Jaga Ruang Kebebasan Sipil Demi Perbaikan Demokrasi
Walaupun sudah 24 tahun sejak reformasi, demokrasi di Indonesia masih masuk dalam kategori demokrasi cacat. Diperlukan langkah strategis memajukan demokrasi lebih inklusif dan berkualitas seperti ruang kebebasan sipil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Walaupun sudah berusia 24 tahun sejak reformasi, menurut hasil survei lembaga internasional, demokrasi di Indonesia masih masuk dalam kategori demokrasi cacat. Diperlukan langkah strategis untuk memajukan demokrasi yang lebih inklusif dan berkualitas. Salah satunya adalah dengan menjaga ruang kebebasan sipil terutama di ranah digital.
Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mengajak 350 pakar dan perwakilan organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia untuk membicarakan tantangan dan strategi untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Acara itu digelar selama dua hari, Rabu-Kamis (30-31/3/2022), dalam konferensi bertajuk Indonesian Civil Society Forum 2022 (ICSF 2022). Para peserta akan membicarakan tentang peran masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil dalam mempromosikan keberagaman, inklusi sosial, dan demokrasi di Indonesia.
Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Dwi Rubianti Kholifah mengatakan, ruang kebebasan sipil di Indonesia sebenarnya masih lumayan. Dwi yang memotori masyarakat sipil yang bergerak di isu pencegahan radikalisme dan terorisme mengaku masih mendapatkan ruang yang luar biasa besar. Bahkan, organisasi nirlabanya dapat bekerja sama untuk mengatasi masalah radikalisme dan terorisme melalui program Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Salah satu cara menjaga ruang kebebasan sipil adalah dengan kolaborasi formal. Dengan kolaborasi formal, kepentingan sudah didudukan sejak awal. Memang tantangannya saat ini, budaya birokrasi masih kurang familiar dengan masyarakat sipil karena tidak mendapatkan banyak informasi,” terang Dwi.
Dwi juga menegaskan bahwa jika pemerintah ingin mengefektifkan program pembangunan demokrasi, pengambilan keputusan harus melibatkan masyarakat sipil. Budaya lama yang membuat kebijakan secara top down harus ditinggalkan karena pada praktiknya kerap tidak tepat sasaran. Masyarakat sipil jangan dianggap sebagai musuh tetapi partner kerja yang bisa diajak berkolaborasi.
Dwi menambahkan memang konsolidasi masyarakat sipil saat ini terkesan sulit karena sejumlah tantangan. Misalnya, fenomena baru pragmatisme aktivis yang masuk ke dalam arena politik praktis. Ketika sudah berada di dalam sistem, mereka cenderung tidak lagi kritis. Ini membuat masyarakat sipil terbelah dan gamang memosisikan diri. Padahal, seharusnya dengan keberadaan mantan aktivis di dalam sistem, kolaborasi bisa dilakukan untuk memaksimalkan intervensi pengambil kebijakan.
“Salah satu cara menjaga ruang kebebasan sipil adalah dengan kolaborasi formal. Dengan kolaborasi formal, kepentingan sudah didudukan sejak awal. Memang tantangannya saat ini, budaya birokrasi masih kurang familiar dengan masyarakat sipil karena tidak mendapatkan banyak informasi”
Di sisi lain, di masa pandemi, aktivisme dan advokasi permasalahan juga banyak beralih ke media sosial. Tantangan aktivisme digital ini tidaklah mudah. Sebab, masyarakat sipil kerap dibungkam dan dikriminalisasi dengan pasal karet UU ITE. Pemerintah dengan sumber daya dan kekuasaannya, perlu membedakan mana kebebasan berekspresi dan mana yang bukan. Kritik terkait kebijakan publik seharusnya tidak dibungkam dengan ancaman pemidanaan pasal karet UU ITE.
“Ini memberikan efek takut untuk berbicara secara kritis dan vokal, terutama di media sosial karena akan mudah sekali aktivis dikriminalisasi. Di forum ini, kami usulkan agar ada upaya bagaimana perlindungan pembela HAM (human right defender) bisa lebih optimal dan terjaga,” kata Dwi.
