Imbas Revisi UU, Kinerja Penindakan KPK Terus Menurun
Sejak revisi UU KPK disahkan pada 2019, kerja KPK dinilai kian melemah. Tak hanya dari sisi penindakan, tetapi juga komitmen pimpinan dalam menjaga kode etik.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch sepanjang 2021 memperlihatkan buruknya kinerja penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari target penyelesaian 120 kasus dalam setahun, hanya 32 kasus yang diselesaikan. Jumlah kasus yang ditangani juga cenderung turun selama tiga tahun terakhir.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter memaparkan, ada kecenderungan penurunan dalam penindakan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tiga tahun terakhir. Pada 2019, KPK menangani 62 kasus dengan 155 tersangka, jumlah itu turun pada 2020 menjadi 15 kasus dengan 75 tersangka. Kemudian pada 2021, KPK menangani 32 kasus dan menetapkan 115 tersangka.
Meski ada kenaikan dari segi jumlah kasus dan tersangka dari 2020 ke 2021, jumlah potensi keuangan negara yang diselamatkan terus-menerus turun. Pada 2019, KPK mengidentifikasi kerugian negara sebanyak Rp 6,2 triliun, kemudian anjlok menjadi Rp 805 miliar, dan Rp 596 miliar pada 2021. Selain itu, sepanjang 2021, capaian kinerja penindakan KPK juga masih jauh dari harapan. Dari 120 kasus yang ditargetkan selesai, hanya 32 kasus yang diselesaikan.
”Sejak mengalami revisi Undang-Undang KPK pada 2019, memang ada penurunan signifikan, baik dalam jumlah kasus yang ditangani, penetapan tersangka, maupun potensi kerugian negara. Dari keseluruhan target, hanya 26,6 persen dari target yang bisa dipenuhi sehingga kami memberikan nilai D atau buruk pada kerja penindakan KPK,” kata Lalola dalam jumpa pers daring, Senin (18/4/2022).
Baca juga: Publik Tak Puas, Kinerja KPK Mendesak Diperbaiki
Penilaian yang dimaksud didapatkan dari penghitungan penindakan kasus yang terpantau dibagi dengan total kasus yang ditargetkan setiap lembaga, kemudian dikalikan 100 persen. Skor yang didapat terentang dari 0-100. Skor dibagi ke dalam lima kelompok yang dikategorikan dalam huruf A-E.
Lalola menambahkan, kinerja yang buruk tidak hanya terlihat secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Contohnya, minimnya penetapan aktor strategis sebagai tersangka. Profesionalisme dan integritas juga menjadi catatan dengan adanya kasus suap penanganan perkara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang melibatkan eks penyidik KPK, Stefanus Robin Pattuju.
Sejak mengalami revisi Undang-Undang KPK pada 2019, memang ada penurunan signifikan, baik dalam jumlah kasus yang ditangani, penetapan tersangka, maupun potensi kerugian negara. Dari keseluruhan target, hanya 26,6 persen dari target yang bisa dipenuhi sehingga kami memberikan nilai D atau buruk pada kerja penindakan KPK.
KPK juga pasif dalam menyupervisi penegak hukum lain dalam menangani kasus korupsi, salah satunya korupsi PT Asabri yang ditangani Kejaksaan Agung. Padahal, kewenangan supervisi merupakan fungsi KPK yang melekat baik dalam UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menghambat
Menurut Lalola, revisi UU KPK tidak hanya berimbas pada tren penindakan secara umum, tetapi juga pada anjloknya jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini menjadi saah satu kekuatan KPK. ICW mencatat, KPK melakukan 21 OTT pada 2019, kemudian tujuh OTT pada 2020, begitu juga pada 2021 dilakukan tujuh OTT. Padahal, selama lima tahun terakhir, KPK kerap melakukan OTT, puncaknya terjadi pada 2018, dalam setahun ada 30 OTT yang pernah dilakukan.
Diberitakan sebelumnya, setelah direvisi, UU KPK mengatur tentang mekanisme penyadapan yang membutuhkan waktu lebih panjang. Penyadapan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Adapun penyadapan, selama ini merupakan bagian dari OTT yang kerap mempercepat operasi tersebut.
Revisi UU KPK juga mengatur alih status pegawai KPK. Alih status itu ditindaklanjuti pimpinan KPK dengan menyelenggarakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang belakangan menjadi kontroversi karena dinyatakan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan mala-administrasi. Sebanyak 58 pegawai KPK dinonaktifkan karena tidak lolos TWK. ”Pemecatan 58 pegawai KPK melalui TWK diduga kuat menghambat (penyelesaian) perkara,” kata Lalola.
Hambatan yang dimaksud terjadi karena dari 32 kasus yang ditangani KPK pada 2021, lima di antaranya dikerjakan oleh pegawai yang dinonaktifkan karena tidak lolos TWK. Sejumlah kasus itu, antara lain, adalah suap pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jambi 2017-2018; korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta; korupsi Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR) Kota Banjar, Jawa Barat. Ada pula suap di Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan; serta suap penanganan perkara Tanjung Balai.
