Kebijakan Panglima TNI menghapuskan larangan keturunan PKI menjadi prajurit TNI diapresiasi pegiat HAM. Di sisi lain, kebijakan Panglima terkait pengangkatan mantan anggota Tim Mawar sebagai Pangdam digugat ke PTUN.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
Pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang membolehkan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi tentara menjadi harapan dimulainya rekonsiliasi nasional terhadap korban peristiwa 1965-1966. Ini merupakan langkah penting dalam memulihkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia untuk bisa berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Namun, pemulihan hak saja tidak cukup, diperlukan pula komitmen negara mengungkap kebenaran dari peristiwa tersebut.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bertanya dengan detail saat Direktur D Badan Intelijen Strategis TNI Kolonel A Dwiyanto memaparkan salah satu aspek penilaian dalam perekrutan prajurit. Dalam rapat penerimaan taruna akademi TNI, perwira prajurit karier, bintara prajurit karier, dan tamtama prajurit karier tahun anggaran 2022 itu, Dwiyanto menampilkan paparan terkait larangan bagi keturunan eks anggota PKI untuk menjadi tentara.
Larangan didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Andika meminta Dwiyanto menyebutkan isi TAP MPRS tersebut. Sebagai respons, Dwiyanto menyebutkan beberapa poin larangan terhadap ajaran komunisme, organisasi komunis, dan organisasi underbow komunis. Namun, Andika mengoreksinya.
TAP MPRS No 25/1996, kata Andika kepada seluruh jajaran yang hadir di rapat itu, menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang. Begitu pula ajaran Marxisme-Leninisme. Di luar dua poin itu, tidak ada larangan bagi hal lain.
”Jadi, jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh pada perundang-undangan. Ingat ini, kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum,” kata Andika dalam video yang diunggah di akun Youtube resminya, Rabu (30/3/2022).
Ia menegaskan, di bawah kepemimpinannya, tidak boleh ada lagi larangan bagi keturunan PKI untuk mendaftar sebagai prajurit TNI karena tidak berdasar hukum. Oleh sebab itu, ia memerintahkan kepada forum untuk menghapus ketentuan tersebut dari daftar penilaian calon prajurit.
Sejak Orde Baru, TAP MPRS XXV/1966 digunakan untuk melarang anggota PKI atau orang-orang yang dikaitkan dengan organisasi itu untuk menjadi tentara atau aparatur sipil negara (ASN). Secara resmi, hal itu dihentikan dengan pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi, penyaringan identitas keluarga yang terafiliasi masih dilakukan dalam berbagai seleksi penerimaan ASN dan tentara, secara informal.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Jumat (1/4/2022), membenarkan stigma dan diskriminasi masih melekat pada korban pelanggaran HAM berat 1965-1966 beserta keluarganya. Komnas HAM masih kerap menjumpai praktik itu berdasarkan cerita pengalaman korban. ”Yang paling menonjol stigmatisasi dari masyarakat sekitar atau lingkungan sosial, berikutnya dari aparat,” ujarnya.
Beka mengapresiasi kebijakan Andika sebagai upaya pemulihan hak korban peristiwa 1965-1966, terutama hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, serta hak untuk bebas dari stigma dan diskriminasi. ”Kebijakan ini juga bisa dianggap sebagai salah satu bagian dari rekonsiliasi peristiwa 1965,” ujarnya.
Namun, kata dia, hal ini harus diikuti kebijakan negara yang komprehensif untuk mengungkap peristiwa 1965-1966.
Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhamad Haripin, mengatakan, keputusan membuka kesempatan penerimaan keluarga eks anggota PKI memperlihatkan TNI ingin menerapkan sistem perekrutan yang inklusif, transparan, dan berbasis kemampuan. Akan tetapi, dia mempertanyakan konteks waktu pengumuman kebijakan itu. Selain itu, belum ada kejelasan pula tentang jaminan pelaksanaannya di lapangan.
Menurut dia, kesamaan persepsi dan perspektif HAM di level Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) perlu diperhatikan. Sebab, personel Rindam yang bertanggung jawab dalam proses pemberkasan calon prajurit, mulai dari kelengkapan dokumen, hingga latar belakang keluarga.
”Apakah seluruh personel TNI, khususnya yang bertanggung jawab atas proses rekrutmen, (sudah) seiya sekata dengan perintah Panglima atau malah memicu letupan internal, misalnya penolakan dari segmen tertentu di internal TNI,” kata Haripin.
Gugatan
Meski telah membuka peluang pemulihan hak keluarga korban 1965-1966, kebijakan Panglima TNI yang lain juga mendapatkan sorotan dari perspektif HAM. Pada Jumat (1/4/2022), Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga, yakni Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan keluarga korban penghilangan paksa 1997-1998 menggugat Panglima TNI ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
”Gugatan dilayangkan atas Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI tertanggal 4 Januari 2022 yang berisi pengangkatan Mayjen Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya,” kata Alghiffari Aqsa, anggota Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangan tertulis.
Ia menambahkan, gugatan itu terkait pengangkatan Untung, mantan anggota Tim Mawar, yang pernah terbukti melakukan pelanggaran HAM pada kurun waktu 1997-1998. Di samping tak mencerminkan integritas dan merusak kepercayaan warga, pengangkatan itu juga dinilai bisa mencederai perjuangan keluarga korban dan pendamping yang masih mencari keberadaan korban peristiwa 1997-1998 yang hilang hingga saat ini. Selain itu, pengangkatan itu juga dinilai berpotensi menghambat penegakan hukum dan HAM.
Terkait hal ini, sebelumnya Jenderal Andika merespons. Andika mengatakan, pemecatan Untung dari ABRI karena keterlibatannya dalam Tim Mawar telah dianulir berdasarkan putusan pengadilan tahun 2000. Menurut dia, Untung telah tuntas dari sisi hukum karena ia telah menjalani putusan pengadilan.