Memetakan persoalan
Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia William Siater mengatakan, forum selama dua hari itu dibuat untuk memetakan dan menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat sipil dewasa ini. Misalnya, permasalahan soal keterbatasan pendanaan, manajemen organisasi yang kurang efisien, minimnya tenaga ahli teknis dan jaringan, diperparah dengan situasi pandemi. Menurut William, selama lebih dari dua dekade ini, sebenarnya masyarakat sipil di Indonesia sudah bekerja dan berkontribusi pada penguatan demokrasi.
“USAID juga melakukan beberapa program baik itu di isu kesehatan, lingkungan, kesejahteraan, pemerintahan daerah yang bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil. Ini juga ikut berkontribusi pada pencapaian demokrasi di Indonesia sejauh ini,” terang William.
Khusus untuk di Indonesia, untuk mengatasi tantangan tersebut, USAID terus melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung kegiatan masyarakat sipil. Itu diwujudkan melalui berbagai program seperti MADANI, USAID Erat yang bekerja di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dan nasional untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Ada pula program Harmono yang mempromosikan toleransi dan ketangguhan di masyarakat.
“USAID juga melakukan beberapa program baik itu di isu kesehatan, lingkungan, kesejahteraan, pemerintahan daerah yang bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil. Ini juga ikut berkontribusi pada pencapaian demokrasi di Indonesia sejauh ini”
“Banyak kegiatan yang dilakukan oleh USAID yang ikut menyumbang lingkungan yang aktif, terbuka bagi organisasi masyarakat sipil,” imbuh William.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy memberikan sambutan dalam acara Indonesian Civil Society Forum 2022 (ICSF 2022) bertema "Memajukan Demokrasi yang Inklusif di Indonesia," Rabu (30/3/2022).
Kolaborasi pentahelix
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menambahkan, Indonesia masih tergolong berusia muda dalam menerapkan sistem demokrasi. Demokrasi di Indonesia terus berkembang menuju ke arah yang lebih baik dan inklusif dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat Indonesia. Muhadjir mengakui bahwa masih banyak tantangan dan hambatan untuk mewujudkan demokrasi yang lebih substansial dan berkualitas. Namun, dirinya optimistis, masa depan Indonesia ke depan akan semakin baik.
“Demokrasi sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Banyak suku budaya yang di dalamnya mengandung unsur demokrasi dan menjadi kearifan lokal. Misalnya, nilai adi luhung gotong royong yang bisa membuat kita bertahan menghadapi situasi sulit seperti pandemi Covid-19”
“Demokrasi sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Banyak suku budaya yang di dalamnya mengandung unsur demokrasi dan menjadi kearifan lokal. Misalnya, nilai adi luhung gotong royong yang bisa membuat kita bertahan menghadapi situasi sulit seperti pandemi Covid-19,” kata Muhadjir.
Di mata internasional, lanjut Muhadjir, Indonesia juga disebut negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Di tengah kontroversi bahwa Islam dan demokrasi dianggap tidak bisa bertemu, Indonesia telah menjadi laboratorium yang membuktikan bahwa keduanya saling mengisi dan memberi makna.
“Dengan jumlah penduduk 273 juta jiwa, tidak mungkin pemerintah bisa menuntaskan pemberdayaan politik sendiri. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan memadai, mengerti peran dan pentingnya organisasi sosial kemasyarakatan terutama mereka yang berfokus pada kemajuan demokrasi,” ujar Muhadjir.
Pemerintah, lanjutnya, terus menerapkan pendekatan pentahelix yang melibatkan lima kelompok strategis yaitu pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha, dan media untuk memajukan demokrasi. Kelima elemen itu harus saling mendukung, bergandengan tangan, bahu membahu untuk melaksanakan langkah yang kongkret dan masif untuk membangun Indonesia lebih maju.
“Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa ada 430.000 organisasi masyarakat di Indonesia. Dua organisasi massa terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang kebetulan berbasiskan Islam. Dapat dibayangkan begitu besarnya jika semuanya berkolaborasi, mewujudkan demokrasi yang inklusif,” kata Muhadjir.