Lalola menambahkan, implikasi lain dari revisi UU KPK dan penonaktifan sejumlah pegawai lewat TWK adalah kecenderungan enggan mengejar buron. Hingga saat ini, ada empat orang di daftar pencarian orang (DPO) yang tak kunjung ditangkap. Mereka adalah Kirana Kotama, Izil Azhar, Surya Darmadi, dan Harun Masiku. ”Alih-alih menangkap buron, kasatgas (kepala satuan tugas) yang menangani kasus Harun Masiku justru turut diberhentikan melalui TWK,” ujarnya.
Temuan ICW tentang pelemahan kinerja penindakan KPK sejalan dengan hasil survei Litbang Kompas pada 22-24 Februari lalu. Dari 506 responden yang diwawancarai, 48,2 persen menyatakan tidak puas dengan kerja KPK. Alasan terbesarnya adalah kinerja Dewas KPK yang tidak optimal (34,3 persen), penurunan OTT (26,7 persen), dan terlalu banyak kontroversi (18,7 persen).
Baca juga: Menyelamatkan KPK dari Titik Nadir
Kontroversi yang dimaksud, antara lain, terkait dengan iklan antikorupsi yang menggunakan foto Ketua KPK Firli Bahuri, lagu Mars KPK ciptaan istri Firli Bahuri, juga pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang tidak mendapatkan sanksi tegas dari Dewas. Belakangan, Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan kepada Dewas karena diduga menerima fasilitas akomodasi berupa hotel serta tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika pada 18-20 Maret 2022 dari salah satu perusahaan BUMN.
Lembaga lain
Selain KPK, pemantauan ICW juga merekam penindakan korupsi oleh Kejaksaan dan Polri. ICW mencatat, sepanjang 2021, Polri telah menyelesaikan 130 kasus dengan 244 tersangka. Kerja itu dapat menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp 290 miliar. Akan tetapi, capaian itu masih jauh dari target Polri, yakni menangani 1.526 kasus sepanjang tahun. ICW mengategorikan capaian itu pada huruf E atau sangat buruk.
Adapun Kejaksaan menangani 371 kasus dengan 814 tersangka. Dari sejumlah kasus itu, potensi kerugian negara yang diselamatkan mencapai Rp 26,5 triliun. Persentase kinerja Kejaksaan sekitar 53 persen dari target 571 kasus atau masuk dalam kategori B, yakni baik. Meski demikian, itu tidak bisa dicatat sebagai capaian luar biasa karena Kejaksaan harus bisa memastikan sejumlah dana itu dapat dikembalikan ke negara.
Terkait dengan profesionalisme, diduga belum semua level Kejaksaan melaksanakan penanganan kasus korupsi. Selain itu, terdapat pula pengembangan kasus yang sangat dinantikan publik, yakni korupsi yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari. ”Jika tidak ditindaklanjuti, itu akan menguatkan dugaan konflik kepentingan dalam kasus tersebut. Publik menunggu terobosan Kejaksaan Agung untuk menyupervisi kejaksaan negeri yang menangani kasus itu secara langsung,” kata Lalola.
Minim kasus strategis
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, sepakat, tren penurunan kerja KPK sudah terjadi sejak 2020. Tidak hanya pada penindakan, tetapi juga pada ranah pencegahan dan pendidikan masyarakat. Khususnya dalam penindakan, kinerja yang buruk tidak saja terlihat pada jumlah yang sedikit, tetapi juga minimnya kasus strategis yang ditangani.
Kasus strategis yang dimaksud terkait dengan kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah dilakukan oleh pejabat dengan kewenangan yang sangat besar atau aparat penegak hukum serta memengaruhi hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, dengan keterbatasan sumber daya dan anggaran, semestinya KPK fokus untuk menangani kasus-kasus yang memiliki tiga unsur itu. Apalagi, KPK memang didirikan untuk memicu percepatan penegak hukum lain dalam menangani kasus korupsi.
”Kasus korupsi yang ditangani KPK pada 2021 itu tidak hanya angkanya rendah, tetapi juga didominasi kasus yang tidak strategis. Kebanyakan korupsi kepala daerah tingkat bupati, wali kota. Padahal, seharusnya KPK tidak bermain di level itu,” kata Zaenur.
Menurut dia, hal itu merupakan rangkaian imbas revisi UU KPK dan kontroversi TWK. Selain itu, KPK juga dirundung persoalan internal karena pelanggaran etik para pemimpin yang membuat lembaga itu kian keropos. ”Ke depan, KPK tidak harus mengungkap kasus dalam jumlah banyak, tetapi harus kasus yang sangat strategis. Jika tidak bisa membuktikan kinerja dan integritas, itu akan kian memperburuk citra KPK di hadapan publik,” ujar Zaenur.
Kompas telah menghubungi Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri untuk menanggapi ihwal kerja penindakan KPK selama 2021 melalui aplikasi pesan daring. Akan tetapi, hingga Senin malam, ia tidak menjawabnya.