Jika demokrasi elektoral memprioritaskan mobilisasi persuasif untuk mendulang suara, demokrasi deliberatif menekankan ajang konsultasi publik tentang urusan umum. Warga berpartisipasi dalam diskursus mengambil keputusan.
Oleh
FIDELIS REGI WATON
·3 menit baca
Demam Pemilu 2024 mulai menjalar, dengan mulai dideklarasikannya para capres dan caleg. Lazimnya pemilu diapresiasi sebagai pesta demokrasi. Pemilu yang bebas, fair, dan reguler jadi jantung demokrasi, gelanggang kompetisi perebutan kekuasaan terorganisasi.
Lewat pemberian suara, warga dengan hak pilih turut menentukan pengemudi cakra politik. Prinsip kedaulatan rakyat dikonsolidasikan di pemilu berkala. Mekanisme pemilu menegaskan hakikat demokrasi sebagai kekuasaan rakyat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pemilu mengandung minimal empat fungsi strategis. Pertama, legitimasi. Pemilu menggariskan legalitas sumber kekuasaan. Aktor yang berkuasa menjalankan kekuasaan bukan permanen, hanya dalam periode terbatas.
Ia didelegasikan warga untuk berkuasa. Anehnya sistem nondemokratis lazimnya tak mengabaikan pemilu, biarpun sekadar formalitas. Praktik ini diberi nama electoral autocracy. Sasarannya, memunculkan kesan, kekuasaan yang ada berlandaskan konvensi warga.
Kedua, konstruksi pembagian kekuasaan. Lewat pemilu, warga menetapkan siapa yang mengemban kendali kewenangan (eksekutif dan legislatif). Pemilu tak lain dari model partisipasi politik terpenting. Para pemilih menentukan figur politik yang mewakili mereka dan akan membuat keputusan politik untuk kurun waktu yang digariskan.
Ketiga, representasi. Pemilu mencerminkan perwakilan warga, bukan hanya representasi personel, melainkan juga kepentingan, nilai, dan pandangan politik. Atas kesadaran ini, warga diimbau menjaraki hak demokratis absensi memilih.
Keempat, integrasi. Pemilu memungkinkan integrasi warga ke dalam sistem politik. Aksi pemungutan suara secara intrinsik menciptakan kesamaan politik di antara warga. Pemilu memanifestasikan partisipasi dan kesetaraan politik warga. Argumen egaliter tak mengizinkan adanya tirani mayoritas dan intimidasi minoritas dalam demokrasi, juga pascapemilu. Yang berkuasa wajib mengayomi yang pro dan kontra atasnya. Yang kalah mesti legawa diperintah kandidat bukan pilihannya.
Realisasi partisipasi demokrasi bagi kebanyakan warga hanya sebatas momentum pemungutan suara. Demokrasi elektoral memang urgen meski banyak warga acapkali tak mengakses informasi seputar kandidat dan isu politik. Fakta ini mempersulit terbentuknya opini pribadi yang adekuat.
Mobilisasi persuasif diprioritaskan demokrasi elektoral. Pendulangan suara jadi target, bukan argumen dan pengembangan solusi bersama. Praksis demokrasi elektoral akan lebih solid, kondusif, dan kontributif jika dibarengi elemen deliberatif. Deliberasi (Latin: deliberatio) berarti mempertimbangkan, konsultasi, musyawarah. Demokrasi deliberatif menekankan ajang konsultasi publik tentang semua urusan umum (res publica).
Warga berpeluang berpartisipasi, memberi masukan dalam komunikasi dan interaksi politik sebelum pengambilan keputusan. Pertimbangan argumen diskursif, perspektif dan refleksi tentang preferensi dan nilai bersama hendak ditopang model deliberasi.
Demokrasi deliberatif bersasaran mengangkat warga dari periferi politik. Polarisasi dan kesenjangan politik bisa ditengarai. Setiap warga boleh menyampaikan gagasannya tanpa takut dihakimi. Itikad politik warga dan iklim partisipasi setara, respek timbal balik, proses terbuka dan tanpa paksaan jadi pengandaian niscaya. Pendekatan deliberatif memperkaya demokrasi.
Praksis demokrasi elektoral akan lebih solid, kondusif, dan kontributif jika dibarengi elemen deliberatif.
Demokrasi mengalir
Diskursus deliberasi mempromosikan demokrasi dinamis dan beragam. Ia memerdekakan demokrasi dari pasungan birokrasi partai dan instrumen perwakilan. Demokrasi jadi cair, mengalir (liquid democracy). Dialog langsung antara warga dan arsitek dekrit politik akan memfortifikasi kepercayaan terhadap sistem demokrasi dan membendung arus populisme.
Termin demokrasi deliberatif dicetuskan Joseph M Bessete biarpun benihnya telah ditemukan di Yunani kuno. Penyokong demokrasi deliberatif yang beken adalah John Rawls dan Juergen Habermas. Versi Rawls lebih mereferensikan musyawarah publik sebagai institusi resmi. Habermas lebih memfavoritkan prosedur nonformal penyampaian pendapat tanpa tekanan.
Deliberasi menggambarkan bentuk pengambilan keputusan dalam aroma pragmatis, emansipatif, dan inklusif berdasarkan debat rasional. Semua argumen ditimbang dan diulas secara transparan. Posisi yang berbeda dalam menyoroti konflik akan menjernihkan. Solusi konsensual berbasiskan argumen terbaik. Kebenaran akan dikedepankan, bukannya suara mayoritas.
Model deliberasi memberi tempat untuk kontradiksi dan konsensus. Kompromi murahan, emosi, dan tuntutan egois sejauh mungkin dieliminasi.
Ilustrasi
Habermas menaruh harapan pada kekuatan wacana yang bernas. Konsensus hanya dicapai melalui pertukaran argumen dan prospek yang obyektif dan sahih. Setiap individu harus sanggup menjelaskan dan mendasarkan argumennya sehingga bisa diterima yang lain. Keputusan yang lahir darinya lazimnya lebih berkualitas ketimbang pelbagai produk resolusi berdasarkan pemilihan atau plebisit.
Model deliberasi mesti dipropagandakan menjelang pemilu. Format dan forum demokrasi deliberatif sangat simpel, seperti diskusi kelompok, panel warga, debat kritis di medsos. Parpol dan aktor dalam kontestan politik ditantang mempresentasikan porsi kualitatif. Pemilih ditagih untuk kritis dan rasional menganalisis program yang dikampanyekan.
Visi dan misi yang dipresentasikan diperiksa, apakah realistis dan kompatibel, efisien dan efektif, untuk masa kini dan kelak. Kinerja dan rekam jejak kandidat dievaluasi. Rasionalitas mesti berada di atas emosi, kalkulasi interes, dan sentimen primordial. Dari sana bisa disimpulkan kredibilitas dan kompetensi figur atau partai sebagai motivasi pemberian suara.