Daripada membebani biaya rutin, kapal-kapal perang TNI AL yang sudah tua sebaiknya ditiadakan. Tentunya dibutuhkan pengganti yang lebih mumpuni.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
Modernisasi alat utama sistem persenjataan Angkatan laut bukan hal yang sederhana. Walaupun banyak pihak yang membuat perkiraan tentang bentuk-bentuk perang modern, yang pasti hanya ketidakpastian itu sendiri. Di sisi lain, modernisasi tidak saja soal membeli alutsista, tetapi tetap berakar pada pola pikir dari sumber daya manusia dan sistem yang diciptakan.
Semuanya tentu membutuhkan biaya. Sementara biaya selalu terbatas, bahkan, untuk Angkatan Laut (AL) sebesar AL AS sekalipun. Di Indonesia, program pembangunan alutsista yang disebut sebagai Kebutuhan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force mulai diadakan tahun 2009. Salah satu pencetusnya adalah kegagapan Indonesia ketika menghadapi tsunami Aceh Desember 2004. Dengan kata lain, mata pemerintah mengarah pada Operasi Militer Selain Perang, dan berorientasi menutupi kekurangan yang masif mengingat anggaran pertahanan sejak reformasi tidak pernah lebih dari 1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Namun, kondisi kini berubah. Dinamika di kawasan melihat sikap asertif China yang menantang hegemoni AS membuka kemungkinan konflik konvensional semakin tinggi. Ditambah dengan teater yang terbuka yang didominasi laut dan udara, di mana teknologi menjadi pembeda utama. Walaupun tertatih-tatih Indonesia berusaha mengadopsi Network Centric Warfare, di mana komunikasi dan sistem pengendalian menjadikan sistem persenjataan sebagai satu-kesatuan yang komprehensif. Hal ini tidak mudah karena membutuhkan protokol komunikasi yang terintegrasi. Karena itu, alat-alatnya harus berada dalam rentang teknologi tertentu.
Di tengah kondisi ini, Indonesia terbentur alutsista yang sedikit dan tua. Peneliti dari Lab 45, Iis Gindarsah, dalam diskusi daring yang diadakan The Indonesian Democracy Initiative, pertengahan Maret 2022, mencatat, terjadi pembangunan yang cukup signifikan, terutama kapal-kapal permukaan TNI AL. Hal ini dinilainya positif walau tentu terbuka untuk diskusi lebih lanjut terkait dengan kemampuan kapal-kapal tersebut.
Iis menggarisbawahi bahwa dari 56 sistem persenjataan yang dimiliki TNI AL, 36 persen telah berusia di atas 40 tahun. Sisanya, 23 persen berusia antara 31-40 tahun, 12 persen antara 21-30 tahun, 18 persen 11-20 tahun, sementara yang berusia di bawah 10 tahun ada 11 persen. Tuanya usia alutsista TNI AL tidak saja berujung pada masalah risiko keselamatan, tetapi lebih pada kemampuan sistem tersebut dipakai dalam sebuah perang modern.
Sebagaimana disampaikan Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono, operasi TNI AL bertumpu pada Sistem Senjata Armada Terpadu yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Kapal perang bisa dikatakan sebagai tulang punggung sebuah Angkatan Laut.
Menurut catatan Kompas, lebih dari 40 persen KRI telah berusia uzur alias di atas 30 tahun. Pemeliharan menjadi mahal tidak saja karena suku cadang yang sulit didapat, tetapi juga karena kemampuan operasi yang dihasilkan juga minim.
Hal ini tergambar dari deskripsi Wakil Menteri Pertahanan M Herindra dalam rapat di Komisi I DPR pada Kamis (24/3/2022) tentang KRI Teluk Sampit yang telah berusia 41 tahun. Herindra mengatakan, secara teknis kapal ini sudah tidak layak untuk dipakai lagi. Tidak saja pipa banyak yang keropos, listrik dan instrumen di anjungan tidak bisa dipakai lagi. Di sisi lain, badan kapal juga sudah tidak layak.
Oleh karena itu, Kementerian Pertahanan menyetujui usul dari TNI untuk melelang KRI Teluk Sampit, kemudian setelah mengajukan ke Presiden, perlu mendapat persetujuan dari DPR karena KRI adalah barang milik negara yang harga pembeliannya di atas Rp 100 miliar.
Hal ini di antaranya yang menjadi latar belakang TNI AL berupaya menghilangkan kapal-kapal tuanya dari inventori. Yudo mengatakan, ada 15 kapal yang diusulkan TNI AL untuk ditiadakan. Kapal-kapal itu kini ada di berbagai pangkalan dan tidak saja memakan tempat, tetapi juga memakan biaya.
”Sudah ada sembilan kapal baru LST yang disiapkan untuk mengganti kapal-kapal ini. Salah satunya sedang diadakan di PT DRU,” kata Yudo dalam dengar pendapat pelelangan KRI Teluk Sampit, Kamis (24/3), di Komisi I DPR.
KRI Teluk Sampit-515 adalah kapal bertipe landing ship tank (LST), yaitu kapal pengangkut tank. Sebelumnya, dua KRI bertipe sama juga telah disetujui Komisi I DPR RI untuk dilelang, yaitu KRI Teluk Penyu-513 dan KRI Teluk Mandar-514. Tiga saudara ini sama-sama berasal dari Korea Selatan tahun 1981 dan biasa digunakan untuk mengangkut pasukan Marinir dan logistiknya. KRI Teluk Sampit pada awal tahun 1980-an dibeli dengan harga Rp 174 miliar, sementara kapal serupa saat ini harganya sekitar Rp 219 miliar.
Dirjen Kekayaan Negara Rionald Silaban mengatakan, KRI Teluk Sampit akan dilelang secara utuh. Para peserta lelang harus memenuhi kriteria tertentu. Ia mengatakan, harga acuan yang ditentukan tim penilai Kementerian Keuangan akan berlaku selama enam bulan. Setelah itu, akan ada peninjauan lagi karena bisa saja tidak ada peminatnya. Saat ini, harga patokan dari TNI AL sebesar Rp 740 juta, tetapi akan dinilai ulang oleh Kementrian Keuangan. Hasil penjualan akan masuk ke kas negara.