbah ilegal.
Untuk mengantisipasi pendanaan terorisme, sebut Ivan, PPATK telah menggunakan Sistem Info Pendanaan Terorisme (Sipendar). Sistem ini terbukti mempercepat antisipasi dana terorisme.
RUU Perampasan Aset
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, untuk meningkatkan pengembalian kerugian negara akibat kejahatan korupsi, setiap institusi penegak hukum perlu memprioritaskan penggunaan instrumen pencucian uang.
”Pemerintah dan DPR harus memprioritaskan pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal,” kata Lalola.
Sejauh ini RUU Perampasan Aset yang diinisiasi oleh PPATK sejak 2008 pernah didesak oleh Presiden Jokowi pada akhir tahun lalu untuk segera dibahas. Namun, hingga kini masih belum mendapat prioritas DPR.
Selain itu, menurut Lalola, aparat penegak hukum juga diminta terus meningkatkan kapasitasnya agar bisa mengikuti perubahan modus dan bentuk transaksi keuangan yang berujung pada kejahatan korupsi, pencucian uang, atau pengelabuan pajak.
”Ini harus menjadi perhatian penegak hukum, otoritas keuangan, dan perbankan untuk melihatnya sebagai bentuk baru hasil kejahatan yang dipertukarkan”
Berkaca pada kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri, ditemukan modus baru korupsi, yakni dengan manipulasi saham. Dalam pengembangannya, PPATK menemukan transaksi mencurigakan dalam bentuk bitcoin. Meski belum banyak dibicarakan, hal itu perlu diperhatikan seiring perkembangan mata uang kripto yang begitu pesat.
”Ini harus menjadi perhatian penegak hukum, otoritas keuangan, dan perbankan untuk melihatnya sebagai bentuk baru hasil kejahatan yang dipertukarkan,” ujar Lalola.
Pidana berlapis
”Selain follow the suspect, semestinya juga follow the money dan harus disegerakan. Dua pekerjaan ini harus dilakukan sekaligus supaya tidak hanya pelaku dipenjara, tetapi uangnya juga jangan lolos,”
Pakar pidana pencucian uang Yenti Garnasi menyatakan, dua dekade setelah UU Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan dan PPATK dibentuk, penegakan hukum pidana pencucian uang masih lemah. ”Jangankan membuat terobosan hukum dan mengadopsi teknologi, bahkan kemauan menggunakan pasal pencucian uang saja masih
Menurut dia, kelemahan itu paling terlihat pada jajaran Polri dan KPK. Semestinya pengenaan pasal pidana dilakukan secara berlapis, baik untuk kejahatan asal, seperti korupsi, narkoba, dan investasi ilegal, maupun untuk kejahatan pencucian uang.
”Selain follow the suspect, semestinya juga follow the money dan harus disegerakan. Dua pekerjaan ini harus dilakukan sekaligus supaya tidak hanya pelaku dipenjara, tetapi uangnya juga jangan lolos,” tuturnya.
Lebih jauh, Yenti menyatakan, Presiden sebenarnya meminta terobosan hukum terkait Satgas Waspada Investasi Ilegal. Sebab, selama ini Satgas hanya dinaungi surat keputusan bersama para menteri dan tidak dipayungi undang-undang. ”Jadi memang seperti macan ompong sehingga sekarang masih banyak yang tawarkan judi online, bagaimana cyber patrolinya?” kata Yenti.